Novel karya Sukran Kamil ini mengemukakan pandangannya terkait sebuah kemungkinan dua ilmu yang dianggap banyak orang tidak mungkin disatukan ternyata dapat dintegrasi; antara ilmu agama dan ilmu pengetahuan modern.
Sukran Kamil memilih judul Novel ini dengan “Di Antara Dua Cakrawala (DADC)” sebagai ungkapan dalam menggambarkan dua ilmu menjadi pembuka cakrawala antara keislaman tradisional dan cakrawala modernisme barat. Agama dan Ilmu Pengetahuan Modern yang merupakan pegangan untuk membentuk manusia menjadi pemikir muslim atau cendikiawan.
Salah satu alasan hadirnya keberadaan Novel ini adalah untuk menghidupkan kembali sastra islam realis kritis, di mana jenis novel ini masih kurang di Indonesia. Selain itu, dipasaran bacaan novel hanya cenderung kepada novel romantisme yang menjadikan rasa sebagai basis pengungkapan sastra, baik ungkapan berbentuk tahsin ataupun taqbih.
Kisah Ibrahim Sayyar, Anak yang Ingin Jadi Ilmuwan
Novel ini mengisahkan seorang santri bernama Ibrahim Sayyar. Dia memiliki cita-cita kuat untuk menjadi seorang ilmuwan, tidak hanya dapat menguasai ilmu agama, tetapi mampu memahami ilmu pengetahuan modern. Dan hal itu didukung penuh oleh Ayahnya. Berbagai rintangan dilalui untuk menggapai mimpinya dalam menguasai kedua ilmu itu dalam waktu bersamaan. Novel ini hadir sebagaimana judulnya, Di Antara Dua Cakrawala (DADC); Antara Cakrawala Keislaman Tradisional dan Cakrawala Modernisme Barat, yaitu ilmu pengetahuan modern.
Ibrahim Sayyar lahir dari keluarga yang taat beragama dan tidak skeptis terhadap agama lain. Ayahnya adalah seorang muallim kampung/ustadz, dikenal cerdas yang sering dipuji gurunya yang di kampung. Ayahnya adalah seorang ahli agama yang memiliki ilmu yang mumpuni dibidang kitab gundul (kuning), sebanding dengan kiai.
Pekerjaan ayahnya adalah seorang pedagang kaki lima dan juga diberi kesempatan mengajar masyarakat di kampungnya, sehingga untuk makan saja terkadang sulit. Walaupun berasal dari keluarga dengan hidup pas-pasan, hal itu tidak menggulung semangat belajar Ibrahim Sayyar. Dia sebagai tokoh utama dalam buku ini memberikan ibrah bagi orang yang sedang menempuh jalan dalam menuntut ilmu, bahwa jika seseorang bersungguh-sungguh dalam mengejar ilmu, insya Allah jalannya selalu terbuka.
***
Dia adalah murid yang sangat cerdas, tidak hanya di bidang Agama, tetapi juga mumpuni di bidang ilmu pengetahuan umum. Dia belajar di dua tempat sekolah formal dan pesantren yang dia ikuti hanya pada jam-jam tertentu. Kalau kata orang diistilahkan Dia dan kawan-kawan sekampungnya yang nyantri sebagai jenis santri Kalong (kelelawar). Belajar di pesantren hanya pada malam hari saja, tidak seperti santri pada umumnya yang menetap full 24 jam berada di pesantren.
Dia masuk pesantren sebagai santri luar berjenis kalong mulai sejak kelas V SD sampai lulus MTs, yang hanya mengikuti kajian secara bandungan sistem pengajaran dengan jumlah santri yang mengikutinya bisa banyak (berkelompok). Atau dalam istilah lain disebut halaqah. Pagi harinya dia belajar di sekolah formal dan malamnya ngaji di pesantren. Begitulah pulang-pergi dari rumah yang dia lakukan setiap hari demi menjadi seorang ahli ilmu agama dan pengetahuan modern dalam satu waktu.
Pentingnya Integrasi Agama dan Sains
Novel ini terbagi ke dalam delapan belas bagian, dimana pada bagian-bagian tersebut menyisihkan pelajaran-pelajaran berharga dan membuka cakrawala pembaca dalam pemahaman tentang pentingnya integrasi antara ilmu agama dan sains (pengetahuan modern).
Selain membuka mata kita terhadap dua ilmu tersebut, pada beberapa bagian juga memberikan kritik terhadap kaum fundamental yang menganggap bahwa kunci surga hanya di tangan orang-orang yang belajar agama tanpa dicampuradukkan dengan pelajaran modern. Mari kita simak beberapa kutipan dari novel ini:
“Ayahku juga sempat dikritik guru Kiai Masdhar (guru ngaji ibra sejak SD); masa seorang kiai (terhadap Ayah Ibrahim) yang mempunyai anak pintar dan berbakat malah disekolahkan ke sekolah modern. Ini adalah ironi seorang kiai, bahkan ketidakpedulian pada generasi selanjutnya. Baik Kiai Masdhar maupun kakak sepupuku beranggapan sekolah formal adalah lembaga pendidikan yang berupaya mengonservasi, memproduksi, dan mengembangkan ilmu Barat modern yang menjauhkan siswanya dari ilmu agama.”
***
Dari kutipan di atas tampak bagaimana Kiai Masdhar/guru ngaji Ibrahim Sayyar dan sepupu dari ayahnya menganggap bahwa jika disekolahkan ke sekolah modern adalah sesuatu usaha yang bisa menjauhkan seseorang dari agama. Namun ayah Ibrahim Sayyar membalas kritikan tersebut dengan berargumen: “Ibra anakku sekolah di sekolah modern (sekolah MTs) yang mengajarkan ilmu-ilmu modern, tetapi plus ilmu agama hasil kajian akliyah, bukan berdasarkan sanad (tranmisi) hingga ke Nabi semata seperti yang diajarkan pesantren. Ini penting mengingat jemaah yang akan dihadapi generasinya nanti makin banyak yang sekolah modern yang kebiasaan berpikirnya berdasarkan berpikir lurus (logis). Karenanya, dai atau kiai kedepan harus juga kuat di ilmu modern selain ilmu agama, tegas ayahku.”
Dengan jelas pandangan semacam ini adalah pandangan yang melihat ke depan. Di saat sekarang, seorang santri yang menimba ilmu agama di pesantren tentunya jangan hanya belajar agama, tetapi harus diimbangi dengan pelajaran-pelajaran modern. Karena pergeseran zaman begitu cepat, membawa arus ke dalam transformasi digitalisasi dan teknologi yang memberikan dampak yang signifikan terhadap umat Islam.
Kesimpulan
Menurut saya, melalui pemaparan dalam Novel ini baik ilmu agama maupun ilmu rasional/empiris modern yang dikembangkan di Barat adalah ilmu Allah yang keduanya idealnya dan harus dikuasai oleh seorang Muslim. Jangan sampai seorang penuntut ilmu agama memiliki tindakan dalam mendikotomikan ilmu (memisahkan dan membedakan ilmu secara demarkatif antara ilmu agama dan ilmu modern). Tidak berbasis pola pikir yang harusnya kedua ilmu dipadukan/diintegrasikan dan dikuasai dengan baik.
Sukran Kamil menulis novel ini dengan bahasa yang lancar, mengalir tanpa ada kerumitan. Ia bercerita seolah-olah menjadi pemeran dalam Novel ini. Sebagaimana yang saya ketahui, beliau adalah Guru Besar Bidang Bahasa dan Sastra Arab. Dia mampu membawa pembaca pada pemahaman tentang pentingnya modernisasi agama dan pengetahuan modern.
Agaknya, Sukran Kamil sebagai penulis novel ini membalut pembahasan integrasi ilmu agama dan sains modern dengan cerita yang bernuansa sastra dalam bentuk Novel. Seperti tokoh dalam novel ini, Sukran Kamil adalah seorang ilmuan yang tidak hanya ahli di bidang agama, tetapi juga paham pada bidang ilmu kemoderenan, dan terbukti dengan banyaknya karya yang dilahirkan, seperti Islam dan Sains Modern, Islam Demokrasi: Telaah Konseptual, Pemikiran Politik Islam Tematik, Pendidikan Integrasi Anti Korupsi, dan masih banyaj yang lainnya.
Membaca novel ini membuka mata kita jadi lebih terbuka, bahwa anggapan ilmu modern dapat merusak nilai-nilai agama adalah keliru. Justru, ilmu modern bisa menjadi pendukung yang kuat bagi kemajuan agama dan bangsa. Dengan menguasai teknologi dan informasi, umat Islam dapat memperkuat posisinya dalam menghadapi tantangan zaman dan menjadi bagian dari kemajuan global tanpa kehilangan identitas keagamaannya.
Biodata Buku
Judul buku: Diantara Dua Cakrawala (DADC)
Penulis: Sukran Kamil
Penerbit : Kakilangit Kencana
Cetakan : I, 2024
Tebal : 297 Halaman
ISBN : 978-602-5848-56-8
Editor: Soleh