“… Sebuah pengetahuan itu, bagaimanapun hanya dapat dipahami melalui pengalaman”. (Paulo Freire)
Proses pembelajaran khususnya di Perguruan Tinggi (PT) sejatinya menuntut peran aktif para pendidik yang memiliki posisi penentu di sebuah lembaga pendidikan. Pendidik (dosen) memiliki tanggung jawab besar untuk mendidik dan menyediakan bagi subjek didiknya (mahasiswa) wacana-wacana kritis yang memperdalam dan memperluas cakrawalanya.
Dalam proses kegiatan belajar mengajar paling tidak subjek didik harus diajarkan tiga hal: Pertama, bagaimana cara mendialetikkan sebuah teori dengan teori. Kedua, bagaimana cara mendialektikkan sebuah teori (teks) dengan realitas sosial (konteks). Ketiga, bagaimana subjek didik diajarkan untuk memiliki rasa tanggung jawab sosial.
Antara teori dan realitas sosial tidak boleh dipisahkan, harus ada proses dialektika antar keduanya. Maka untuk mengatasinya tidak cukup bagi pendidik hanya sekedar memahami teori-teori normatif yang tersimpan rapi di dalam memori-memori kepalanya saja, lalu mengajarkannya.
Tugas seorang pendidik selain memberikan pemahaman teoritis kepada subjek didiknya, ia juga harus menekankan rasa tanggung jawab sosial yang diperlukan untuk mengatasi masalah-masalah sosial yang sedang dihadapi oleh masyarakatnya. Subjek didik juga harus diberi ruang kebebasan berpendapat, harus ditumbuhkan cara berpikir kritis, dan pendidik harus menjadikan subjek didiknya sebagai mitra bukan sebagai saingan yang harus dikalahkan.
Jika proses kegiatan belajar-mengajar dipraktekan sedemikian rupa, yaitu melihat diri sendiri dalam hubungan dialektis dengan realitas sosial, maka pendidikan seperti ini akan menolong manusia untuk meningkatkan sikap kritis terhadap dunia dan dengan demikian mengubahnya. (Paulo Freire)
Perguruan Tinggi harus mengusahakan model pendidikan seperi itu berjalan secara dinamis di lingkungannya, sebab Perguruan Tinggi merupakan ruang publik yang tersedia untuk praktek intelektual alternatif nyata. (Edward Said: 2004)
Pendidik yang Inersia
Kenyataannya, untuk mewujudkan cita-cita tersebut memanglah tidak mudah, apabila tidak didukung dengan kualitas pendidik yang mumpuni dari segala aspek. Kenapa demikian, karena posisi pendidik sangat menentukan bagi perkembangan sikap dan mental subjek didiknya. Sebab kurikulum yang baik apabila tidak ditopang dengan keberadaan pendidik yang berkualitas, juga hanya akan menjadi deretan narasi kosong tak bermakna.
Begitu juga dengan bangunan yang megah beserta fasiltas dan sarana prasarana pendidikan yang memadai hanya akan menjadi pajangan, apabila tidak didukung dengan kualitas pendidik yang handal. Dari sini bisa ditegaskan bahwa keberadaan pendidik kurang lebih menetukan segalanya, tanpa maksud menafikan elemen-elemen pendidikan yang lain.
Akan tetapi terkadang sering kita jumpai kualitas beberapa pendidik yang masih kurang dari harapan. Karena dibeberapa kasus proses belajar mengajar acap kali dilakukan hanya dengan sekedarnya. Sekedar memenuhi terget jam mengajar dan sekeder menggugurkan kewajiban saja. Jangankan berbicara soal mendialektikkan teori dengan teori, teori dengan realitas sosial.
Kerap kali justru yang terjadi malah terjebak kepada hal-hal yang bersifat teknis dan administratif. Ironisnya bagi beberapa pendidik hal itu dianggap sebagai tugas utama, sehingga benar-benar menggeser tugas utamanya sebagai seorang pendidik yang seharusnya berjibaku di ranah keilmuan, kesadaran dan perubahan sosial.
Belum lagi mereka yang cara mengajarnya masih menggunakan metode hafalan dan ceramah dengan ungkapan-ungkapan retorik tanpa dasar teori yang jelas. Semakin menjauhkan subjek didik dari apa yang disebuat sebagai kesadaran kritis. Jika kegiatan belajar mengajar masih dipraktikan dengan cara-cara seperti itu, maka kita tidak beranjak dari ketergantungan pendidikan secara naïf. Sebagaimana Paulo Freire menyindir: “Pendidikan yang hanya disampaiakn sebatas pada ungkapan-ungkapan muluk, pada hafalan, dan kencenderungan pada yang abstrak sesungguhnya menunjang kenaifan kita”.
***
Selain fakta di atas, ada pula fakta tentang seorang pendidik yang memang memiliki kualitas keilmuan yang melebihi dari apa yang sudah diungkap sebelumnya. Namun ia hanya menguasai narasi-narasi terori saja, dengan kata lain ia hanya memiliki perbendaharaan teori, tetapi tidak sampai pada taraf mendialektikkan teori dengan teori atau teori dengan realitas sosial.
Di sisi lain ada juga pendidik model terakhir, yaitu mereka yang menguasai berbagai teori dan mampu mendialektikkannya. Tetapi tidak memiliki rasa tanggung jawab sosial untuk peran serta dalam menyelesaikan persoalan-persoalan yang dihadapi oleh masyarakatnya. Maka oleh Alfred North Whitehead (1967) keadaan seperi ini diistilahkan dengan “ide-ide inersia”, yaitu ide-ide yang semata-mata hanya diterima di dalam pikiran tanpa digunakan atau diuji atau diolah menjadi kombinasi yang segar”.
Pendidik yang Transformatif
Model pendidik yang transformatif ini kebalikan dari pendidik yang inersia. Pendidik yang transformatif lebih bisa diharapkan dalam membangun subjek didik agar bisa menjadi manusia yang kritis dan berani membicarakan masalah-masalah lingkungannya serta turun tangan dalam lingkungan tersebut. Pendidik yang mampu memperingatkan manusia dari bahaya-bahaya zaman dan memberikan kepercayaan dan kekuatan untuk menghadapi bahaya-bahaya tersebut, bukan pendidik yang menjadikan akal subjek didiknya menyerah patuh pada keputusan-keputusan orang lain. (Paulo Freire: 1984)
Jika model pendidik yang inersia belum bisa dimungkinkan untuk membentuk kesadaran dan sikap kritis subjek didiknya, maka mari kita letakan harapan tersebut ke pundak pendidik yang memiliki jiwa-jiwa transformatif. Mereka itu siapa?, maka beberapa gagasan Moeslim Abdurrahman bisa kita gunakan untuk mengklasifikasikannya. Ada berberapa hal yang harus diperhatikan untuk menjadi pendidik yang transformatif:
Pertama, Pendidik transformatif adalah mereka yang menghendaki adanya dialog antara teks (teori) yang disampaikan oleh pendidik dengan konteks (realitas sosial) yang sedang dihadapi oleh subjek didik. Kedua, Pendidik yang tidak menjadikan proses belajar-mengajar sebagai rutunitas formal, dan tidak membuat ukuran-ukuran pembelajaran menjadi trivialistis (dipermukaan), seperti peroses pembelajaran yang hanya dimaknai berkisar pada soal daftar hadir, penugasan, jumlah sks, jumlah pertemuan, penilaian berdasarkan keaktifan di kelas dan lain-lain.
Ketiga, Pendidik tranformatif dalam proses pembelajaran tidak hanya menekankan pengarahan tetapi juga melakukan proses pendampingan terhadap subjek didiknya, serta menghindari pemaksaan-pemaksaan terhadapnya. Keempat, Pendidik transformatif memiliki sifat humanis dan misi liberatif. Humanis (memanusiakan manusia) dalam arti tidak menafikan potensi yang ada di dalam diri subjek didik, serta pembelajaran yang diorientasikan untuk menghargai dan mengoptimalkan setiap potensi subyek didik.
***
Kelima, Pendidik yang melakukan proses regrouping atau memunculkan komunitas-komunitas baru di antara subjek didik. Dengan membangun komunitas sebagai kekuatan kultural dan intelektual, maka akan muncul keasadaran secara kolektif untuk transformasi sosial yang berasal dari kalangannya sendiri. Regrouping juga bisa diartikan sebagai pengkaderan intelektual dan kultural oleh pendidik. Keenam, metode pengajaran yang digunakan oleh pendidik yang transformatif adalah dialog. Dialog antar peserta didik (pendidik dan subjek didik), dan dialog dengan realiatas sosial.
Terakhir, dalam ungkapan jawa tentang pendidik sering kita dengar dengan istilah “guru: digugu lan tiru”. Artinya yang digugu dari seorang pendidik itu adalah apa yang disampaikan dan apa yang diucapkannya. Makanya apa yang keluar dari lisan seorang pendidik harus sesuatu yang berbobot dan berkualitas, sehingga memberi manfaat kepada subjek didiknya.
Namun lagi-lagi apa yang keluar dari lisan itu tergantung dari kualitas dan kapasaitas keilmuan si pendidik. Sedangkan kata ditiru bermakna suri ketauladanan. Dalam konteks pendidikan, seorang pendidik paling tidak harus memiliki karya akademik dan prestasi akademik serta memiliki karya dan prestasi non-akdemik yang bisa ditiru oleh subjek didiknya. Menjadi ironi apabila seorang pendidik tidak memiliki semua itu, terus apa yang mau digugu dan ditiru oleh subjek didiknya?