Zakat merupakan instrument jaminan sosial terpenting dalam Islam. Bahwa teori telah mengatakan, zakat akan mengurangi tingkat kemiskinan dan memperkecil kesenjangan pendapatan dalam masyarakat.
Persoalan kemiskinan dan kesenjangan masih senantiasa menjadi momok di banyak negara berkembang, termasuk di Indonesia. Meski pemerintah memiliki keinginan yang cukup kuat untuk melakukan formalisasi zakat di Indonesia. Namun, formalisasi tersebut terus berkembang dan masih mengalami perbaikan dari waktu ke waktu.
Zakat telah menjadi instrumen penyeimbang sektor ekonomi keuangan masyarakat atau lebih dikenal dengan istilah al-maliyah al-ijtima’iyah, dari sini zakat perannya sangat penting dan strategis dari sisi tarbiyah maupun menjadi tulang punggung kesejahteraan umat.
Zakat sendiri merupakan instrumen kekayaan dalam ekonomi Islam, yang saat ini pengelolaan manajeman zakat juga mengalami kemajuan yakni dengan adanya pengelolaan secara profesional dan tidak lagi menggunakan pola konvensional yang hanya mengandalkan azas kepercayaan dan ala kadarnya.
Pengelolaan dan distribusi zakat akan sangat menentukan apakah zakat dapat mencapai tujuannya secara efektif dalam rangka pengentasan kemiskinan dan meminimalisisr kesenjangan. Maka dari sinilah zakat perlu dilakukan pengelolaan secara institusional, agar supaya terorganisasi dengan baik pengambilanya dan penyaluranya.
Zakat di Indonesia
Pertumbuhan zakat, infak dan sedekah (ZIS) di tanah air dalam satu dekade terakhir sangat pesat. Perkembangan ini tidak lepas dari problem kemiskinan dan kesejahteraan pendapatan yang masih menjadi musuh utama negeri ini.
Potensi zakat di Indonesia didukung dengan jumlah penduduk muslim yang cukup besar dengan capaian sebesar 80%. Di tahun 2019, potensi zakat di seluruh Indonesia diperkirakan mencapai 233,6 T. Di antara tiap tahun, penghimpunan zakat nasional mengalami pertumbuhan rata-rata 30,55 persen.
Pada 2016, zakat yang berhasil dihimpun organisasi pengelola zakat baik Baznas maupun LAZ adalah sebesar Rp 5.017,29 miliar, dan meningkat menjadi Rp 6.224,37 miliar pada 2017 dan Rp 8.100 miliar pada 2018 (baznas.go.id/szn/2018).
Di sisi lain, Indonesia merupakan negara dengan jumlah lembaga syariah yang cukup besar. Sehingga memberikan dorongan bagi pengelolaan zakat secara professional dan terukur. Sehingga zakat mampu memainkan peranan sebagai instrumen ekonomi Syariah.
Peran serta organisasi masyarakat sipil dalam pengelolaan zakat cukup besar. Sepertihalnya Muhammadiyah dengan Lazismu dan Nahdlatul Ulama dengan Lazisnu, kedua Lembaga tersebut berperan cukup signifikan, bahkan program pengembangannyapun mampu menyelaraskan kebutuhan masayarakat baik lapisan atas maupun lapisan bawah.
Hal ini menjadi sebuah potensi zakat terkelola dengan baik. Baznas sebagai salah satu badan lembaga amil zakat nasional perlu diberi lagi penguatan dengan peran serta masyarakat. Sehingga, keberadaan Baznas bisa lebih dirasakan manfaatnya oleh masyarakat luas.
Menepiskan Kemiskinan
Pola manejemen professional pengelolaan zakat memberikan kesempatan bagi banyak pihak untuk terlibat dalam pembangunan kesejahteraan. Program pemberdayaan masyarakat sangat diperlukan, sehingga memberikan dorongan yang lebih luas terhadap masyarakat untuk mendermakan hartanya kepada organisasi pengelola zakat.
Hal ini sekaligus mendorongan pemerintah dalam mengeluarkan bentuk regulasi dan kebijakan terkait institusionalisasi Lembaga yang harapannya dapat menciptakan kemandirian dan kesejahteraan masyarakat serta pertumbuhan daya serap zakat secara efektif.
Pemahaman tentang penghimpunan, pengelolaan dan pendistribusian zakat menjadi pangkal ketidakmampuan konsep zakat memberikan output yang signifikan bagi perbaikan ekonomi umat. Pengelolaan zakat yang tepat, selain mampu memberdayakan kaum miskin juga dapat memutus lingkaran rentenir yang berefek pada lingkaran sosial.
Pengelolaan zakat akan dapat secara penuh teraplikasikan bagi kemaslahatan umat. Terlebih ketika sirkulasi pelaksanaan zakat dilakukan secara masif, maka dampaknya mampu menstimulus pembangunan manusia Indonesia unggul sehingga otomatis menggeser turunnya angka pengangguran serta secara langsung akan berimplikasi pada penurunan angka kemiskinan di Indonesia.
Mengutip desertasi Doktor yang ditulis oleh Patmawati Ibrahim (2006) tentang “ Economic Role of Zakat in Reducing Income Inequality and Poverty in Selangor” menunjukkan bahwa zakat telah berhasil mengurangi tingkat kemiskinan dalam berbagai aspeknya. Salah satu adalah segi poverty incidence. Zakat telah menyebabkan tingkat kemiskinan berkurang dari 62% menjadi 47% dari total penduduk fakir dan miskin yang menjadi mustahik zakat.
Keseriusan pemerintah dalam melakukan integrasi pengelolaan zakat harus ditekankan, karena zakat merupakan bagian instrument penting dari kebijakan ekonomi nasional. Melihat potensinya yang cukup besar, pemerintah dipastikan akan mampu memiliki tambahan sumber dana domestik untuk pemberdayaan kelompok miskin, tanpa harus menambah hutang kepada pihak asing.