Perspektif

Indonesia Kebal dari Pilek Corona

2 Mins read

Indonesia dicurigai terus oleh negara-negara lain. Terutama urusan virus corona. “Jangan-jangan penuh dengan pengidap virus ini. Jangan-jangan tidak mampu mendeteksi.” Yang paling parah, “Jangan-jangan asal-usul virus ini dari Indonesia.”

Wah, mereka ini sialan sekali. Main tuduh sembarangan. Justru kami masyarakat Indonesia merasa penasaran, “Jangan-jangan orang-orang Indonesia benar-benar kebal dari virus ini?”

Tapi ya mana mungkin, kekebalan terhadap virus disebabkan oleh karena terbiasa makan makanan tidak sehat. Micin lebih banyak, gorengan dengan minyak oli (bukan oil, tapi oli), bahkan ada juga yang digoreng pakai plastik, mie berformalin dan boraks, serta banyak lagi yang lainnya.

Ada juga yang lebih ngawur, kekebalan itu terbentuk lantaran biasa berenang di air banjir. Sampah plastik dibakar, untuk memasak di pabrik tahu. Biasa menghirup asap kendaraan di tengah macet parah, asap pabrik, dan asap-asap lainnya.

***

Sempat viral di berbagai media sosial, bahwa virus corona bermula dari orang yang menyantap kelelawar setengah matang. Nah, orang Indonesia, justru lebih dari itu. Berbagai binatang yang tidak seharusnya dimakan, justru disikat habis dengan bumbu bercitarasa tinggi. Ya Allah… Jelas jangan tanya halal-haramnya. Pasti haram.

Patut diyakini, seyakin-yakinnya, bahwa yang menjadikan kebal bukan itu semua. Mustahil hidup serampangan, makan ngawur, konsumsi sampah dianggap membuat kebal.

Tapi ada juga sebagian orang yang menyebut, kekebalan terbangun oleh kekuatan yang timbul dari dalam diri (imunitas). Dan hal ini, bisa membuat manusia biasa menjadi manusia super, karena ramuan-ramuan tradisional yang hanya didapatkan dari hutan tropis.

Ada yang menyebutnya sebagai obat-obatan herbal. Tapi, lazimnya hal itu disebut sebagai jamu. Campurannya antara lain adalah jahe, kunyit, kunyit putih, kencur, cengkeh, lengkuas, kapulaga, kayu manis, sereh, merica dan lain sebagainya. Daftar nama dan jenisnya bisa lebih dari sejuta. Banyak.

Baca Juga  Berakhirnya Kompetisi: Refleksi Milad 58 IPM "Kolaborasi untuk Negeri"

Kami sendiri, secara turun-temurun lebih sering meminum ramuan keluarga, ketimbang obat. Kunyit dan jahe dirajang, lalu direbus tiga puluh sampai lima puluh detik. Lalu airnya, digarami sedikit. Setelah mulai hangat, diberi perasan jeruk nipis. Setelah dingin, dicampur dengan madu hutan (bukan madu biasa). Biasanya rasanya manis-pahit dan agak susah mendapatkannya. Mesti masuk hutan dulu.

Mulai dari demam, pilek, batuk, masuk angin, sesak nafas, maag, tukak lambung, dan sederet penyakit lainnya, bisa mampus dengan ramuan ini. Nah, mungkin juga pilek lantaran corona. Namanya kan juga sekedar pilek, siapa tahu? Pemerintah Cina, Korea, Saudi, Iran, Australia dan Amerika, bisa mempertimbangkannya. Tidak ada salahnya, bukan?

***

Ironisnya, ada yang menuduh bahwa pemerintah Indonesia sengaja menutup-nutupi, jika ada yang terjangkit corona. Alasannya adalah dalam rangka mengamankan pembangunan ekonomi. Terutama sektor pariwisata, berpotensi rugi jutaan dolar jika terus-menerus digegerkan dengan rasa khawatir akan penyakit pilek ini.

Sayangnya, sebagian besar ongkos pembangunan adalah pembabatan hutan. Contohnya adalah mengikis gunung untuk eksploitasi tambang. Belum lagi pembakaran hutan, pembalakan dan penghancuran untuk bisnis properti.

Jadi, artinya, suatu saat nanti kekebalan alamiah orang Indonesia (jika hari ini memang benar-benar kebal), akan musnah juga. Itu akan terjadi seiring dengan destruktivikasi lingkungan. Sumber air rusak, pohon-pohon gundul, benteng alami Indonesia, mampus.

Kita ini, kepingin cepet kaya tapi merusak. Serakah betul. Lalu setelah saudagar-saudagar brengsek ini berkuasa, karena bisa membeli jabatan, lalu merasa tak berdosa. Semua orang tampak benar ketika berkuasa, bukan? Lha buktinya, kita selalu “ngenger” ke mereka yang duduk di singgasana.

Jadi, kalau orang Indonesia mengklaim kebal corona karena “jamu” dan proteksi alamiah hutan tropis, tenang saja, tidak lama lagi semua itu akan musnah. Pembangunan kita masih dehumanistik dan selalu mendestruktivikasi alam.

Baca Juga  Mewaspadai Masalah Ikutan Banjir

Tapi, kalau mau hidup lebih abadi dari generasi ke generasi, mudah saja. Ketika membangun, jangan merusak. Ketika ingin kaya, jangan serakah. Ketika berkuasa, jangan kalap dan gelap mata.[]

89 posts

About author
Dosen Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Malang, Direktur Riset RBC Institute A Malik Fadjar.
Articles
Related posts
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…
Perspektif

Mengapa Masih Ada Praktik Beragama yang Intoleran?

3 Mins read
Dalam masyarakat yang religius, kesalihan ritual sering dianggap sebagai indikator utama dari keimanan seseorang. Aktivitas ibadah seperti salat, puasa, dan zikir menjadi…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds