Isu seputar hubungan antara Islam dan perkembangan ilmu pengetahuan memang tidak pernah berakhir untuk didiskusikan. Terlebih di tengah pandemi, ada banyak respons yang dapat kita saksikan. Ada yang mencoba menghadapkan antara ajaran agama dengan sains, ada juga yang memisahkan. Namun, tidak sedikit juga yang mencoba mengintegrasikan keduanya.
Nah, tulisan ringkas ini mencoba melihat poin yang terakhir, yakni bagaimana ajaran Islam dapat integral dengan pengetahuan. Adalah Ziauddin Sardar, seorang sarjana muslim dari Barat yang giat menyuarakan ajaran Islam yang progresif dan kontekstual.
Ziauddin Sardar
Sardar lahir di Pakistan, dan belajar Al-Qur’an pertama kali dari ibunya. Ia menuturkan bahwa kecintaannya pada Al-Qur’an tumbuh dari pengalaman belajar membaca Al-Qur’an bersama ibunya. Menurutnya, sang ibu memahami bahwa Al-Qur’an secara utuh berkaitan dengan cinta, cinta kepada Allah, cinta kepada firman-Nya.
Demikian kisah lengkap interaksi Sardar dengan Al-Qur’an dapat dibaca dalam bukunya “Ngaji Qur’an di Zaman Edan” yang merupakan terjemahan dari “Reading the Quran: The Contemporary Relevance of the Sacred Text of Islam”.
Perjalanan hidupnya kemudian membawanya hijrah ke London bersama keluarga. Ia pun banyak belajar seputar rasionalitas dan berpikir ilmiah dari kehidupan yang ada di Barat.
Dari dua lingkungan yang berbeda inilah, Sardar kemudian mengejawantahkan pemikiran keislamannya yang progresif. Ia menolak taklid buta seraya mengembangkan pemahaman baru yang sesuai dengan zaman.
Salah satu yang menjadi sorotannya adalah terkait kemunduran umat Islam saat ini. Ia menjelaskan:
“Di sini, cukup bagi saya untuk menyajikan satu fakta yang menampar: umat muslim, secara sadar dan sengaja, mencampakkan penelitian ilmiah demi sikap jumud dan taklid. Konsep pengetahuan, yang mencakup pengetahuan ilmiah dan teknologi, direduksi selama berabad-abad sehingga semata-mata bermakna sebagai pengetahuan agama”.
Apa yang disampaikan oleh Sardar sebenarnya bukanlah hal baru. Di Mesir, ada Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha yang juga menolak sikap jumud dan taklid. Di Indonesia, KH. Ahmad Dahlan yang melahirkan Muhammadiyah pun mempunyai spirit yang sama, mengajak maju dengan pemahaman Islam yang sesuai dengan perkembangan zamannya.
Semangat Integrasi Keilmuan Sardar
Meski demikian, semangat integrasi keilmuan yang dilakukan oleh Ziauddin Sardar berbeda dengan beberapa kalangan. Misalnya ia mengkritik fenomena Maurice Bucaille atau Adnan Oktar—yang lebih dikenal dengan Harun Yahya—yang menurutnya merupakan “sekadar melestarikan abu dari warisan sejarah”. Di Indonesia, dua tokoh ini banyak dipuja dan dielukkan oleh masyarakat muslim.
Sebagaimana kita ketahui, sejarah Islam adalah pengembangan ilmu pengetahuan dan pusat penelitian di laboratorium. Namun saat ini, yang terjadi adalah semangat romantisme masa lalu, yaitu penelitian digunakan untuk menegaskan i’jaz al-Qur’an. Setiap ada satu penelitian baru, kita akan segera mencari justifikasi bahwa penelitian tersebut sesuai dengan Al-Qur’an.
Dengan semangat demikian, yang terjadi adalah pencocokan teori-teori dengan kitab suci. Misalnya ayat Al-Qur’an dikaitkan dengan rumus-rumus aljabar untuk mengetahui kecepatan cahaya, usia alam semesta, jarak antara tujuh lapis langit, dll.
Hal-hal semacam ini menurut Sardar cenderung memaksakan ayat-ayat Al-Qur’an. Sebab, gaya bahasa Al-Qur’an yang puitis dan alegoris dibaca secara akrobatik, agar sesuai dengan data dan fakta sains yang ada.
Alih-alih mencari “pembenaran” dalam Al-Qur’an, Sardar mengajak umat Islam untuk menyalakan kembali semangat penelitian ilmiah. Sebenarnya Al-Qur’an sudah mengajak manusia untuk berpikir ilmiah, meneliti fenomena alam dan mengembangkannya. Poinnya adalah bahwa Al-Qur’an memberikan panduan umum untuk manusia agar meneliti dan mengkaji pengetahuan seluas-luasnya.
Islam Berkemajuan ala Ziauddin Sardar
Selain itu, belajar dari sejarah peradaban Islam, kemajuan pengetahuan dapat terjadi karena adanya kemauan dan keterbukaan untuk belajar dari tradisi yang berbeda.
Tidak tanggung-tanggung, misalnya para ulama terdahulu menerjemahkan karya-karya Yunani ke dalam bahasa Arab. Mereka tidak alergi dengan Yunani yang bukan dari tradisi Islam. Dengan pertemuan budaya inilah melahirkan nama-nama besar seperti al-Kindi, al-Farabi, Ibn Sina, dan Ibn Rusyd.
Namun, miris jika melihat kondisi umat Islam saat ini. Sikap alergi dan antipati terhadap yang berbeda membuat kita tidak maju, hanya berjalan di tempat menyaksikan perkembangan dunia yang kian kompleks.
Kita bisa lihat, berapa banyak negara Islam yang mencoba meneliti dan mengembangkan vaksin COVID-19? Justru yang berlomba-lomba adalah negara yang selama ini dikesankan jauh dari ajaran Islam, seperti China, Amerika, Inggris, dan Rusia.
Bahkan, di saat mereka sudah berkompetisi untuk menghasilkan obat, sebagian dari umat Islam masih berdebat soal boleh tidaknya umat divaksinasi. Kita hanya mampu berkoar-koar di media sosial, tetapi jarang yang mau mengambil peran untuk melakukan penelitian di laboratorium.
Oleh karena itu, salah satu prinsip dari Islam berkemajuan yang diajarkan oleh Sardar adalah menghormati dan mengembangkan penelitian-penelitian ilmiah yang berbasis riset.
Ke depan, tentu akan lebih banyak tantangan dan hal-hal baru yang dihadapi. Pandemi COVID-19 ini mengajarkan kita banyak hal, juga mengajak kita untuk mau berubah dengan menghargai setiap kajian ilmiah. Hanya dengan cara inilah manusia bisa bertahan menghadapi perubahan dunia.
Editor: Lely N