Laki-laki dan perempuan adalah setara. Baik setara di hadapan Allah, maupun setara dalam bidang yang lain. Bahkan, perempuan bisa jadi lebih kuat dari laki-laki. Apa yang bisa dilakukan oleh laki-laki, bisa dilakukan oleh perempuan. Tapi apa yang bisa dilakukan oleh perempuan, belum tentu bisa dilakukan oleh laki-laki. Contohnya adalah hamil, menyusui, dan melahirkan.
Pandangan yang melecehkan dan menistakan perempuan jelas bertentangan dengan prinsip-prinsip ayat Alquran sekaligus bertentangan dengan kenyataan kehidupan. Tidak ada larangan bagi perempuan untuk menjadi presiden, menjadi pemegang kekuasaan.
Hadis yang dipahami sebagai larangan perempuan menjadi pemimpin sama sekali tidak benar adanya. Nabi tidak melarang perempuan untuk menjadi pemimpin. Hadis tersebut hanya berita dari Nabi bahwa ada perempuan yang tidak pantas memimpin, namun dipilih menjadi pemimpin oleh Kaum Parsi.
Pandangan bahwa perempuan tidak boleh menjadi pemimpin disampaikan oleh Abu Bakrah, karena dia salah memahami kalimat nabi. Sebaliknya, jika yang memimpin adalah perempuan yang cerdas, kredibel, terpilih, dan solehah, maka terbuka kesempatan untuknya memimpin persis seperti Balqis memimpin kerajaan.
Perempuan Menjadi Imam untuk Jamaah Laki-Laki
Perempuan bisa menjadi pemimpin, termasuk pemimpin shalat atau imam shalat bagi makmum laki-laki. Sejak dulu, pandangan yang mengakui keabsahan perempuan menjadi imam untuk jamaah laki-laki sudah ada, meskipun menjadi pendapat minoritas. Pandangan itu didasarkan atas sebuah peristiwa yang disebut peristiwa Ummu Waraqah. Ummu Waraqah pernah diizinkan oleh Nabi untuk mengimami jamaah, yang di dalam jamaah tersebut terdapat laki-laki. Salah seorangnya adalah muazinnya dari shalat jamaah tersebut.
Ummu Waraqah menjadi imam karena ia memiliki syarat untuk menjadi imam. Ia adalah orang yang membaca, menghafal, dan memahami Alquran. Pada saat itu, nabi menunjuk seorang muazin laki-laki dan mengizinkan Ummu Waraqah menjadi imam. Nabi menyebut bahwa orang paling pantas menjadi imam adalah yang paling banyak membaca Alquran. Perkataan tersebut sejatinya sudah cukup menjadi panduan dalam memilih imam, tanpa memandang jenis kelamin.
Hadis yang melarang perempuan untuk menjadi imam bagi laki-laki memiliki derajat dhoif. Di dalamnya ada perawi yang disebut oleh Imam Bukhari dengan istilah munkarul hadis (hadisnya tertolak). Menurut Imam Bukhari, hadis yang dalam sanadnya ada munkarul hadis tidak boleh digunakan sebagai hujah. Padahal, hadis tentang Ummu Waraqah adalah hadis sahih.
Pandangan seperti ini sudah ada sejak dulu. Pandangan ini juga sama sekali tidak liberal sebagaimana dituduhkan banyak orang, karena didasarkan pada nash, dalil yang sahih.
Sekali lagi, tanpa hadis Ummu Waraqah, dan cukup menggunakan hadis yang umum yang berbunyi “liyuammakum aqroukum” (hendaklah menjadi imam orang yang paling banyak mengetahui Alquran), itu cukup menjadi dasar bahwa perempuan bisa menjadi imam.
Hadis Ummu Waraqah memiliki posisi sebagai penegas. Syarat membaca Alquran, sekali lagi, tidak membedakan jenis kelamin. Pandangan ini sudah ada sejak dulu. Namun, ia menjadi kebenaran yang tertutup.
Editor: Yusuf