Opini

Imam Syafi’i: Bintang Ilmu yang Tak Pernah Padam

3 Mins read

Imam Syafi’i lahir pada tahun 150 Hijriah, tepat di tahun wafatnya Imam Abu Hanifah, pendiri mazhab fikih tertua. Beberapa sejarawan bahkan menyebut kelahirannya bertepatan dengan malam wafat sang imam. Ini bukan kebetulan biasa. Para ulama dahulu sering melihatnya sebagai simbol pergantian estafet ilmu: kematian satu tokoh besar diikuti kelahiran yang lain, menandakan Allah tak pernah membiarkan bumi kosong dari pewaris nabi.

Ibunda beliau bermimpi melihat bintang keluar dari rahimnya, lalu pecah menjadi serpihan yang jatuh ke Mesir dan berbagai negeri. Ahli takwil mimpi menafsirkan: dari rahimnya akan lahir ulama agung yang ilmunya menyebar ke seluruh dunia Islam. Benar saja, cahaya ilmu Imam Syafi’i menerangi Mesir, Hijaz, hingga umat hari ini.

Mengapa kelahiran ulama sering dikaitkan dengan bintang atau cahaya?
Dalam Islam, ilmu adalah nur dari Allah. Lahirnya ulama seperti munculnya cahaya baru yang menerangi umat dari kegelapan kebodohan, membawa harapan dan petunjuk.

Imam Syafi’i: Dunia Hanya Sarana, Bukan Tujuan

Imam Syafi’i tak hanya cerdas, tapi juga bersih hati dengan nasihat tajam. Suatu hari, ia berkata pada saudaranya: “Wahai saudaraku, dunia ini licin, hina, dan fana. Orang yang menghiasinya justru menuju kehancuran. Penghuninya sibuk persiapan ke kubur. Kemegahan dunia berakhir kefakiran. Siapa banyak perhiasan, dapat kesulitan; siapa zuhud, dapat kemudahan.”

Beliau lanjut lembut: “Takutlah pada Allah, ridalah dengan rezeki-Nya. Jangan tinggalkan akhirat demi dunia. Hidupmu seperti harta temuan yang hilang atau dinding miring. Perbanyak amal, pendekkan angan-angan.” Nasihat ini seimbang: dunia bukan ditolak, tapi ditempatkan sebagai alat, bukan akhir.

Mengapa orang kaya sering gelisah, sementara yang sederhana lebih tenang?
Kebahagiaan bukan dari harta melimpah, tapi ketenangan hati. Zuhud paham harta hanyalah titipan. Terlalu bergantung pada dunia lahirkan kegelisahan; ikat hati pada Allah, bebas dari takut kehilangan.

Baca Juga  Iman dan Ilmu (2): Penerapan Benang Ariadne dalam Kehidupan

Ujian Cerdas di Hadapan Khalifah Harun Ar-Rasyid

Kecerdasan Imam Syafi’i terkenal seantero negeri. Khalifah Harun Ar-Rasyid, pecinta ilmu, sangat menghormatinya. Tapi ini picu iri hati ulama Irak. Mereka rancang pertanyaan teka-teki hukum untuk jebak dan malukan beliau di depan khalifah.

Pertanyaan pertama: “Seorang lelaki sembelih domba di rumah, lalu bilang ke keluarga, ‘Makanlah, domba ini haram bagiku.’ Keluarga jawab, ‘Berarti haram bagi kami juga.’ Bagaimana?”
Imam Syafi’i tenang: “Lelaki itu awalnya musyrik, sembelih untuk berhala. Saat keluar rumah, Allah beri hidayah, ia masuk Islam. Sembelihan jadi haram baginya. Keluarga tahu, ikut masuk Islam—haram juga bagi mereka.”

Kedua: “Lelaki bilang, ‘Budak ini merdeka jika aku makan atau menemukannya.’ Maknanya?”
Jawab: “Ia beri budak ke anak-anaknya, lalu makan, minta kembali. Ucapannya terpenuhi, budak merdeka.”

Ketiga: “Dua muslim waras minum khamar. Satu kena had, satu tidak. Mengapa?”
Jawab: “Satu baligh, satu masih kecil.”
Jawaban singkat, logis—ulama iri hati diam, khalifah makin kagum.

Bagaimana Imam Syafi’i jawab cepat dan tenang?
Beliau paham hukum dari teks plus konteks. Kemampuan baca logika sebab-akibat dan hikmah syariat luar biasa. Ketenangan dari keyakinan jujur mencari kebenaran, bukan sekadar menang debat.

Inovasi Fikih: Hormat Guru Tanpa Membekukan Akal

Sebelum ke Baghdad tahun 195 H, Imam Syafi’i ciptakan metode fikih baru: gabung nalar kuat dan teliti hadis. Awalnya murid setia Imam Malik, beliau belajar langsung darinya. Tapi lama-lama, rumuskan pendekatan sendiri yang beda di beberapa hal.

Bukan niat menentang guru. Tapi saat orang jadikan pendapat Malik tak boleh dibantah—bahkan tolak hadis Nabi jika bertentangan—beliau luruskan. Hadis Nabi lebih tinggi dari pendapat siapa pun. Tak ada manusia yang ucapannya sejajar Rasulullah. Dari sini lahir ushul fikih: kembalikan hukum ke Al-Qur’an dan hadis, kuatkan ijtihad rasional berkaidah.

Baca Juga  Patung Kuda dari Jenin

Bolehkah dua ulama besar beda pendapat, tapi keduanya benar?
Ya, jika ijtihad ikhlas dan berdalil sahih. Perbedaan ijtihad adalah rahmat—buka ruang akal pahami syariat sesuai zaman. Imam Syafi’i akui: kebenaran mutlak milik Allah, ijtihad manusia bisa benar atau salah.

Imam Syafi’i: Teladan Intelektual yang Hidup

Imam Syafi’i bukan sekadar ahli fikih, tapi pembaharu metodologi hukum Islam. Ia padu rasionalitas Irak (mazhab Abu Hanifah) dan tradisi tekstual Hijaz (hafalan hadis). Hasilnya: ushul fikih: sistem terstruktur, logis, sistematis untuk pahami hukum.

Warisannya tak hanya kitab, tapi cara berpikir: hormat guru tanpa bekukan akal; cari kebenaran tanpa memberontak sembarangan. Keseimbangan adab, logika, dalil buat ilmunya abadi.

Mengapa nama Imam Syafi’i masih dihormati hingga kini?
Beliau wariskan ilmu plus sikap jujur, disiplin, berani bela kebenaran. Pengaruh bukan dari kuasa, tapi argumentasi kuat dan hati jernih. Warisan terbesar: mazhab Syafi’i diikuti jutaan umat, plus teladan ilmu sejati tuntun ke kebenaran, bukan sombong.

Editor: Assalimi

Fandu Pratomo
1 posts

About author
Freelance dan Penulis Harian Sejarah dan Kebudayaan Islam
Articles
Related posts
Opini

Sumatera Tenggelam atau Tenggelam dalam Tafsir

4 Mins read
Banjir bandang dan tanah longsor wilayah Aceh, Sumatera Barat, dan Sumatera Utara Bencana banjir bandang dan tanah longsor yang melanda wilayah Aceh,…
Opini

Hutan, Bencana, dan Pesan Langit: Sebuah Refleksi Ekologis

3 Mins read
Bencana banjir dan longsor yang melanda Sumatra pada akhir November 2025 kembali membuka mata kita bahwa alam tengah memberi tanda yang tidak…
Opini

Meluruskan Narasi “Sekolah itu Scam”

3 Mins read
Beberapa waktu lalu media sosial ramai dengan narasi “Sekolah itu Scam”. Narasi ini pertama kali populer setelah dilontarkan oleh influencer ternama, Timothy…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *