Buku bertajuk Dua Dekade Hubungan Indonesia & Tongkok: Tantangan dan Masa Depan ini merupakan sebuah karya yang diciptakan para mahasiswa prodi Hubungan Internasional Universitas Islam Indonesia sebelum kelulusan mereka. Membahas perihal sepak terjang antara dua bangsa; Indonesia dan Tiongkok dari masa ke masa.
Dalam kesempatan ini saya akan mengulik pembahasan yang ada di dalam buku tersebut, namun tidak pada semua bab. Melainkan terfokus perihal yang berkaitan dengan isu Keislaman di tengah hubungan Indonesia dan Tiongkok.
Syiar Islam dari Tiongkok menuju Nusantara
Ekspedisi Cheng Ho dari Dinasti Ming pada abad ke-15 tak lepas dari upaya penyebaran agama Islam di Nusantara. Sebab datangnya utusan dari Ming tersebut turut membawa para mubaligh untuk mengajarkan agama Islam di sana, berbarengan dengan membantu warga lokal tatkala itu.
Cheng Ho singgah di daerah Jawa, Aru, dan Sumatera tidak hanya semata-mata dilandasi pada kepentingan penguatan eksistensi Dinasti Ming saja. Kehadiran sang laksamana membawa kemaslahatan bagi masyarakat di Nusantara. Ia datang memberi sumbangsih berupa; mengajarkan masyarakat lokal cara bercocok tanam dengan baik.
Penjelajahan sang laksamana pun menjadi momentum menetapnya diaspora Tionghoa Muslim di Indonesia untuk berdagang dan menjalani hidup. Sehingga, sulit dinafikan keberadaan mereka memiliki peran penting dalam menumbuhkan ketauhidan di bumi pertiwi sejak dulu.
Gus Dur Memperelok Relasi Indonesia dan Tiongkok
Sejarah berjalan sampai pada lahirnya Indonesia. Terus berlanjut sampai bergantinya kursi presiden dari Habibie menuju Abdurrahman Wahid atau lebih dikenal dengan Gus Dur.
Peristiwa kerusuhan 1998 memberi sentimen kebencian Pribumi terhadap Tionghoa. Bahkan jauh sebelum itu, sudah ada kebijakan diskriminatif Indonesia yang melarang praktik budaya dan peribadatan etnis Tionghoa. Syukurnya, persepsi buruk tersebut dapat diredam di era Gus Dur.
Di era Gus Dur, tindak diskriminatif tersebut dapat dituntaskan melalui Keputusan Presiden no. 6 Tahun 2000. Yang mana, masyarakat Tionghoa dapat mengekspresikan kembali identitasnya; menggunakan pakaian adat, eksisnya Hari Imlek, dan kebebasan melakukan peribadatan (halaman 28).
Berkat itu, reputasi Indonesia dihadapan Tiongkok semakin membaik. Juga tak lupa karena itu pula citra Islam sebagai agama mayoritas di Indonesia menjadi ramah dan toleran. Sejalan dengan konsep Rahmatan lil ‘Alamin.
Relasi antar Pendidikan
Semakin lama, semakin banyak universitas bernuansa Islam yang menjalin kerja sama dengan kampus-kampus di Tiongkok.
Kita dapat lihat misalnya Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) yang menjalin kerja sama dengan Cheng Kung University. Guizhou University pun bekerja sama dengan Universitas Ahmad Dahlan (UAD). Dan tak lupa, Universitas Islam Indonesia (UII) menjalin kerja sama dengan Nanjing Xiaozhuang University (halaman 72).
Relasi antar pendidikan tersebut dapat menjadi sarana juga kesempatan nan rancak bagi institusi pendidikan Islam di Indonesia dalam menyebarkan pemahaman mengenai universalnya gagasan Islam di zaman modern.
Supaya citra buruk terkait Islam di luar sana dapat dihilangkan, tentunya melalui dialog lintas peradaban dan program-program pendidikan yang bermutu.
Kehadiran Isu Uighur
Tentu dengan munculnya isu Uighur, perihal demikian menjadi rintangan tersendiri bagi keharmonisan relasi Indonesia dan Tiongkok. Terlebih polemik ini semakin merembet pada isu identitas keagamaan. Isu terkait Muslim Uighur tersebut telah merambat sejak tahun 2016.
Buku ini menjelaskan tentang bagaimana pemerintah Tiongkok menyandingkan etnis Muslim Uighur dengan ekstremisme setelah beberapa peristiwa teror terjadi di daerah Xinjiang.
Oleh sebab itulah pemerintah Tiongkok melakukan program pendidikan deradikalisasi terhadap masyarakat Muslim Uighur di Xinjiang agar mereka tak terpapar pemikiran dan tindak ekstremisme.
Namun sayangnya, menurut laporan Human Right Watch, program yang dilakukan tersebut bukan terarah pada pendidikan deradikalisasi melainkan kekerasan terstruktur. Tak heran setelah itu banyak terjadi demonstrasi di Indonesia untuk mengecam aksi Tiongkok. Besarnya aksi demo tentu mendorong pemerintah RI untuk turun tangan memantau polemik tersebut.
Bukan hanya pemerintah Indonesia, NU dan Muhammadiyah sebagai ormas Islam terbesar di Indonesia memiliki pandangan tersendiri dalam menanggapi isu itu.
NU diwakilkan oleh Ketua Umum PBNU, Said Aqil Siradj menyatakan bahwa tiada diskriminasi atau tindak kekerasan yang terjadi di Xinjiang setelah melakukan kunjungan di sana pada tahun 2019. Namun bila memang isu ini terbukti pada masalah agama, NU siap untuk menjadi moderator yang menjembatani Muslim Uighur dan pemerintah Tiongkok.
Adapun respons Muhammadiyah berbeda. Muhammadiyah menganggap terdapat rekayasa yang terjadi pada kondisi Muslim Uighur di sana, sehingga terlihat seolah-olah mereka baik-baik saja. Terbukti adanya keadaan janggal; keadaan kamp yang tampak dibuat-buat, permintaan peribadatan di masjid dibatasi, dan arah kiblat baru di hotel (halaman 98).
Terlepas dari bagaimana keadaan yang sebenarnya terjadi, isu tersebut dikhawatirkan berpotensi menjadi faktor perenggang hubungan Indonesia dan Tiongkok ke depannya. Karena, ini sudah berkaitan dengan isu sensitif. Sehingga polemik semacam ini harus segera dituntaskan dengan saling berterus terang dan berdialog mencari titik temu yang ada.
————
• Judul Buku: Dua Dekade Hubungan Indonesia & Tiongkok: Tantangan dan Masa Depan
• Penulis: M Habib Pashya, Nani Septianie, Yeta Purnama, Nurul Faqiriah, Elys Krisdiana, & Gufron Gozali
• Penerbit: Pustaka Pelajar
• Tahun Terbit: 2021
• Tebal: 139 halaman
Editor: Rozy