Kehidupan adalah sebuah keniscayaan yang harus dijalani oleh manusia. Namun tak sedikit di antara manusia yang menyimpulkan bahwa kehidupan ini adalah sebuah labirin (sebuah perjalanan rumit, berliku dan terkesan sulit menemukan jalan keluarnya). Padahal tujuan utama manusia dalam kehidupan ini adalah sukses dan bahagia. Lalu bagaimana posisi iman dan ilmu dalam kehidupan?
Iman dan Ilmu dalam Krisis Spiritual
Lalu apakah manusia mustahil mencapai kesuksesan dan kebahagiaan?. Jawabannya bisa iya, bisa tidak. Faktanya ada manusia yang bisa sukses meskipun belum tentu bahagia. Selain itu ada juga,selain mampu mencapai kesuksesan tetap mampu merasakan kebahagiaan. Meskipun tidak sedikit manusia yang selalu gagal dan penuh kesengsaraan.
Sebagaimana dalam cerita mitologi Yunani, Theseus mampu membunuh Minotour (seekor monster berkepala banteng dan berbadan manusia) dalam labirin yang dibangun oleh Daidalos. Selain daripada itu Theseus mampu keluar dari labirin dan akhirnya bisa menikahi Ariadne (anak perempuan Minos, raja Kreta) karena bantuan gulungan benang Ariadne yang diberikan kepadanya.
Ariadne menyuruh Theseus dengan gulungan benang itu untuk mengikatkan salah satu ujungnya ke pintu masuk dan mengulur benang itu ketika berada berjalan di dalam labirin. Dan untuk keluar Theseus menyusuri benang itu. Cerita singkat mitologi Yunani ini saya kutip dari Wikibuku.
Kehidupan hari ini, penuh problematika dan paradoksal. Kemajuan yang ada meskipun memberikan dampak positif tidak sedikit menimbulkan dampak negatif. Bahkan seorang Prof. Syafiq G. Mughni, Ph.D (Ketua Pimpnan Pusat Muhammadiyah dan Guru Besar Sejarah Peradaban Islam) berkesimpulan bahwa ”Persoalan besar yang muncul di tengah kehidupan manusia adalah krisis spiritual” (Azaki, 2005).
Mughni bahkan menyimpulkan bahwa mentalitas jaman sekarang adalah sekularisme yang merupakan anatema terhadap spiritualisme. Seyyed Hosein Nasr menyayangkan lahirnya keadaan ini sebagai the plight of modern men, nestapa orang –orang modern (Khoirudin, 2005).
Benang Ariadne
Indonesia sebagai nation-state jika ditilik dalam kehidupan demokrasi hari ini, bisa disimpulkan bahwa oligarki sedang menjadi pemegang kedaulatan dan tentunya ini sangat tidak konstitusional. Belum lagi kecenderungan negatif era millenial sedang menggerogoti karakter dan identitas ideal generasi muda dan diperparah lahirnya post truth dimana hoax menemukan ruang produksi dan reproduksinya.
Selain kondisi tersebut di atas, wabah Covid-19 yang telah menimbulkan dampak negatif terhadap kesehatan, ekonomi, psikologi, sosial budaya bahkan sampai dalam tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara semakin menguatkan tesis bahwa manusia sedang berada, berjalan dalam labirin.
Bagi manusia yang memiliki kesadaran terhadap hidup dan kehidupannya akan tetap optimis. Selain daripada itu yakin sebagaimana dalam cerita mitologi Yunani bahwa sedang memiliki “benang Ariadne” untuk menyusuri labirin tersebut. Dalam konteks tulisan ini “benang Ariadne” hanya sebuah analogi, memiliki makna konotatif. Sesungguhnya yang saya maksudkan sebagai “benang Ariadne” tersebut adalah iman dan ilmu.
Iman dan ilmu bagaikan “benang Ariadne” dalam menyusuri labirin yang dibangun Daidalos atas perintah raja Minos. Iman dan ilmu merupakan modal teologis yang built-in dalam diri manusia seiring dengan titah penciptaan Allah. Iman dan ilmu bahkan menjadi kunci memahami dan sekaligus pengokoh modal psikologis manusia yang juga built-in dalam diri manusia.
