Tajdida

Islam Berkemajuan: Agar Umat Bangkit dari Kemunduran

7 Mins read

Islam Indonesia: Berkemajuan tapi Pinggiran

Pada 2015 terjadi dua Muktamar mahapenting: (1) Muktamar Islam Nusantara milik Nahdlatul Ulama, (2) Muktamar Islam Berkemajuan milik Muhammadiyah. Akan tetapi, konsep “Islam Berkemajuan” bukan baru muncul waktu itu. Sejak Muktamar 2010, Muhammadiyah telah mengambil keputusan menggunakan konsep ini kembali. Namun, pada 2015 itulah terasa bagai momen kelahiran sebenarnya baik bagi Islam Berkemajuan (IB) maupun Islam Nusantara (IN). 

Bersenjatakan dua gagasan tersebut, di hadapan wajah dunia global, Muhammadiyah dan NU mendemonstrasikan suatu aktivitas Islam yang konstruktif. Kini, dunia global tidak bisa lagi menggeneralisir Islam sebagai agama konservatif, antikemajuan, atau cenderung merusak peradaban global.

Saya pikir, pilihan yang diambil Muhammadiyah dan NU ini terlalu dinilai rendah atau mengalami underrated. IB dan IN masih belum menetap di kesadaran kebanyakan Muslim Indonesia. Seiring berlalunya Muktamar, IB dan IN makin terbiasa dianggap slogan lima tahunan semata. 

IB dan IN tidak meng-ideologi bagi muda-mudi Muslim di sini. Dibandingkan berkiblat pada IB dan IN, pengajian populer dan pengkajian serius kita lebih berbinar sewaktu mendengar ideologi khilafah Al-Nabhani, ideologi politik Al-Maududi, ideologi Islamis Sayyid Quthb, ideologi Islamization Al-Faruqi, ideologi perennialism Hossein Nasr, atau ideologi neomodernism Fazlur Rahman.

Apa arti dari ini semua? Semua ini menunjukkan bahwa tesis para pemikir Islam kita di tahun 1980-an yang lalu masih berlaku. Mereka ber-hujjah bahwa peradaban dan pemikiran Islam asli Indonesia masih berada dalam kondisi peripheral, pinggiran. 

Menggunakan sedikit perspektif ekonomi modern, wilayah Muslim di Nusantara adalah pasar yang potensial dan aktual, tempat didagangkannya –dan laku– segala macam komoditi gagasan, ideologi, dan budaya yang diproduksi oleh wilayah Muslim yang lebih sentral, seperti Arab, Mesir, Iran, Turki, India, bahkan Eropa-Amerika. Surga bagi segala gagasan transnasional, namun suram untuk gagasan anak bangsa sendiri.

DNA Muhammadiyah

Salah satu sebab mengapa kita perlu menaruh rasa hormat –ta’zhim, bukan taqlid– kepada para mahaguru di Muhammadiyah dan NU adalah autentiknya kesadaran beragama mereka. Agama benar-benar dihayati oleh mereka sebagai jalan pulang kepada Tuhan.

Itulah mengapa dalam menghadapi iklim sosio-politik pasca-Reformasi yang semakin menggila, para pemimpin dua civil society raksasa ini mengatur posisi layar dan kemudi agar insan-insan mereka tidak terseret arus “rebutan” kekuasaan. Pemimpin-pemimpin Muhammadiyah dan NU kukuh berpendirian untuk tetap pada khittah dan DNA asli mereka.

Bermula pada 1984 dan memuncak setelah era Reformasi, NU mulai sadar untuk “kembali ke khittah”. Khittah adalah setelan pabrik (default setting) NU. Menurut KH. Hasyim Asy’ari, khittah NU adalah organisasi perbaikan (jam’iyyat-ul-ishlah). Itu berarti politik dan kekuasaan bukan benar-benar domain NU. 

Sementara Muhammadiyah -saya memilih menggunakan kata DNA- juga tidak berdomain pada politik dan kekuasaan. DNA mereka ada pada semangat kemajuan. Kata KH. Ahmad Dahlan, tujuan Muhammadiyah adalah “memajukan agama bagi anggota-anggotanya.”

Sejak berdiri hingga sekarang, Muhammadiyah telah menjadi bagian penting dalam konstelasi besar dunia Islam era modern. Ia lahir di tengah ujian besar dunia Islam sedunia menghadapi kolonialisme Eropa. Kemudian ia turut menyeret bangsa Muslim Nusantara untuk bangkit dan keluar dari perbudakan dan kebodohan. Setelah merdekanya Indonesia, ia terus menunjukkan kontribusi besar sebagai kendaraan modernisasi dan reformasi Muslim yang melaju kencang.

Baca Juga  Syiah Bukan Islam? Belum Tentu!

Lama kita diajarkan dalam kelas-kelas di IAIN dan UIN se-Indonesia bahwa bicara soal gerakan modernisasi Islam, maka nama Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh harus dikenang sebagai pemicu utamanya. Hanya saja, saya merasa aneh mengapa Kyai Dahlan tidak disejajarkan dengan mereka. 

Bicara secara objektif, yang namanya modernisasi betulan itu terkait erat dengan institusionalisasi ide dan pengorganisasiannya. Afghani dan Abduh jelas mewariskan banyak ide modern. Bahkan Kyai Dahlan salah satu pewarisnya. Namun, nama yang terakhir ini melampaui dua nama sebelumnya dalam fakta bahwa Muhammadiyah, hingga saat ini, menjadi institusi modernis Muslim terbesar dan teraktif di dunia.

Mengutip Prof. Mitsuo Nakamura dari Chiba University Jepang, pekerjaan –atau dalam istilah khas Muhammadiyah: amal usaha– institusi cetusan Kyai Dahlan ini tidak sembarangan. Untuk konteks dunia Islam yang masih berstatus membangun (developing), kerja Muhammadiyah bagaikan urat nadi yang mengalirkan darah untuk menjamin kehidupan masyarakat dunia ketiga di Indonesia.

Kata Prof. Nakamura (2012):

“Selama seratus tahun [lebih] keberadaannya, Muhammadiyah telah memberi kontribusi amat besar bagi Indonesia, terutama dalam bidang pendidikan, kesehatan, filantropi, dan kesejahteraan sosial. Kontribusi ini tidak terbatas untuk masyarakat Muslim, namun juga untuk yang bukan Muslim. Di Papua dan Nusa Tenggara Timur kita melihat sendiri sekolah dan rumah sakit Muhammadiyah.”

2021 dikenang sebagai tahun gelap bagi semua negara di bumi ini. Ekonomi rasanya ambruk. Tak kuasa berkompromi dengan kewajiban isolasi karena adanya ancaman Covid-19. Namun tidak dengan Muhammadiyah. 

Justru unik, pada tahun gelap tersebut mereka meresmikan tiga lembaga pendidikan baru yang monumental: (1) Universitas Siber Muhammadiyah, (2) Universiti Muhammadiyah Malaysia, (3) Muhammadiyah College of Australia. Apabila ini semua bukan bukti the will to progress (kehendak berkemajuan) yang tertulis di DNA mereka, maka bukti apalagi yang Anda cari?

Masa Depan Islam Berkemajuan

Apabila Muhammadiyah sedemikian majunya untuk ukuran abad 21 ini, tidak sulit untuk mengatakan bahwa mereka mampu menjadi pusat Islam Berkemajuan dunia. Akan tetapi, tantangan antikemajuan justru lebih besar datang dari masyarakat Muhammadiyah itu sendiri. 

Muhammadiyah selama ini bukan semata-mata berkarakter progresif, meski beberapa dekade belakangan progresivisme itulah yang lebih ditonjolkan oleh elite mereka. Jauh di kesadaran banyak warga Muhammadiyah, karakter utama yang mereka hayati adalah puritanisme, sebuah pintu ideal bagi konservatisme.

Ada satu kerugian besar akibat tidak dihayatinya Kyai Dahlan sebagai seorang ideolog utama –bahkan satu-satunya– milik Muhammadiyah. Ajaran Islam Berkemajuan urung disistematisasi secara lengkap menjadi sebuah ideologi. 

Pada level Muktamar, elite Muhammadiyah memang sukses mengintrodusir identitas berkemajuan ini. Tapi itu identitas, semacam visi organisasi, bukan ideologi. 

Baca Juga  Cara Belanda Memecah-belah Islam dan Jawa

Kekosongan ideologi dalam Muhammadiyah, membuat ajaran progresivisme mereka tidak merembes ke segala lapisan warganya. Dan apa jadinya apabila warga tidak dibekali ideologi yang jelas?

Jadinya adalah seperti yang dilihat oleh Prof. Nakamura, yaitu mudahnya infiltrasi puritanisme/konservatisme transnasional ke tubuh Muhammadiyah. Memperingati seabad Muhammadiyah pada 2012 yang lalu, Prof. Nakamura benar-benar menyampaikan sebuah peringatan:

“Peran Muhammadiyah pada beberapa dekade belakangan ini agak memudar. Secara eksternal, berbagai kelompok transnasional seperti Hizbut Tahrir Indonesia yang muncul pasca-tumbang-nya Orde Baru, mampu berkompetisi dan menandingi Muhammadiyah. Secara internal, berbagai infiltrasi, seperti dari Partai Keadilan Sejahtera, memengaruhi gerak langkah Muhammadiyah. Di tubuh organisasi sendiri terjadi konflik antara tiga kubu: kelompok salafi yang skripturalis dan konservatif, kelompok moderat yang memadukan puritanisme dan modernisme, dan kelompok liberal yang menilai Muhammadiyah terlalu kaku dan mengatur keimanan individu.”

Muhammadiyah jelas tidak memiliki garis tegas ideologi pergerakan. Unsur-unsur utama dalam Muhammadiyah seperti puritanisme, konservatisme, modernisme, dan progresivisme tidak [mungkin] berjalan beriringan. Melainkan berkompetisi, bahkan seringkali saling ingin menegasi. 

Kemenangan Islam Berkemajuan untuk saat ini adalah angin segar untuk sayap progresivisme Muhammadiyah. Namun, seperti sudah dibaca oleh Prof. Nakamura, sayap-sayap lain selalu menunggu kapan giliran mereka.

Di majalah Suara Muhammadiyah edisi Februari 2022, Prof. Ahmad Najib Burhani mengajukan harapan agar Islam Berkemajuan selangkah lagi lebih maju. Caranya dengan melampaui program rutin amal usaha selama ini, menuju pengembangan riset dan inovasi oleh insan-insan [elite] Muhammadiyah. 

Prof. Burhani bersyukur karena di era kepemimpinan Prof. Haedar Nashir, Islam Berkemajuan betul-betul diberdayakan. Namun, kita patut renungkan, andai bukan dipimpin oleh akademisi progresif seperti Prof. Haedar, atau andai sayap konservatif menguasai posisi penting Muhammadiyah, masihkah Islam Berkemajuan bisa berdaya?

Agar Umat Bangkit dari Kemunduran?

Dokumen Pernyataan Pikiran Muhammadiyah Abad Kedua hasil Muktamar ke-46 tahun 2010 mengajukan definisi Islam Berkemajuan (IB) sebagai berikut:

“Islam berkemajuan menyemaikan benih-benih kebenaran, kebaikan, kedamaian, keadilan, kemaslahatan, kemakmuran, dan keutamaan hidup secara dinamis bagi seluruh umat manusia. Islam yang menjunjung tinggi kemuliaan manusia baik laki-laki maupun perempuan tanpa diskriminasi. Islam yang menggelorakan misi antiperang, antiterorisme, antikekerasan, antipenindasan, antiketerbelakangan, dan anti terhadap segala bentuk pengrusakan di muka bumi seperti korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, kejahatan kemanusiaan, eksploitasi alam, serta berbagai kemunkaran yang menghancurkan kehidupan. Islam yang secara positif melahirkan keutamaan yang memayungi kemajemukan suku, bangsa, ras, golongan, dan kebudayaan umat manusia di muka Bumi.”

Saya tidak tahu seberapa banyak warga Muhammadiyah yang sudah dibuat mengerti akan makna IB di atas. Yang jelas diketahui adalah IB baru dibunyikan sebagai sebuah deklarasi. IB belum dibentuk menjadi ideologi yang berakar kuat pada sistem epistemologi dan metodologi.

IB tidak menjelaskan apa-apa mengenai akar masalah kemunduran di dalam Islam. Mengacu pada definisi/deklarasi di atas, IB merupakan reaksi atas menguatnya conservative turn secara global maupun lokal. 

IB memang tertulis menaruh perhatian pada keadilan, maslahat, kemakmuran, dan antikorupsi. Namun, tidak ada yang spesial dari itu semua. Tidak mesti jadi IB terlebih dahulu untuk peduli pada hal-hal baik. Deklarasi IB di atas amat sangat superfisial, hanya menyentuh permukaan yang bisa disentuh oleh hampir semua orang.

Baca Juga  Gender Hari Raya: Haruskah Istri Sungkem ke Suami?

Bicara soal metodologi, apakah IB punya jawaban bagaimana langkah-langkah berkemajuan/progresif itu dilakukan? Apakah progresivisme IB dilakukan melalui “kembali pada kitab dan sunnah”, atau kembali pada filsafat dan sains? Apabila jawabannya adalah yang kedua, apa argumentasi IB untuk itu? Dan, bagaimana IB bisa membuat argumentasi mereka merembes ke kesadaran semua warganya? Bukankah tantangan antikemajuan terhadap IB justru lebih sering disuarakan oleh warganya yang berorientasi salafisme?

Metodologi harus bersandar pada epistemologi. Bagaimana sistem pandangan-dunia IB? Hal apa dalam worldview dan epistemologi IB yang membuatnya disebut progresif? Apakah IB melihat nalar alamiah manusia dapat diandalkan untuk kemajuan? Kalau tidak, maka apa yang mendorong kemajuan menurut IB? Jika nalar alamiah bukan sumber kemajuan, maka mengapa IB masih percaya pada kekuatan demokrasi, nation-state, sains, dan ekonomi modern?

Mengenai akar epistemologis kemunduran dunia Islam, saya setuju dengan Prof. Ahmet T. Kuru yang menemukan bahwa hal tersebut terletak dalam epistemologi Islam yang kaku. Menurutnya (Kuru, 2019):

“[Selama ini] ulama telah mempertahankan epistemologi kaku, menghalangi gagasan baru, dan mendelegitimasi upaya kaum intelektual dalam menafsirkan ulang Islam. Epistemologi [kaku] ulama didasarkan pada Quran, hadis, ijma, dan qiyas … Kemudian ulama membatasi qiyas dan ijma seluruh masyarakat sebagai ijma para ulama saja.”

Apakah selama ini Muhammadiyah –dengan IB-nya– berada di luar dari apa yang Prof. Kuru katakan? Apakah IB telah melampaui epistemologi kaku tersebut? Saya rasa jawabannya jelas: tidak.

Prof. Nakamura merasa cukup puas dengan IB sebagai sebuah identitas baru Muhammadiyah (Nakamura, 2012). Saya tidak sepenuhnya setuju dengan itu. IB harus lebih dari sebuah identitas. 

Pada pembukaan esai ini, saya telah menunjukkan bahwa IB yang digembar-gemborkan itu sebenarnya selalu berada dalam posisi peripheral (pinggiran). Alasannya sederhana. Sebab IB tidak pernah menjadi sistem pengetahuan dan ideologi yang jelas. IB adalah slogan elite Muhammadiyah saat ini. Sebagaimana nasib segala slogan, ia harus siap dilupakan sewaktu-waktu.

Namun, apakah itu berarti bahwa IB gagal dan Muhammadiyah tidak mampu mewujudkan cita-cita Indonesia Berkemajuan? Tentu saja tidak. Tidak ada koneksi dan kausasi dalam hal-hal tersebut. IB bisa saja belum disistematisasi sedemikian rupa, namun toh yang membuat Muhammadiyah bergerak dalam amal usaha mereka selama ini bukan sistematika, ideologi, dan epistemologi IB.

Seperti saya uraikan di muka, bicara soal aktivisme Muhammadiyah, kita tidak bisa melupakan DNA Muhammadiyah. DNA ini berkaitan erat dengan sosok Kyai Dahlan. DNA ini juga terus diseriusi oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah selama bertahun-tahun. Maka, apabila Muhammadiyah begitu aktif bergerak, itu adalah bawaan alamiah mereka. Namun, apakah gerakan itu benar-benar akan memajukan Indonesia dan Muslimin-Muslimatnya; kita perlu menunggu lebih sabar lagi.

Editor: Yusuf

Ibnu Rusyd
49 posts

About author
Mahasiswa Pascasarjana Studi Islam Universitas Paramadina
Articles
Related posts
Tajdida

Ketika Muhammadiyah Berbicara Ekologi

4 Mins read
Apabila dicermati secara mendalam, telah terjadi degradasi nilai-nilai manusia, nampakyna fungsi utama manusia sebagai khalifah fil ardh penjaga bumi ini tidak nampak…
Tajdida

Siapa Generasi Z Muhammadiyah Itu?

3 Mins read
Dari semua rangkaian kajian dan dialog mengenai Muhammadiyah di masa depan, agaknya masih minim yang membahas mengenai masa depan generasi Z Muhammadiyah….
Tajdida

Muhammadiyah Milik Semua

4 Mins read
KH. Ahmad Dahlan mendirikan Persyarikatan Muhammadiyah, diperuntukan untuk umat dan memajukan Islam melalui pendidikan. Selain dari itu, dalam menuju masyarakat Islam yang…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds