Feature

Indeks Scopus dan “Jurnal Impian”, Harus Bagaimana?

8 Mins read

Bidang saya ilmu agama, dan riset-riset saya masuk kategori sosial-humaniora. Karena itu, tulisan ini didasarkan pada pengalaman dan persepsi saya selama berinteraksi dengan jurnal yang terkait bidang saya. Pengalaman dan persepsi ini didasarkan pada pengalaman sebagai penulis artikel di jurnal terindeks, editor jurnal nasional terakreditasi, editorial boad di peer-review journal dan terindeks, serta sebagai reviewer di beberapa peer-reviewed journal ternama di beberapa negara. 

Pada prinsipnya, kita sebagai dosen bisa publikasi di jurnal mana saja, dari negara apa saja, dengan sebaran yang seperti apa saja. Meskipun begitu, tujuan kita adalah naskah bisa dibaca orang sebanyak-banyaknya dan memberikan kontribusi pada ilmu pengetahuan.

Dalam tradisi dan dunia akademik, jurnal menjadi sebuah tempat untuk memublikasikan hasil riset agar temuan berupa “data baru” dan “formulasi  argumen  baru” dari penelitian kita, dapat dibaca, dijadikan rujukan, dan mungkin dibantah orang. Karena itu, naskah dan gagasan baru dari seorang ilmuan, diterbitkan dalam sebuah jurnal untuk dibaca ilmuan lainnya. Agar mendapatkan respons, kritik, atau mungkin sanggahan.

Seputar Mutu Jurnal Akademik

Mutu jurnal akademik ditentukan oleh beberapa hal. Secara substansi: ada proses peer-review, yaitu telaah yang dilakukan oleh sejawat atau relawan akademisi yang satu bidang keilmuan yang dianggap memahami naskah yang akan diterbitkan. Tugasnya adalah: a) memberikan penilaian dan evaluasi terhadap naskah, dan menentukan apakah layak atau tidak layak. Kategori layak atau tidak ini juga tergantung pada siapa “pembaca ahli” naskah kita. Editor sebuah jurnal biasanya mencari pembaca ahli di kalangan sejawat untuk menjaga mutu jurnalnya sebelum naskah itu betul-betul diproses untuk diterbitkan.  

Dalam aspek substansi, “kekuatan” sebuah naskah artikel berbeda satu sama lain dan begitu juga cara reviewer menelaah substansinya. Ada naskah yang memiliki kekuatan pada datanya, pada metodologinya, pada eksplorasi teoretisnya, atau pada ketajaman anaisisnya.

Kira-kira naskah yang pernah kita tulis masuk kategori yang mana? apakah naskah kita hanya satu kategori di atas, dua kategori, atau semuanya bagus? Pengalaman pribadi saya ketika mengirimkan naskah ke sebuah jurnal: seorang reviewer pada awalnya tertarik untuk menerima naskah dengan catatan (revisi) karena dia merasa ada “keaslian data baru” di dalamnya.

Atau karena dia merasa konsep yang digunakan untuk menganalisis topik yang dikaji, belum banyak dibahas orang. Dan karena itu, dapat diterima untuk diterbitkan. Baru kemudian, dia akan memberikan saran untuk mempertajam beberapa aspek, termasuk buku atau artikel penting yang sangat relevan namun luput menjadi bacaan kita.      

Jurnal Sebagai Ladang Bisnis Baru

Seiring dengan perkembangan dan kebutuhan administrasi akademik dan munculnya “rezim Scopus”, kini jurnal terindeks Scopus menjadi primadona. Muncul banyak journal yang memfasiltasi publikasi banyak peneliti di berbagai negara, termasuk Indonesia.

Bahkan ketika indeksasi menjadi standard RISTEK-DIKTI, termasuk untuk pengajuan “Guru Besar”, masalah ini menjadi momok tersendiri bagi sebagian peneliti atau dosen yang ingin mengajukan peningkatan karirinya.

Hal ini kemudian menjadi sebuah ladang bisnis baru di berbagai belahan dunia. Jurnal milik asosiasi atau lembaga akademik mulai “ditinggal”, dan orang kemudian melirik jurnal milik perusahaan penerbitan. Sebetulnya hal itu tidak masalah, karena beberapa penerbit menggandeng lembaga dan komunitas akademik agar mutu jurnal terjaga dan tetap laku di kalangan dunia akademik. Serta menjadi database di kampus-kampus besar.

Memilih Jurnal yang Baik

Saya ingin menyampaikan bahwa saya sebagai individu, dari dulu saya tidak peduli dengan Scopus. Prinsip saya adalah saya membaca artikel-artikel bagus yang pernah saya baca, baik di dalam dan luar negeri, dan saya harus terbit di jurnal tersebut. Apapun statusnya!!

Baca Juga  Strategi Sekolah di Era New Normal: Pengalaman Muhammadiyah GKB

Dalam perkembangan terakhir, ketika “Rezim Scopus” Scimago semakin menjadi “pertimbangan” administrasi. Karena Scimago menyajikan data-data kuantitatif dari sebuah jurnal, baik frekuensi publikasi, jumlah artikel, maupun sitasi. Akhirnya, Scimago menjadi rujukan.

Syukur alhamdulillah, beberapa jurnal di bidang ilmu sosial-keagamaan di Indonesia banyak yang terindeks dan mendapatkan reputasi bagus. Tapi, bagusnya jurnal-jurnal itu, khususnya bidang studi Islam, bukan karena bayarnya, bukan pula karena frekuensi terbit yang eksesif, tapi mutu artikelnya, dan juga konsistensi pengelolaannya.

Meski demikian, prinsip saya tidak berubah. Saya mengirimkan naskah bukan karena Q1, Q2, Q3, atau Q4, tetapi karena terbit di jurnal tersebut penting untuk dibaca orang dan terjaga mutunya karena ada proses peer-reviewed sebelum terbit.

Selain itu, ada beberapa ilmuan yang saya sudah pernah membaca artikelnya dan bagus di jurnal tersebut. Untuk jurnal studi Islam di Indonesia, saya mengirimkan naskah ke jurnal yang relevan dan baik, apakah ada Q nya atau tidak. Kali ini, ada beberapa jurnal Studi Islam yang kemudian mendapatkan peringkat Q1 dari dari Scimago.

Pengalaman Menerbitkan Jurnal

Dulu, saya mengirimkan dan menerbitkan naskah artikel ke jurnal-jurnal studi Islam, yang kemudian mendapatkan ’anugrah’ Q1. Seperti Studi Islamika UIN Syarif Hidayatullah (pernah terbit dua kali), Journal of Indonesian Islam-UIN Surabaya (pernah terbit 2 kali), Indonesian Journal of Islam and Muslim Societies-IAIN Salatiga (terbit satu kali). 

Pertimbangannya tentu bukan masalah Q1 atau Q2, tetapi jurnal ini memang mutunya baik sekali. Sementara itu, Al-Jamiah: Journal of Islamic Studies milik UIN-Sunan Kalijaga (pernah menerbitkan satu kali) kali ini mendapatkan predikat Q2. Tetapi dalam pandangan saya, jurnal ini tetap sangat bagus dan masih terjaga mutunya, dan sama baiknya dengan jurnal-jurnal yang saya sebutkan sebetulnya. Itu yang penting.

Bahkan, saya mengirimkan naskah ke Jurnal yang agak baru tapi dikelola dengan baik, sebelum Q-nya muncul, yang ternyata belakangan mendapatkan predikat Q1. Entah akan diterima atau tidak, tergantung hasil review-nya.

Dalam konteks ini, Indonesia punya prestasi sendiri untuk studi Islamnya. Kita harus kasih “two tumbs up” dan apresiasi kepada pengelolanya. Itu tidak mudah. Secara mutu, jurnal tersebut tambah baik, dan secara pengelolaan juga sangat serius karena investasi kampusnya yang juga serius.

Mungkin pembaca bisa tanya berapa anggaran masing-masing dari pengelola jurnalnya, seberapa besar energi yang mereka habiskan untuk mengelolanya. Saya sendiri sebagai editor jurnal nasional terakreditasi, masih berusaha seperti mereka. 

***

Belakangan, saya menerbitkan satu naskah di sebuah jurnal di Eropa. Kemudian seorang kolega di gorup WA tanya, “Mas itu jurnalnya baru Q3 ya!”. Saya bilang, “Saya cari jurnal yang peer-reviewed mas, bukan karena Q-nya!” Pasalnya, riset saya harus dibaca orang yang ahli dan diberikan masukan sebanyak-banyak.

Saya tahu reputasi editorial board dan editor in-chief nya, jadi saya yakin ini jurnal yang baik. Ternyata hasil reviewnya lumayan positif, “diterima dengan revisi” dan catatan dari dua reviewer banyak sekali. Sampai belasan kalau dibuat poin. Buku yang harus saya baca lagi sesuai saran reviewer juga tidak sedikit.

Ya, kita perbaiki naskah kita sesuai catatan. Kemudian alhamdulillah terbit. Baru-baru ini, jurnal tersebut mendapatkan predikat Q1. Alhamdulillah, dapat bonus lebih besar di kampus. Meski tidak memengaruhi cara pandang saya tentang jurnal ilmiah.

Tidak Menghamba Pada Indeks

Toh meskipun tahun ini baru mau akan menginjak belasan saja artikel yang teindeks Scopus (beberapa naskah yang sudah terbit masih belum tercatat diindeks), dari dulu saya tidak pernah ‘mengincar-ngincar’ indeksing.

Saya masih bisa bangga dengan beberapa artikel yang pernah terbit di peer-reviewed journal “tidak terindeks” di Scopus tetapi masih terindeks oleh yang lain seperti Index Islamicus-Brill (yang usianya jauh lebih tua dari Scopus) maupun Web of Science. Atau masih muncul (‘terindeks’ dalam data base) seperti ProQuest, EBSCO, dan JSTOR yang hingga kini tidak pernah ditimbang (sejauh pengetahuan saya) oleh RISTEK-DIKTI (KEMENDIKBUD) sebagai sebuah ‘prestasi’ lebih.    

Baca Juga  100 Tahun Pondok Modern Gontor: Terus Melahirkan Ulama dan Pemimpin Umat

Menulis Book-Chapter Tak Kalah Susah dengan Menulis Jurnal

Hal yang sama dengan book-chapter yang kurang diminati. Pasalnya, skor nilainya kecil sekali, dibagi-bagi dengan penulis lain. Padahal book-chapter melalui proses review yang tidak kalah rumit dengan jurnal. Bisa bolak-balik berkali-kali. Bagi sebuah kelompok riset, diajak bergabung menjadi penulis book-chapter adalah sebuah kebanggan.

Artinya kita bisa “diakui” di bidang tersebut oleh orang-orang yang punya research interest yang sama. Pernah menulis naskah untuk sebuah penerbit di UK dengan editor yang juga reputasi akademiknya bagus, naskah revisi sampai 5 kali. Dan menghabiskan waktu dua tahun dari pengiriman naskah sampai terbit dan dapat bukunya.

Energi dan proses waktu yang diinvestasikan bisa sama atau lebih besar dari kirim naskah ke jurnal. Tapi dalam rezim adminsitrasi yang ada saat ini, termasuk dalam penilaian PAK, book-chapter masih dilihat sebagai karya ‘anak bawang’, alias skor minimalis. Naskah anda yang pernah terbitkan dalam bentuk bentuk book-chapter di Oxford, Harvard, Cambridge, Routledge atau penerbit besar lainnya, paling hanya dapat nilai angka ‘secuil’ berdasarkan aturan yang ada saat ini.   

Peer-Review dan Penolakan

Pernahkah ditolak pengelola jurnal? Tentu saja! Berkali-kali! Saya ingat, sekitar 15 tahun lalu, saya kirim satu artikel ke sebuah jurnal ternama berbasis di UK. Salah satu bagian komentar reviewer-nya menyatakan, “Orang ini (maksudnya saya) nampaknya sedang memulai awal karirnya sebagai seorang scholar. Naskah belum cukup kuat untuk dapat terbit di jurnal ini.” Saya endapkan naskah ini, saya perbaiki terus menerus selama dua tahun. Kemudian terbit di salah satu jurnal, yang kemudian sekarang menjadi Q1 versi Scimago.

Tahun lalu, saya mengirimkan 4 naskah hasil riset ke beberapa jurnal. 3 ke peer-reviewed journal berbasis di Eropa dan 1 di Indonesia. Yang dikirimkan ke Eropa, 1 ditolak karena kurang relevan dengan karakter jurnalnya sebelum proses review. 2 diterima, dan yang di Indonesia, ditolak.

Untuk jurnal yang di Indonesia, yang membaca naskah saya nampak seorang yang sangat ahli di bidangnya. Bagaimanapun saya apreasiasi, terlepas dari keputusan jurnal yang akhirnya memutuskan untuk menolak, meskipun sebetulnya masih bisa diperbaiki.

Di sisi penulis, saya baca komentar reviewer-nya dan coba rasionalisasi apa yang menjadi catatan mereka. Tentu saja, ada kekecewaan sebagai manusia. Tetapi juga sebagai peneliti, ada kegirangannya. Untuk jurnal yang menolak artikel saya dan kolega, ada catatan yang bagus dari para reviewer-nya.

Catatan itu saya jadikan sandaran untuk memperbaiki naskah berikutnya dan akan saya kirimkan revisinya ke jurnal yang lain. Saya adalah ahli di suatu bidang. Tapi di bidang yang lain, ada ahlinya tersendiri. Saya harus mendengarkan saran dari ahlinya. 

Etika Insan Akademik

Dalam konteks ini, jangan kita memaksakan artikel yang sama tanpa perubahan untuk dikirim ke jurnal yang berbeda. Itu etikanya. Etika sebagai insan akademik. Jangan-jangan yang me-review nanti, orang yang sama sebagai ahli. Saya pernah melakukan blind review (tanpa mengetahui siapa yang menulis dan penulis tidak tahu siapa yang me-review) suatu naskah di luar negeri.

Saya kasih catatan, yang menurut saya konstruktif dan tidak menolak. Tetapi, tetap harus revisi. 6 bulan kemudian, saya mendapatkan perintah untuk me-review naskah yang sama dari sebuah jurnal di Indonesia. Catatannya pun cukup saya ‘copas’ (copy and paste) dari catatan lama. Akhirnya penulis mau memperbaiki naskahnya dan terbit di jurnal yang saat ini juga masuk kategori Q1.

Baca Juga  Sukriyanto AR: Pemimpin yang Diperlukan Muhammadiyah

Sebagai pribadi, mungkin kita semua berharap bahwa semua naskah yang kita kirim dapat diterima dan selalu dikatakan layak. Tapi, sebagai komunitas akademik, kita harus terbuka hati dan pikirannya untuk dapat menerima ‘standard’ yang disampaikan ahlinya, suka atau tidak suka.

Intinya, perasaan gak usah ikut-ikut atau dibawa-bawa untuk urusan publikasi naskah ilmiah. Kuncinya satu, perbaiki, tidak terbit, atau kirim ke journal yang tidak terlalu ketat proses peer review-nya. Jangan lupa, di Indonesia banyak jurnal terakreditasi berbahasa Indonesia yang bagus-bagus.

Nah, dalam konteks inilah diskusi-diskusi tentang naskah ilmiah muncul. Ada beberapa kategori proses ‘review’ yang dilakukan jurnal. Jurnal yang baik mengedepankan substansi terlebih dahulu. Bila sudah ok, maka masalah penyajian (termasuk bahasa dan format).

Hati-hati Sebelum Mengirim Naskah Jurnal

Beberapa jurnal masih fokus kepada formatnya saja. Asal sesuai format dan plus bahasa yang seadanya dan kemudian bisa terbit, tanpa ada proofread maupun copy-edit. Saya tidak mendalami dan tidak mau memberikan judgement mana jurnal abal-abal atau bukan. Bukan tugas saya, dan saya memang tidak tahu.

Yang penting, kita hati-hati. Kehati-hatian kita cukup pada dua saja. Bila jurnal tersebut minta bayaran, tidak ada review substansi dari expert dan hanya fokus ke format serta sedikit kelayakan bahasa, maka harus hati-hati. Sekali terbit online, anda gak bisa mencabutnya.

Bila hasil review tidak ada kritik, tidak menyarankan perbaikan pendekatan atau analisis, dan tidak menyarankan bacaan terbaru yang relevan, namun harus bayar jutaan, maka itu sudah indikasi karakter jurnal yang agak bermasalah. Silahkan terbit di jurnal seperti itu, tapi jangan berkali-kali. Setidaknya nama anda bisa masuk data base penulis jurnal terindeks. Tapi tahap berikutnya carilah peer-reviewed journal yang sesuai bidang, itu lebih baik.    

Obsesi Terbit di “Jurnal Impian”

Sebagai peneliti, saya pun masih punya obsesi untuk terbit di “jurnal impian”. Jurnal ternama yang saya tidak peduli Q-nya apa. Karena kualitas papernya yang sangat bagus dan diterbitkan oleh lembaga akademik yang sangat bereputasi.

Untuk bidang studi Islam, sejarah, atau sosial humaniora, saya masih merancang untuk bisa menulis di jurnal seperti Oxford Journal of Islamic Studies, Modern Asian Studies-Cambridge, Bijdragen tot de taal-, land- en volkenkunde/Journal of the Humanities and Social Sciences of Southeast Asia-Brill Leiden, The Muslim World- Hartford Seminary USA, Archipel-Etudes Interdisciplinaires Sur Le Monde Insulindien-Paris, Die Welt des Islams-Brill Leiden. Ada beberapa jurnal lain yang kontemporer yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu. Intinya saya sebagai peneliti masih punya target publikasi.

Saya tidak tahu kapan menulis artikel lagi yang punya cita rasa sejarah yang kuat (beberapa kajian terakhir saya lebih kontemporer dan studi kawasan) agar bisa terbit di beberapa jurnal di atas. Tetapi beberapa kolega dan teman saya sudah pernah menembus jurnal-jurnal tersebut.

Saya sangat respek terhadap mereka. Mereka rata-rata peneliti yang tak peduli dengan “QQ”. Untuk bisa seperti mereka, saya pun masih harus bekerja keras dan lebih serius memersiapkan naskah agar suatu saat masuk ke ‘jurnal impian’ di bidang saya.

Itu semua, butuh proses yang serius dan tidak instan dari mulai mutu risetnya sampai mutu naskah artikelnya. Yang paling penting lagi adalah proses “perenungannya” yang butuh waktu, meski tidak boleh lama-lama.  Selamat berkarya!!

Editor: Yahya FR

Related posts
Feature

Mengkritik Karya Akademik: Sebenarnya Menulis untuk Apa?

3 Mins read
Saya relatif jarang untuk mengkritik tulisan orang lain di media sosial, khususnya saat terbit di jurnal akademik. Sebaliknya, saya justru lebih banyak…
Feature

Sidang Isbat dan Kalender Islam Global

6 Mins read
Dalam sejarah pemikiran hisab rukyat di Indonesia, diskusi seputar Sidang Isbat dalam penentuan awal bulan kamariah telah lama berjalan. Pada era Orde…
Feature

Tarawih di Masjid Sayyidah Nafisah, Guru Perempuan Imam Syafi’i

3 Mins read
Sore itu, sambil menunggu waktu buka, saya mendengarkan sebuah nasyid yang disenandungkan oleh orang shaidi -warga mesir selatan- terkenal, namanya Yasin al-Tuhami….

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *