Perspektif

Inside Out: Diri Sendiri yang Nggak Sendirian

4 Mins read

Pernahkan pembaca sekalian mendengar ungkapan “be yourself” atau “ikuti kata hatimu”? Ternyata, ungkapan sederhana ini nggak sesederhana kedengarannya. Bukan karena kita sulit melakukannya. Tapi lebih kepada “diri sendiri” yang ternyata nggak sendirian. Bisa dibilang diri sendiri sebenarnya justru “ramai”.

Menariknya, hal ini digambarkan dalam film anak-remaja berjudul Inside Out yang rilis tahun 2015 silam. Film yang disutradarai oleh Pete Docter ini menyajikan gambaran tentang diri dengan cara berbeda.

Inside Out dan Yuval Noah Harari

Semua ini bermula dari bulan April lalu. Penulis saat itu kembali dari Batam setelah menjadi MOT Pelatihan Fasilitator Pendamping IPM setempat. Saat kembali ke Jogja dan transit di Bandara Soetta, penulis mampir ke toko buku dan menemukan buku berbahasa Inggris berjudul 21 Lessons for the 21st Century. Buku ini ditulis oleh Yuval Noah Harari, penulis yang lebih dikenal dengan buku Sapiens dan Homo Deus.

Pada bab Science Fiction, Harari menyebutkan film Inside Out. Penulis berkebangsaan Israel ini menjelaskan film Inside Out sebagai “keputusasaan Disney terhadap kehendak bebas”. Dari sinilah penulis tertarik menonton film yang sebenarnya sudah cukup lama ngetren di dunia. Lalu, sebenarnya apa yang diceritakan dalam Inside Out?

Film animasi ini menceritakan tokoh bernama Riley Alexander, seorang anak berusia 11 tahun dari Minnesota yang harus pindah ke San Francisco mengikuti perpindahan pekerjaan ayahnya. Dalam film tersebut, Riley dan tokoh-tokoh lain digambarkan memiliki barisan pengendali diri yang bernama Joy (Keceriaan), Sadness (Kesedihan), Fear (Ketakutan), Disgust (Jijik), dan Anger (Kemarahan). Tokoh-tokoh ini menggambarkan emosi dasar yang dimiliki setiap manusia.

Setiap tindakan, mulai dari bermain, berkenalan, berbicara, menanggapi orang lain, semuanya diputuskan oleh barisan pengendali diri. Di sinilah film ini menjelaskan pandangan neurobiologi terbaru tentang manusia. Bahwa sebenarnya seorang manusia nggak hanya punya satu diri, bahkan nggak punya kehendak yang benar-benar bebas.

Baca Juga  Makna Ujian Hidup Menurut Ibnu Qayyim

Diri Manusia yang Banyak Jumlahnya

Perubahan dalam diri Riley menggambarkan pengambilan keputusan yang nggak tunggal. Dalam neurobiologi di dunia nyata, pengambilan keputusan dalam tubuh manusia ditentukan oleh otak dan hormon. Yang mana seringkali manusia tidak menyadarinya.

Proses pengambilan keputusan, bahkan kepribadian nggak serta-merta ada begitu saja. Saat baru lahir, Riley digambarkan hanya memiliki sosok Joy untuk pengambilan keputusan, lalu muncul Sadness. Pengendali emosi lain diiringi jenis-jenis emosi yang baru datang kemudian. Sehingga, gambaran manusia di film ini tak ubahnya seperti robot raksasa dengan Joy, Sadness, dan barisan pengendali diri lain sebagai otaknya. Tentu dengan proses pengambilan keputusan yang lebih rumit.

Penceritaan dalam film pun mengisahkan perubahan dalam diri Riley. Masa kecil yang ceria menuju masa remaja yang lebih kompleks. Ketika di masa kecil hanya ada 5 karakter dasar, saat menginjak masa remaja ada lebih banyak karakter. Ketika di masa kecil setiap memori terpisah dalam masing-masing perasaan, di masa remaja memori-memori tersebut bisa saja terdiri dari beberapa perasaan yang bercampur.

Misal, ketika mendapatkan sebuah prestasi, sangat mungkin sebelumnya ada perasaan sedih yang mengiringi karena gagal dalam prosesnya. Begitulah manusia, menginjak masa remaja dan dewasa urusan perasaan menjadi makin kompleks. Manusia pun kemudian bisa berubah seiring dengan proses pendewasaan.

Setelah memahami manusia bisa berubah, maka muncul pertanyaan: lalu di mana diri manusia yang sebenarnya? Apakah yang merupakan diri Riley adalah masa kecil yang ceria? Atau masa krisis yang panik, pemarah, dan tidak simpatik? Atau masa remaja yang kompleks dan berubah-ubah?

Jawaban yang dimiliki ilmu pengetahuan sejauh ini tidak berpihak pada ketiga diri yang disebutkan di atas. Karena jawabannya adalah manusia memiliki banyak diri, ada banyak hal terutama “algoritma” dalam bentuk biokimia dalam tubuh manusia yang berperan dalam pengambilan keputusan. Juga banyak faktor lain yang membuat diri manusia bisa berubah dari waktu ke waktu, bahkan saling bertentangan satu sama lain. Kita tentu pernah mengalami “pertengkaran” dalam diri sendiri, kan?

Baca Juga  Spirit Literasi dan Matinya Kepakaran dalam Kehidupan Inersia (Bagian 2)

Jangan Menyingkirkan Kesedihan

Satu hal menarik yang bisa dipelajari dari film ini adalah: jangan menyingkirkan kesedihan. Sejak kecil, kita selalu diharapkan untuk ceria, untuk terbuka, untuk menjadi baik pada semua orang. Padahal, emosi nggak sesederhana itu, ada kalanya kita marah, panik, jijik, dan sedih. Bahkan mungkin juga kita senang, lalu nggak lama kemudian sedih. Atau sebaliknya.

Dalam film, Sadness selalu disingkirkan oleh Joy. Sampai kemudian perjalanan mereka ke dunia memori, imajinasi, mimpi, sampai alam bawah sadar membuat Joy sadar bahwa ingatan inti Riley yang diisi perasaan bahagia juga ada peran Sadness di dalamnya. Kadang, kesedihan justru menjadi obat dan membuat perasaan-perasaan lain yang dominan kembali muncul.

Namanya manusia, sedih itu wajar-wajar saja, sebagaimana emosi lainnya. Meskipun kesedihan membawa kemuraman, tapi seringkali kesedihan yang membuat emosi lain menjadi berarti. Selain itu, setiap emosi muncul sebagai mekanisme dalam tubuh manusia untuk bertahan hidup. Maka, nggak jarang kesedihan dan emosi-emosi lain juga membawa pada perubahan ke arah yang lebih baik—termasuk proses menjadi dewasa.

Diri “Sendiri” yang Nggak Sendirian

Seperti disebutkan di awal, ternyata ada banyak diri dalam diri manusia. Manusia bukanlah terdiri atas “satu diri” atau satu “kata hati”. Manusia sangatlah kompleks dalam hal pengambilan keputusan, sehingga “kehendak bebas” patut untuk diragukan. Bahkan saat, kita benar-benar merasa punya kehendak bebas.

Contoh sederhana, saat kita akan memilih menu makan siang. Diri kita mungkin memilih antara nasi padang, sop ayam, nasi rames, atau makanan cepat saji. Saat kita memilih salah satu, kita merasa punya kebebasan dalam memilih. Bisa jadi itu benar, tapi jika ditelusuri lebih lanjut kita bisa bertanya, dari mana dan mengapa opsi-opsi tersebut muncul? Jawabannya nggak benar-benar kita ketahui.

Baca Juga  Menakar Saintisme dan Keterbukaan Pemerintah dalam Penanganan COVID-19

Itulah diri kita. Sangat kompleks dan nggak sendirian. Kita bisa mengalami beberapa hal dalam waktu bersamaan. Kita juga nggak tahu bagaimana opsi-opsi muncul dalam pikiran dan keputusan diambil. Bahkan dalam pikiran kita pun bisa terjadi pertentangan.

Tapi—sekali lagi—itulah diri kita. Selalu menarik mempelajari dan memahami diri kita sendiri. Dan mungkin, dapat dimulai dari penggambaran secara sederhana dan jenaka dalam film Inside Out melalui tokoh Riley, Joy, Sadness, Fear, Anger, Disgust, Bing Bong, dan tokoh-tokoh lain.

Editor: Yahya

20 posts

About author
Mahasiswa UGM. CEO IBTimes.ID
Articles
Related posts
Perspektif

Moderasi Hilirisasi Haji

3 Mins read
Dalam beberapa tahun terakhir, hilirisasi haji telah menjadi sorotan penting di Indonesia. Berangkat dari visi untuk memberikan pelayanan haji yang berkualitas dan…
Perspektif

AI dan Masa Depan Studi Astronomi Islam

4 Mins read
Kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) merupakan program komputer yang dirancang dan dihadirkan untuk dapat meniru kecerdasan manusia, termasuk kemampuan pengambilan keputusan,…
Perspektif

Pendidikan sebagai Dasar Pembentuk Nilai Hidup

3 Mins read
“Pendidikan (opvoeding) dan pengajaran (onderwijs) merupakan usaha persiapan dan persediaan untuk segala kepentingan hidup manusia, baik dalam hidup bermasyarakat maupun hidup berbudaya…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds