Falsafah

Immanuel Kant (3): Perbuatan Etis Ada di Balik Nalar

3 Mins read

Rasio Praktis bagi Immanuel Kant adalah rasio yang mengatakan apa yang harus kita lakukan. Atau dengan kata lain, rasio yang memberikan perintah kepada kehendak kita.

Kant memperlihatkan bahwa rasio praktis memberikan perintah yang mutlak yang disebutnya sebagai imperatif kategoris. Kant kemudian bertanya, bagaimana keharusan itu mungkin? Apakah memungkinkan keharusan itu?

Prinsip pokok untuk menjawab pertanyaan ini ialah: kalau kita harus, maka kita bisa juga. Seluruh tingkah laku manusia menjadi mustahil, jika kita wajib membuat apa yang tidak bisa kita lakukan.

Kant beranggapan bahwa ada tiga hal yang harus disadari sebaik-baiknya bahwa ketiga hal itu dibuktikan, hanya dituntut. Itulah sebabnya Kant menyebutnya ketiga postulat dari rasio praktis. Ketiga postulat dimaksud itu ialah: pertama kebebasan kehendak; kedua imortalitas jiwa; dan ketiga adanya Allah.

Pada prinsipnya, apa yang tidak dapat ditemui atas dasar rasio teoritis, harus diandaikan atas dasar rasio praktis. Kebebasan kehendak, immoralitas jiwa, dan adanya Allah, kita tidak mempunyai pengetahuan praktis.

Menerima ketiga postulat ini, menurut Kant disebut “glaube” atau kepercayaan. Maka kemudian, Kant dengan filsafat bermaksud memperteguh keimanannya, keimananan kristianinya.

Kebebasan Menurut Kant

Kebebasan bagi Kant, merupakan kemampuan untuk diatur oleh budi. Kemampuan ini disebut Kant kebebasan kehendak. Ia mempertentangkannya dengan tindakan-tindakan yang muncul dari emosi, keinginan, atau pilihan. Menyoal tindakan, bagi Kant bisa dirujuk pada dua macam tindakan: tindakan karena kecenderungan dan tindakan karena kewajiban. Tindakan pertama, berdasarkan selera atau pilihan, sedang tindakan kedua adalah apa yang harus dikerjakan apapun kecenderungan saya.

Kant dalam hal ini dengan tegas menolak suatu moralitas yang menekankan kecenderungan saja. Menurutnya, moralitas berkaitan erat dengan tugas dan kewajiban seseorang, dan tergantung pada keberadaannya sebagai pelaku bebas yang tidak dipaksa untuk melakukan sesuatu.

Baca Juga  Dalam Agama Islam, Akibat Hukum di Dunia dan Akhirat

Imortalitas jiwa dimaksudkan eksistensi tak berkesudahan dari pusat kesadaran yang ditunjuk dari kata aku. Fakta imortalitas jiwa manusia secara eksistensi dilandasi oleh hakikat jiwa yang tunggal (karenanya tidak dapat dibagi ke dalam bagian-bagian) dan rohani (karenanya hanya menuju kehidupan kekal).

Martabat moral manusia menuntut suatu kehidupan kekal untuk memecahkan ketegangan antara komitmen-komitmen moral dan immoral dengan ganjaran dan hukuman. Dan imortalitas jiwa ini menurut Kant bisa diafirmasi berdasarkan tuntutan akal praktis (alasan moral).

Adanya Allah bagi Kant sangat berkaitan dengan keinginan manusia untuk hidup yang bermoral. Kant mengemukakan dalam bukunya Critique of Practical Reason bahwa, untuk menjalani kehidupan bermoral, manusia membutuhkan seorang pengatur, yang akan membalas perbuatan baik dengan kebahagiaan.

Dalam perspektif ini, pengaitan Tuhan dengan sistem etika merupakan sebuah kebetulan saja. Inti agama bukan lagi misteri tentang Tuhan, tetapi manusia itu sendiri. Tuhan telah menjadi sebuah strategi untuk memampukan kita berfungsi secara lebih efisien dan bermoral. Bukan lagi sebagai sebab bagi semua wujud.\

Eksistensi Tuhan

Immanuel Kant percaya bahwa tidak mungkin membuktikan eksistensi Tuhan. Karena ia berada di luar jangkauan indera dan, karenanya, tidak dapat diakses pikiran manusia.

Alasan rasional Immanuel Kant satu-satunya untuk membuktikan bahwa tanpa Tuhan dan tanpa kemungkinan dunia akhirat, maka akan sulit bagi kita untuk menjelaskan alasan kenapa kita harus bertindak secara moral.

Kritik kepada Immanuel Kant

Dari sini kita tahu bahwa, di antara kritikan atas Kant yang layak untuk diapresiasi antara lain dari Hegel dan MacIntyre. Menurut Hegel, pemahaman rasio Kant melulu sangat formal dan direduksi tuntutan universalitas.

Di samping itu, Kant juga tidak memberi isi dari kewajiban moral. Di sini, Hegel melihat bahwa isi kewajiban itu sendiri diberikan oleh praktek kelompok masyarakat. Moralitas Kant sangat individual, padahal individu merupakan bagian dari masyarakat tertentu.

Baca Juga  Khaled Abou El Fadl: Syariah Klasik VS Syariah Humanistik

Kant dalam hal ini tidak melihat manusia dari konteksnya. Individu dianggap berkembang sendiri dan tidak melibatkan komunitasnya, sehingga manusia dilepaskan dari sejarahnya.

Adapun kritikan dari MacIntyre, bahwa upaya pembenaran rasionalitas yang otonom telah gagal. Karena, menghilangkan tiga unsur otonomi moral, yaitu: subyek, konteks, dan tujuan.

Pada ketiga aspek ini, Kant cenderung lemah. Di samping itu, Kant melupakan pengalaman keberagamaan. Barangkali ini, merupakan satu fenomena lumrah, karena pencerahan memang lupa asal usul ilahiyah.

Terlepas dari banyaknya orang yang tidak setuju dengan pandangan Kant, tidak dapat dimungkiri bahwa pengaruh Kant terhadap filsafat sangatlah besar. Ia menolak setiap usaha untuk mengklaim suatu bentuk absolutisme pengetahuan yang berusaha bebas dari pengalaman, dan tekanannya pada keunggulan budi telah mempunyai pengaruh hebat terhadap filsafat Barat. Konsep yang ia kemukakan mengenai etika juga tak kalah menariknya.

Konsep Etika Menurut Immanuel Kant

Menurutnya etika itu tidak bersifat rasional ataupun teoritis. Bahkan bagi Kant, itu bukanlah urusan rasio murni. Justru, apabila manusia menggunakan nalarnya dalam berusaha merumuskan etika, ia dengan sendirinya tidak sampai pada etika yang sesungguhnya.

Di samping akan berselisih satu sama lain mengenai mana baik dan mana buruk, etika yang bersifat rasional sudah bukan lagi etika, melainkan bisa terjebak ke dalam perhitungan untung rugi. Dengan kata lain, perbuatan etis dapat menghasilkan keuntungan bagi pelakunya, tetapi juga dapat mengakibatkan kerugian baginya.

Kant mengatakan sebagaimana dipaparkan sebelumnya, bahwa etika adalah urusan nalar praktis. Artinya, pada dasarnya nilai-nilai moral itu telah tertanam pada diri manusia sebagai sebuah kewajiban (imperatif kategoris).

Kecenderungan untuk berbuat baik, misalnya sebenarnya telah ada pada diri manusia. Manusia pada intinya hanya menunaikan kecenderungan diri dalam setiap perbuatannya. Dengan kata lain, perbuatan etis bersifat deontologis dan berada di balik nalar. Wallahu a’lam.

Editor: Yahya FR

Salman Akif Faylasuf
59 posts

About author
Santri/Mahasiswa Fakultas Hukum Islam, Universitas Nurul Jadid Paiton Probolinggo
Articles
Related posts
Falsafah

Tawaran Al-Jabiri Atas Pembacaan Turats

4 Mins read
Abed al-Jabiri adalah salah satu pemikir Islam yang paling dikenal di era modern. “Naqd al-Aql al-Arabi” atau proyek pemikiran “Kritik Nalar Arab”…
Falsafah

Deep Ecology: Gagasan Filsafat Ekologi Arne Naess

4 Mins read
Arne Naess adalah seorang filsuf Norwegia yang dikenal luas sebagai pencetus konsep “ekologi dalam” (deep ecology), sebuah pendekatan yang menggali akar permasalahan…
Falsafah

Sokrates: Guru Sejati adalah Diri Sendiri

3 Mins read
Dalam lanskap pendidikan filsafat, gagasan bahwa guru sejati adalah diri sendiri sangat sesuai dengan metode penyelidikan Sokrates, filsuf paling berpengaruh di zaman…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds