Allahuakbar-allahuakbar, suara dari TOA mushola kali ini jadi penanda Asep harus bersegera pergi ke mushola. Kebetulan Asep yang sudah lama merantau belum pernah sholat jamaah ke mushola yang baru dibangun itu. Bersegera Asep ganti baju, memakai peci dan sarung bersiap bertolak ke sana. Tiba-tiba Ibu Asep teriak “Le, sholatnya di mushola yang biasanya saja ya, jangan di mushola baru.”Â
Jeng-jeng, Asep yang belum paham duduk perkara kenapa ibunya bilang demikian. Sejenak berhenti dari kayuhan mantap sepedanya. Sebenarnya Asep ingin mendebat. Lha wong sama-sama ibadah kok main beda-bedain mushola segala, mana mushola yang baru ini jaraknya relatif dekat daripada mushola biasanya, alias mushola lama. Kan nggak logis. Gitu pikir Asep.
Setelah Asep pulang dari mushola, ibunya pun bercerita. Bahwa mushola yang lama, alias bukan yang baru itu sebenarnya merupakan bangunan hasil kerja keras mbah-mbahnya dulu. Ya walaupun bangunannya sudah kuno dan ngga sebagus mushola baru. Tapi gara-gara makna historis itu, Asep juga harus ikut serta menjadi jamaah tetap di sana.Â
Dulu, maksudku beberapa bulan lalu sebelum mushola itu dibangun, warga sekitar juga melakukan musyawarah. Gampangnya ada dua kubu, kubu pertama adalah kubu pro pembangunan dan kubu kedua adalah kubu kontra pembangunan. Kubu pro pembangunan mengatakan kalau pembangunan masjid ini adalah hal yang urgent. Karena berurusan dengan faktor yang paling penting. Yaitu jarak yang lebih dekat daripada ke mushola lama.
Sedangkan kubu kedua beranggapan bahwa jarak bukan menjadi masalah, lha jarak dari mushola lama dengan calon bangunan mushola baru itu cuma lima ratus meter. Saya ulangi lagi ya, “lima ratus meter.” Selain itu kubu kontra juga mengatakan kalau pembangunan masjid ini akan membagi jamaah menjadi dua. Lha jumlah jamaahnya sudah sedikit, apalagi kalau dibagi dua. Kan syedih.
Nah usut punya usut ternyata pentolan kubu pro ini dapat bantuan biaya dari pihak asing. Nilainya cukup fantastis, sekian ratus juta begitu. Makanya mereka ngebet pengen bangun masjid baru.
Alhasil musyawarah mengijinkan kubu pro untuk membangun mushola baru supaya ibadah warga sekitar sana jadi lebih mudah tanpa terkendala jarak. Yang konon, sekali kagi “lima ratus meter.” Sungguh keputusan yang manis.
***
Bulan istimewa yang ditunggu-tunggu, Ramadhan pun tiba. Asep pun tetap berada di kampung karena kampus masih tutup gara-gara Corona. Pengamatan Asep pun berlanjut. Sesuai perkiraan, hype ramadhan menjadikan jumlah orang yang pergi ke mushola meningkat pesat.
Para jamaah dadakan ramadhan ini pun ikut kebingungan, mau pergi ke mushola baru yang bangunannya bagus dan masih bau semen, atau pergi ke mushola lama sebagai bukti kesetiaan. Terlebih mayoritas leluhur mereka dulu juga jamaah loyal mushola yang lama.Â
Sesuai dugaan, jika dahulu barisan jamaah sholat tarawih bisa sampai lantai paling belakang. Tahun ini tidak sebanyak itu, karena beberapa beralih ke mushola baru.
Tak hanya jamaah dewasa, jamaah bocah pun ambil bagian. Sebagian besar mereka menuruti orang tuanya untuk menjadi jamaah mushola lama, hanya jamaah yang berumah kiri kanan mushola baru yang menjadi jamaah disana. Jelas, kali ini mushola lama menunjukan taringnya bahwa bangunan lama memang membawa tuah.
Mushola baru pun tak mau kalah, mereka membuat strategi anyar buat menarik jamaah. Strategi jitu macam memberikan uang saku ke bocah yang mau ngaji di sana pun diluncurkan. Selain itu pihak takmir juga mengadakan kegiatan rutinan baru berupa latihan tiba’an buat ibu-ibu dan kursus mengaji buat anak kecil. Lama-kelamaan jamaah mushola baru pun makin meningkat.
***
Hari-hari setelah ramadhan pun berlalu, para pemuda dan orang-orang yang awalnya pulang gara-gara Corona sekaligus lebaran pun satu persatu mulai pergi lagi. Otomatis, mushola baru maupun lama jamaahnya juga kembali ke normal kagi. Kata lainnya, “sedikit.”
Sebenarnya sebelum mushola baru ini jadi saingan mushola lama. Sudah ada satu mushola lagi yang baru saja dibangun empat sampai lima tahun yang lalu. Tepat tujuh ratus meter dari mushola lama. Strateginya untuk menarik jamaah pun juga sama dengan mushola yang baru ini, beri uang saku ke bocah, buat latihan tiba’an, dan kursus mengaji. Persis.
Jadinya sekarang, di kawasan Asep tinggal, sudah ada tiga mushola dengan masing-masing jamaahnya.
Tenang, bukan hanya di kawasan asep saja kok. Satu setengah kilometer ke arah utara. Pembangunan mushola tandingan juga tejadi. Bahkan lebih ngeri lagi. Jaraknya cuma “dua ratus meter.” Lebih petjah lagi kan?
Tolong anda lebih tenang, bukannya mayoritas di semua kampung juga gitu ya? Mushola-mushola baru mulai bermunculan, tidak peduli jaraknya dekat pun. Pembangunan juga tetap jalan.Â
Sebenarnya idealisme para kubu pembangun mushola tandingan ini cukup sama. Mereka ingin membangun mushola yang nantinya dipakai beribadah orang banyak. Supaya menjadi amal jariyah mereka kelak.
Mereka sebenarnya sadar kalau hal baru pasti akan menimbulkan omongan di masyarakat yang belum terbiasa. Bukan hanya mushola toh, lha ada tetangga beli mobil baru saja juga bisa jadi bahan omongan. Jadi ya cukup ditunggu lima sampai sepuluh tahun saja, supaya semuanya terbiasa. Ya nggak, ya nggak?
Yah, semoga makin banyaknya mushola di kampung ini juga menambah jumlah jamaah di masing-masing mushola ya. Jangan sampai saking minimnya, imamnya nyambi jadi makmum sekalian. Kan tragis.
Tapi kalau kamu tiba-tiba dapat bantuan uang. Kamu lebih memilih buat mushola baru di kampung, atau renovasi bangun mushola lama? Pikir baik-baik ya hehehe.
Editor: Dhima Wahyu Sejati