Kesatuan Iman dan Ilmu
Salah satu alasan saya sehingga menyebut sebagai modal teologis karena iman dan ilmu menjadi bekal manusia pada saat diciptakan dan diutus di muka bumi dalam rangka menjalankan mandat kosmis sebagai khalifah dan menjalankan fungsi sebagai hamba Allah.
Iman dan ilmu jika merujuk pada QS. Al- Mujadalah/58 ayat 11, “Allah akan meninggikan orang – orang yang beriman di antaramu dan orang – orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat”, merupakan modal mencapai keunggulan dalam kehidupan. Dan tentunya harus disadari bahwa keduanya, iman dan ilmu memiliki relasi yang kuat untuk mencapai keunggulan tersebut.
Iman dan ilmu adalah satu kesatuan. Iman tanpa ilmu adalah buta, begitupun sebaliknya ilmu tanpa iman adalah lumpuh. Buya Hamka menganalogikan “Iman tanpa ilmu bagaikan lentera di tangan bayi. Namun ilmu tanpa iman, bagaikan lentera di tangan pencuri”. Secara sederhana saya menilai bahwa iman dan ilmu adalah bagaikan energi dan cahaya.
Ada banyak kerusakan di muka bumi karena manusia mengarungi kehidupan hanya bermodalkan ilmu tanpa iman. Begitupun kedamaian, ketenteraman dan keamanan masih sulit terwujud karena keimanan yang dipahami masih menyentuh sebatas dimensi kesalehan invidual, belum terwejantahkan dalam praksis sosial.
Dalam buku The Vision of Islam, Sachiko Murata dan William C. Chittick menjelaskan iman adalah merupakan kepercayaan pada kebenaran sejati, bukan kebenaran yang diajukan. Iman berarti ketika orang memiliki kepercayaan ini, mereka mempersembahkan diri mereka untuk bertindak berdasarkan kebenaran yang mereka ketahui.
Lapisan Peradaban
Nabi mendefenisikan kata iman dengan bersabda “Iman merupakan pengakuan dalam hati, pengucapan dengan lisan, dan aktivitas tindakan.” Jadi iman mencakup pengetahuan, ucapan dan tindakan (Sachiko Murata & William C. Chittick, 2005:50).
Dalam Al-Bayan: Jurnal Studi Al-Qur’an dan Tafsir 1,1 (Juni 2016) Ali Masrur menjelaskan iman berasal dari kata amana yu’minu imanan yang artinya percaya. Secara istilah iman adalah percaya kepada Allah, malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari akhir dan takdir-Nya.
Ali Masrur menambahkan bahwa iman selalu menunjukkan rasa “aman” dan membuat orang mempunyai “amanat”. Jadi makna iman bukan hanya sekedar percaya akan adanya Tuhan. Iman adalah sikap seseorang yang sifatnya lebih mendalam dan tempatnya adalah di hati.
- Quraish Shihab dalam buku Wawasan Al-Qur’an (2007:571) menjelaskan bahwa kata ilmu dengan berbagai bentuknya terulang 854 kali dalam Al-Qur’an. Kata ini digunakan dalam dalam arti proses pencapaian pengetahuan dan objek pengetahuan. ‘ilm dari segi bahasa berarti kejelasan, karena segala yang terbentuk dari akar katanya mempunyai ciri kejelasan.
Terkait QS. Al-Mujadalah /58 ayat 11, yang menjelaskan relasi positif antara iman dan ilmu dan mempertegas sebagai modal utama dalam rangka mencapai keunggulan. Penafsiran/makna progresif sebagai deriviasi dari ayat tersebut bisa kita mendengarkan salah satu video orasi budaya dari Yudi Latif pada Haul Cak Nur (Nurcholish Madjid) ke-13.
Dalam video yang berdurasai 29:58 menit tersebut saya menangkap pesan yang luar biasa. Yudi Latif menjelaskan teori radiasi budaya sebagai hasil riset beberapa peradaban Arnold Toynbee. Menurut Toynbee sebagaimana dijelaskan dengan penuh semangat oleh Yudi Latif bahwa peradaban itu memiliki 4 (empat) lampisan.
Lapisan pertama dan terluar adalah sains-teknologis, lapisan berikutnya adalah estetika kemudian di dalamnya lagi adalah lapisan etika. Dan lapisan terdalam dan ini merupakan jantung adalah visi spiritualias. (Bersambung)
Editor: Nabhan