Memasuki dekade ketiga abad 21, Muhammadiyah perlu bergerak di level intelektualisme global. Pengalaman dan kekayaan sumber daya yang dimiliki Muhammadiyah, mengharuskan Muhammadiyah memperluas cakupan dakwah pemikirannya.
Degradasi etika sosial, budaya, politik, dan paham keagamaan yang semakin mendiskreditkan humanisme, etika luhur, dan hidup yang adil, meniscayakan adanya alternatif pemikiran segar, yang bisa mengakomodasi ruang kolaborasi untuk membangun peradaban yang adil.
Penulis melihat, peran kunci ini bisa diambil oleh Muhammadiyah melalui agenda internasionalisasi ide dan manhaj berpikir ala Muhammadiyah yang mengedepankan semangat kemajuan.
Agenda internasionalisasi Muhammadiyah sebetulnya bukan ide baru. Penulis pribadi pertama kali mendengar ide ini dilontarkan oleh Prof. Dr. M. Amin Abdullah ketika ia memaparkan makalahnya di forum Tadarus Pemikiran Kaum Muda Muhammadiyah pada 17-19 Juli 2014 di Universitas Muhammadiyah Malang.
Ketika itu, Prof. Amin menyebut bahwa harus ada sesuatu yang ditawarkan dari Muhammdiyah kepada dunia internasional, “ada something to offer to the world atau tidak?” Pada sesi itu, Prof. Amin sebetulnya memberi contoh yang baik, dengan mendiskusikan dua karya penting yang ditulis oleh Greg Barton dan Martin Van Bruinessen.
Apa yang dilakukan oleh Prof. Amin, dengan mendiskusikan dan membedah karya orang lain secara akademis, sebetulnya adalah contoh yang baik, bahwa agenda internasionalisasi itu memang harus hidup dalam cara pandang intelektualisme yang kokoh. Tidak bisa sekadar menerjemahkan sebuah naskah, lalu selesai. Inilah kenapa kemudian upaya-upaya internasionalisasi ide dan manhaj berpikir ala Muhammadiyah itu perlu disegarkan kembali.
Tiga Alasan Pentingnya Internasionalisasi Pemikiran Muhammadiyah
Tapi, pertanyannya, mengapa kita perlu melakukan internasinalisasi pemikiran Muhammadiyah? Penulis punya beberapa alasan.
Pertama, banyak pikiran kunci resmi Muhammadiyah yang sebetulnya menarik jika didiskusikan di level global. Sayangnya, ide tersebut belum memperoleh kesempatan, baik karena pemikir global tidak memperoleh akses pada pemikiran tersebut, atau karena akademisi Muhammadiyah enggan mendiskusikan atau mempromosikannya sebagai sebuah karya akademik.
Kedua, selain pokok pikiran resmi Muhammadiyah, pemikiran tokoh Muhammadiyah juga begitu menarik sebagai sebuah khazanah intelektualisme muslim di Asia Tenggara atau Asia Pasifik. Lebih-lebih, ide-ide tersebut tidak kalah mencerahkan ketimbang pemikir global lainnya.
Ketiga, kebutuhan zaman. Sebagai organisasi yang konsisten membangun bangsa, kemanusiaan, dan umat Islam selama lebih dari 1 abad lamanya, inilah momentum Muhammadiyah aktif mendistribusikan idenya di level global. Menawarkan lesson-learned yang inspiratif mengenai tafsir Islam yang konkret, universal, dan relevan dengan kebutuhan zaman. Muhammadiyah tidak bisa lagi berpangku tangan menunggu peneliti global datang ke Muhammadiyah, sebagaimana yang dilakukan Mitsuo Nakamura, James L. Peacock, Herman L. Beck, dan lain sebagainya.
Penyegaran Kembali
Sungguhpun begitu, upaya-upaya internasionalisasi ide khas Muhammadiyah, harus dilakukan penyegaran kembali. Sebab, sejauh penulis melihat, upaya internasionalisasi ide Muhammadiyah itu umumnya hanya dilakukan melalui kerja penerjemahan, lebihnya tidak. Padahal, inti dari proses internasionalisasi adalah bagaimana sebuah pemikiran itu membuka ruang diskusi dan dialektika antar-pemikir atau cendekiawan. Tapi, bukan berarti kerja penerjemahan itu bisa disepelekan. Sebab, upaya ini urgen untuk mengantarkan pemikiran tokoh Muhammadiyah sampai pintu gerbang pasar intelektualisme dunia.
Pertama, dalam rangka menyegarkan kembali upaya internasionalisasi pemikiran Muhammadiyah itu, maka proses internasionalisasi tidak boleh berhenti pada fase penerjemahan. Setelah karya diterjemahkan, atau barangkali pada saat proses sebuah karya itu diterjemahkan, ide atau pemikiran tokoh Muhammadiyah itu perlu didiskusikan secara serius di kalangan pemikir, ideolog, dan akademisi Muhammadiyah, syukur-syukur melibatkan pemikir lain di luar Muhammadiyah.
Keluhan Mas Tarli Nugroho, seorang peneliti ekonomi Pancasila dari Universitas Gadjar Mada, soal keengganan akademisi Indonesia menyitir atau mendiskusikan hasil riset rekan sendiri, menarik untuk dibaca. Padahal, pola seperti inilah yang dilakukan oleh para akademisi Barat.
Hasil riset atau hasil pemikiran ‘rekan sejawat’, didiskusikan secara serius, dikutip, dikritisi, didekonstruksi, begitu sebaliknya, pemilik ide juga terbuka dengan usulan kritis, sehingga ide itu matang dan berkembang di kalangan akademisi di luar lingkarannya. Aspek kritik, semangat mendiskusikan, dan sitir-menyitir ini penting, sebab melalui langkah inilah suatu ide itu hidup dan berkembang sebagai sebuah konsekuensi dunia intelektual.
Penulis pribadi melihat bahwa ide-ide pemikiran akademisi Indonesia, termasuk pemikir, ideolog, dan akademisi Muhammadiyah hanya disetorkan ke jurnal internasional, lantas selesai. Seolah-olah tugas sudah selesai. Tidak ada aspek kritis, upaya mendiseminasi, atau mengangkatnya menjadi topik diskusi yang menggugah di lingkaran akademisi Muhammadiyah. Seolah ada gengsi untuk mengutip atau mendiskusikan hasil riset rekan sendiri.
***
Kedua, mempromosikan ide tokoh Muhammadiyah di level global dengan menyandingkannya dengan tokoh pemikir lain yang memiliki corak atau kapasitas pemikiran yang sama. Misalnya, dalam konteks kemanusiaan, ide-ide Buya Ahmad Syafii Maarif tentu tidak kalah dahsyat dengan ide-ide kemanusiaan intelektual global, ide-ide pendidikan humanis ala Prof. Abdul Malik Fadjar tentu tidak kalah dengan ide pendidikan tokoh-tokoh kunci global lainnya. Upaya penyandingan ini, misalnya, pada 22 Oktober 2022, RBC Institute mempresentasikan filosofi pendidikan Prof. Abdul Malik Fadjar di the 14th Annual 2022 Indonesia Focus Conference, di University of Pittsburgh (acara diselenggarakan secara daring). Tentu, upaya ini dilakukan untuk membuka celah diskusi ide-ide pendidikan dari tokoh Muhammadiyah.
Ketiga, menghidupkan kembali semangat intelektualisme di kalangan anak muda Muhammadiyah. Proses internasionalisasi Muhammadiyah, tidak ada pilihan lain, harus digerakkan oleh geng anak-anak muda. Sebab, gelombang masa depan Muhammadiyah ada di tangan generasi yang kini masih menempuh S1, S2, dan S3.
Kelompok ini harus giat, bersemangat, dan kolaboratif menghidupkan forum diskusi ilmiah yang kritis mendiskusikan gagasan di antara mereka, pemikiran tokoh kunci Muhammadiyah, dan pemikiran resmi Muhammadiyah. Jika proses ini dilakukan secara konsisten dalam kurun 10-15 tahun saja, penulis melihat bahwa wajah Muhammadiyah di level Asia Tenggara dan global akan berubah, syukur-syukur ini memunculkan harapan baru atas kebangkitan Islam Asia Tenggara yang lebih humanis dan berkemajuan.
Akhirnya, menjelang Muktamar Muhammadiyah ke-48 di Solo pada 18-20 November 2022, boleh jadi penyegaran ini perlu dilirik, setidaknya oleh mereka yang muda-muda.
Editor: Yahya FR