Jihad merupakan kata yang populer di kalangan masyarakat umum. Namun, pemakaian dan pemaknaan kata ini sering kali disalahpahami, bahkan terdengar menakutkan di kalangan masyarakat awam. Tulisan ini tidak akan mengacu pada persepsi jihad yang dianggap radikal dan ekstrem, tetapi lebih fokus pada konseptualisasi dan aplikasi jihad itu sendiri.
Jihad
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “jihad” diartikan sebagai usaha dengan segala daya upaya untuk mencapai kebaikan, membela agama dengan harta dan nyawa serta perang suci melawan orang kafir untuk mempertahankan agama Islam. Orang yang berjihad dinamakan mujahid.
Mujahid tidak hanya sebutan yang melekat pada orang yang berjihad. Lebih dar itu bahwa “Mujahid adalah orang yang menghadapi dirinya sendiri” (HR Tirmidzi). Hal ini menunjukkan bahwa musuh terbesar manusia sebenarnya adalah dirinya sendiri, yakni hawa nafsu. Sehingga jihad yang besar itu adalah jihad memerangi hawa nafsu.
Betapa banyak orang yang mati-matian berperang dengan mendalihkan agama, namun membunuh orang-orang tak berdosa. Betapa banyak orang yang berjihad dengan terus menerus ibadah tanpa henti, namun membiarkan tetangganya dilanda kelaparan. Betapa banyak intelektual yang sungguh-sungguh dalam belajar, namun ilmu mereka tidak diaplikasikan untuk kemaslahatan orang banyak. Lantas, apa sebenarnya yang kita jihadkan selama ini? Sudahkah kita menapaki “jalan jihad” untuk mendapat ridha Ilahi?
Objek Jihad
Dalam memahami jihad setidaknya ada tiga pesan yang disampaikan al-Quran dengan menggunakan redaksi jihad. Pertama, berarti “perang.” Kedua, berarti “argumetasi” (hujjah). Ketiga, berarti “infak di jalan Allah” dan bersungguh-sungguh menolong dan menjalankan perintah agama (Abu Nizhan, 2011:546). Ketiga poin di atas adalah bagian dari objek jihad. Karena pada dasarnya, menurut M Quraish Shihab, objek jihad adalah seluruh aspek kehidupan. Itu artinya peluang untuk menjadi seorang mujahid sejati sangat besar, bisa dilakukan oleh siapa pun dan dari kalangan mana pun.
Setelah memandang besarnya peluang atau objeknya, tentu kita akan berfikir jihadnya dengan apa atau menggunakan medium apa? Selama ini, alat jihad selalu diinterpretasikan dengan senjata tajam yang akan membunuh ribuan musuh. Namun, seperti objeknya, alat untuk berjihad juga tidak sesempit itu.
Pada periode Makkah telah turun perintah untuk jihad (Qs Al-Furqon : 52) kepada suku Quraisy dengan meningkatkan kualitas diri dengan mendalami al-Quran. Sehingga al-Quran pada waktu itu dapat dijadikan sebagai senjata ampuh untuk berdakwah kepada masyarakat Quraisy yang belum masuk Islam. Mereka berdakwah menggunakan jalan dialog yang baik tanpa kekerasan, sehingga menurut Ahmad Al-Tayyeb, Islam dapat mudah diterima pada saat itu.
Kemudian, jihad juga bisa dilakukan dengan anfus (jiwa/nyawa). Artinya jihad yang totalitas mencakup nyawa, emosi, pengetahuan, tenaga, dan pikiran. Seperti dijelaskan dalam Surat Al-Hajj ayat 78: “Berjihadlah di jalan Allah dengan sebenar-benarnya jihad.” Dari ayat tersebut apa pun yang dilakukan harus senantiasa bersungguh-sungguh walaupun akan mengorbankan jiwa, tenaga, dan pikiran.
Memilih Medan Jihad
Berbeda alat yang digunakan, tentulah berbeda pula medan yang akan dilawan. Jika jihadnya adalah perang, maka tentulah alatnya adalah senjata. Para ilmuwan berjihad dengan pemanfaatan ilmunya, bagaimana ilmu yang diperolehnya bisa memberikan kemaslahatan manusia. Jihadnya para karyawan adalah hasil karya-karyanya yang baik.
Seorang guru atau pendidik jihadnya adalah pendidikan dan pemahamannya yang sempurna sehingga ia akan memberikan perubahan yang baik kepada anak didiknya, bukan melakukan pembodohan belajar. Para pengusaha berjihad melalui kejujurannya seperti yang dicerminkan oleh Rasulullah tentang kejujurannya dalam berdagang. Sedangkan jihadnya para pemimpin adalah keadilannya, sehingga ia akan dicintai rakyatnya. Jihadnya para pelajar adalah proses belajar dan ilmunya.
Setiap orang punya jalan berjuang masing-masing. Namun ia akan dikatakan mujahid apabila mampu berjihad dengan benar dan senantiasa menebar kebaikan dan menegakkan keadilan pada masyarakat. Muhammadiyah juga memiliki alat jihad tersendiri, yakni amar ma’ruf nahi munkar. Berlomba-lomba dalam kebaikan senantiasa menjadi spirit kader-kadernya.
Namun yang paling utama dari itu semua adalah berjuang melawan diri sendiri. Bagaimana setiap individu mampu memimpin dirinya sendiri, mengendalikan nafsu duniawi atau keinginan-keinginan yang berlebihan. Mempertahankan kesucian jiwa dan melawan bisikan dan bujukan setan yang setiap saat tak pernah berhenti menjerumuskan manusia.
Lima Prinsip
Dalam berjihad bahkan apa pun jenis jihadnya, baik itu dalam perang, dengan dialog, pemikiran, tulisan, dan sebagainya, tidak boleh terlepas dari; pertama, rahmat Allah SWT. Kedua, jihad dengan berperang tidak dibenarkan kecuali dalam keadaan terancam (QS Al-Baqarah : 190-193).
Ketiga, segala bentuk permasalahan, pertikaian bahkan peperangan harus mengupayakan perdamaian (QS Al-Anfal: 61). Keempat, membatalkan sebuah perjanjian apabila ada pengkhianatan (QS Al-anfal : 59). Kelima, pada dasarnya seorang muslim yang baik sangat membenci yang namanya permusuhan, pertikaian, perdebatan, dan peperangan.
Apabila prinsip-prinsip tersebut sudah dijalankan dan belum menuai hasil, maka berperang adalah pilihan terakhir. Muslim yang baik berjihad dengan memilih medan yang sesuai, alat/senjata yang ampuh, dan mempunyai prinsip yang konsisten.
Editor: Arif