Perspektif

Islam: Agama yang Tak Sekadar Hafalan Belaka!

3 Mins read

Seorang teman bercerita kepada penulis bahwa dirinya belum menerima ijazah MA-nya dari pesantrennya hingga sekarang. Ternyata sebab pesantrennya belum memberikan ijazahnya adalah karena dirinya belum merampungkan hafalan surah-surah panjang tertentu Al-Qur’an yang diwajibkan. Satu hal yang perlu dicatat, bahwa pesantrennya bukanlah pesantren tahfiz.

Hal tersebut membuat penulis bertanya-tanya. Apa motif para pendidik di sana menerapkan kewajiban menghafal Al-Qur’an? Cukupkah kemampuan menghafal digunakan sebagai standar, padahal para pendidik sadar bahwa tidak semua murid akan menjadi ulama, hafiz, dan sejenisnya?

Motif Kebijakan Kewajiban Menghafal dalam Pendidikan Islam

Ahmet T. Kuru, dalam bukunya “Islam, Otoritarianisme, dan Ketertinggalan” (Kuru, 2021: 42-43), menyebut bahwa para ulama arus utama membuat syarat untuk membuat gagasan baru (ijtihad) menjadi sangat tinggi, misalnya harus belajar tata bahasa Arab, hafal hadis, dan lain-lain. Proses panjang yang hanya berfokus pada menghafal ini akhirnya mengakibatkan ulama muda kehilangan kreativitas.

Jika para ulama muda kreatif menghasilkan gagasan baru, para ulama senior tidak mendukung atau bahkan membungkam hingga menghukum mereka. Misalnya isu hukuman mati untuk orang murtad. Pada tradisi Zaman Pertengahan, orang murtad harus dibunuh. Beberapa intelektual Muslim telah menawarkan kritik terhadap isu tersebut, namun kritik mereka tidak bisa menjadi arus utama. Hal ini karena para ulama telah memonopoli penafsiran Islam dan masa Muslim mendukung klaim para ulama terdahulu.

Dalam buku yang sama (Kuru, 2021: 184), Kuru juga menyebut Sonja Brentjes berargumen bahwa para ulama madrasah masih menggunakan metode pengajaran menghafal yang berpusat pada otoritas, bukan berdasarkan bidang, dan mengutamakan silsilah guru. Hal tersebut menunjukkan pelemahan spesialisasi dan penurunan kompleksitas permasalahan, yang juga menyiratkan kemunduran kreativitas ilmiah. Semuanya demi menjaga ortodoksi arus utama yang berkemungkinan memiliki berbagai kepentingan di baliknya.

Baca Juga  Tentang Waktu, Masa Lalu yang Tak Mungkin Terulang Kembali

Mungkin para pendidik tempat teman penulis bersekolah tidak memiliki motif seperti yang dijelaskan oleh Kuru. Namun, para pendidik di sana harus tahu bahwa catatan historis terkait kebijakan menghafal dalam tradisi keilmuan Islam secara perlahan menciptakan hierarki keilmuan yang diskriminatif yang membentuk wajah pendidikan Islam di zaman sekarang.

Mereka perlu mengetahui bahwa kebijakan proses pendidikan yang terhenti pada menghafal berpotensi mematikan kreativitas murid-murid mereka. Menganggap hanya dengan kemampuan menghafal sudah cukup untuk bekal kehidupan para murid yang memiliki latar belakang yang beragam sangatlah naif.

Mereka harus sadar bahwa kebijakan menghafal yang mereka terapkan kepada para murid hari ini tidaklah lahir dalam ruang kosong, tetapi memiliki rantai historis yang panjang hingga ratusan bahkan ribuan tahun yang lalu. Kebijakan menghafal kitab suci yang dulunya berfungsi sebagai pengantar dokumentasi, sekarang bertransformasi menjadi syarat untuk menjadi ulama, syarat mendapatkan beasiswa, hingga pengambilan ijazah formal sekolah.

Hal yang terlihat religius di luarnya, termasuk kebijakan kewajiban menghafal kitab suci, belum tentu memiliki motif yang juga murni religius di dalamya. Berbagai motif dan kepentingan bisa bercampur aduk tanpa kita sadari, mulai kepentingan politik, ekonomi, dan lain-lain. Namun karena bungkusnya agama, apalagi pendidikan agama, kita seolah terbutakan. Perlu keberanian dan kejujuran untuk melihatnya.

Menghafal: Tingkatan Belajar Paling Rendah

I Putu Ayub Darmawan dan Edy Sujoko, dalam artikel “Revisi Taksonomi Pembelajaran Benyamin S. Bloom” (Darmawan & Sujoko, 2013: 32-34), menyebut bahwa Benyamin S. Bloom memberikan tesis bagi dunia pendidikan, yaitu taksonomi pembelajaran, yang kemudian direvisi oleh para cendekiawan menjadi mengingat (menghafal), memahami, mengaplikasikan, menganalisis, mengevaluasi, dan mencipta.

Menurut penulis, tesis tersebut juga berlaku dalam pendidikan Islam. Al-Qur’an sebagai sumber utama pedoman hidup umat Islam tidaklah cukup jika hanya sekadar dihafalkan. Ia juga harus dipahami, diaplikasikan, dianalisis, tafsir-tafsir mengenainya harus dievaluasi agar lebih kontekstual, dan terakhir yang lebih penting, nilai-nilai universal di dalamnya mendorong umat untuk menciptakan berbagai inovasi bagi kesejahteraan umat manusia seluruhnya tanpa terkecuali.

Baca Juga  Edward Said, Orientalisme, dan Palestina

Sebagai agama, Islam tak pantas hanya terhenti pada hafalan belaka, yang sering kali hanya melanggengkan penafsiran lama yang sudah tak relevan. Jika begitu, konsekuensinya adalah generasi penerus Islam hanya bisa mengulang-ulang apa yang dilakukan oleh pendahulunya secara mentah-mentah. Padahal permasalahan hidup zaman dulu dan sekarang jauh berbeda.

Ciri pendidikan Islam yang terhenti hanya pada hafalan cukup mudah dikenali, yaitu setelah menghafal terjadi pelarangan untuk mempertanyakan apa yang dihafal. Setelah menghafal hadis umat Nabi Muhammad yang terpecah menjadi 73 golongan, misalnya, tidak diperbolehkan mempertanyakan: Siapa saja 73 golongan itu? Termasuk golongan yang manakah kita? Mengapa sampai terpecah 73 golongan? 73 golongan ini dalam hal akidah, fikih, atau yang lainnya? Begitu seterusnya.

Jika setelah bertanya yang muncul justru respon seperti “Jangan banyak tanya. Setia saja pada kelompok kita sendiri. Jangan pindah-pindah. Nanti kamu celaka!” atau sejenisnya, maka jelas terlihat bahwa pendidikan Islam yang dijalankan tidak sampai pada memahami hadis tersebut, menganalisisnya, mengevaluasinya, apalagi menciptakan tafsiran baru yang sesuai dengan konteks kekinian.

Untuk menjadi rahmatan lil alamin, Islam tidak pernah memaksakan umatnya untuk menghafal isi Al-Qur’an belaka. Yang ditekankan adalah menjadi pribadi yang berperilaku sesuai nilai-nilai Al-Qur’an, seperti kejujuran, kesejahteraan, kesetaraan, kebersihan, dan sebagainya yang tidaklah cukup dengan hanya menghafal saja.

Berhasil menghafal tidak lantas menjamin seseorang berperilaku sesuai apa yang dihafalnya.

Alhasil, dalam dunia pendidikan Islam, sebagai bagian dari proses pembelajaran, menghafal mempunyai catatan historisnya tersendiri, yang apabila tidak kita pahami akan membuat kita luput dari mencermati proses panjang penanaman nilai-nilai keislaman dalam diri seorang muslim. Menghafal hanyalah proses awal dari penanaman tersebut.

Baca Juga  Apa Makna dari Sebuah Doa?

Islam yang menjelma agama yang terhenti pada hafalan, sebagaimana dicatat oleh sejarah, memiliki banyak motif non religius yang tersembunyi di belakangnya yang membuat umat Islam menjadi mandeg dan terseok-seok menanggapi perubahan zaman. Tabik.

Editor: Soleh

Muhammad Alwi
11 posts

About author
Mahasiswa Studi Agama-Agama UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Articles
Related posts
Perspektif

Tak Ada Pinjol yang Benar-benar Bebas Riba!

3 Mins read
Sepertinya tidak ada orang yang beranggapan bahwa praktik pinjaman online (pinjol), terutama yang ilegal bebas dari riba. Sebenarnya secara objektif, ada beberapa…
Perspektif

Hifdz al-'Aql: Menangkal Brain Rot di Era Digital

4 Mins read
Belum lama ini, Oxford University Press menobatkan kata Brain Rot atau pembusukan otak sebagai Word of the Year 2024. Kata yang mewakili…
Perspektif

Pentingkah Resolusi Tahun Baru?

2 Mins read
Setiap pergantian tahun selalu menjadi momen yang penuh harapan, penuh peluang baru, dan tentu saja, waktu yang tepat untuk merenung dan membuat…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds