“Kita seharusnya punya sistem pengawasan keuangan yang lebih kuat. Sekarang ini, kalau ada malaikat yang masuk ke sana, dia bisa berubah seketika jadi iblis,” ujar saya suatu ketika pada seorang kawan.
“Ah, ya itu kan karna kamu nggak di dalam saja. Jadi bilang gitu,” timpal seorang kawan tersebut.
Hari-hari ini, seruan-seruan kebaikan terhadap realitas sosial politik seperti yang saya sampaikan di atas dianggap selalu dilatarbelakangi oleh syahwat kekuasaan juga. Karena oposisi tidak mendapat kue kekuasaan, maka mereka seenaknya mengkritik kekuasaan. Sebaliknya, Ketika si oposan ini memimpin, hasilnya akan sama-sama korup juga.
Gagasan seperti ini barangkali tak salah. Ia berangkat dari kekecewaan melihat elit dan rezim yang selalu berganti, namun masalah yang ada tak kunjung reda. Masyarakat kemudian menyimpulkan sendiri: semua sama saja.
Tapi, sependek pengetahuan saya, tidak semua seruan kebaikan itu adalah untuk menembak lawan dengan harapan si penyeru suatu ketika dapat bergantian menikmati kue kekuasaan. Sekalipun sulit disalahkan, gagasan seperti ini juga nampak sangat pesimistis. Dunia seolah-olah sudah begitu mendung. Tak ada secercah cahaya pun untuk ide-ide kebaikan. Saya memilih meyakini sebaliknya.
Tak semua seruan kebaikan itu ditujukan untuk menembak lawan. Saya yakin, haqqul yaqiin, masih banyak orang, dari berbagai latar belakang, yang dengan jujur dan cinta yang tulus terhadap kemanusiaan, menyerukan ajakan-ajakan kebaikan. Toh, bukankah mengingatkan kepada kebaikan itu perintah agama? Bukankan itu yang dicontohkan oleh para nabi, ulama, intelektual, hingga guru-guru kita belakangan?
Supaya tidak terlalu jauh ke belakang, kita dengan gamblang bisa berkaca pada Pak AR. Di tahun 1987, beberapa waktu sebelum kasak-kusuk suksesi kepemimpinan nasional, pria zuhud ini menasehati sahabatnya, Pak Harto, untuk turun tahta. Setelah ditolak, Pak AR sekali lagi meminta Pak Harto untuk turun tahta di tahun 1992.
Seruan-seruan kebaikan Pak AR kepada elit politik maupun masyarakat luas seperti di atas terus-menerus dilakukan oleh tokoh-tokoh Muhammadiyah. Paling tidak kita mengenal Buya Syafii Maarif, seorang moralis yang keteladanannya tak lekang oleh zaman. Keberaniannya untuk berbicara membuatnya dijuluki Sang Muazin Bangsa.
Belakangan, tugas ini diteruskan oleh Sukidi, seorang intelektual Muhammadiyah yang baru saja pulang dari Harvard.
“Atas kondisi bangsa yang carut marut ini, saya tidak berani menyalahkan rakyat, mas. Ini semua tanggung jawab politisi,” ujarnya berkali-kali kepada saya. Tak tanggung-tanggung, atas keyakinan itu, ia selalu melontarkan kritik terbuka terhadap elit politik yang dengan terang-terangan mengangkangi janji kemerdekaan untuk mensejahterakan rakyat.
Kini, Hasnan Bachtiar, mahasiswa PhD Deakin University, melalui buku Islam Berkemajuan untuk Generasi Milenial, turun gunung untuk ikut mengemban tugas berat itu. Di buku ini, kita bisa melihat ketulusan seorang intelektual dan pembelajar sejati yang terus-menerus mengingatkan elit politik serta masyarakat luas untuk tidak larut dalam syahwat kuasa yang mengantarkan bangsa ini menuju jurang kehancuran.
Dalam hal fragmentasi politik dan polarisasi masyarakat, misalnya, Mas Hasnan tidak hanya meneruskan pesan Buya Syafii, Sang Muazin Bangsa, agar kita meretas sekat-sekat batas Sunni-Syiah, tapi juga menerobos dinding-dinding perbedaan Muhammadiyah dan NU. Kedua organisasi tersebut, tegasnya, tanpa bermaksud mengecilkan, hanyalah produk sejarah, bukan agama Islam itu sendiri.
Sayangnya, masih menurut Mas Hasnan, ada oknum-oknum di dalam dua organisasi ini yang juga menjalani laku politik yang kotor dan amoral. Yang menganggap bahwa turut berlumuran dosa dalam medan politik demi mencapai kemenangan adalah hal yang biasa saja. Hal ini adalah persoalan yang sejatinya bermuara pada “syahwat kuasa”.
Bahkan, rasa bangga terhadap kekuasaan dan ketamakan ini jugalah yang membuat negara-negara “muslim” saling bertikai, hingga menjadi apa yang disebut oleh Buya dengan “kepingan neraka di atas muka bumi”.
Buku Islam Berkemajuan untuk Generasi Milenial tentu tidak hanya berisi seruan moral semata. Penulis menghadirkan banyak isu-isu aktual dengan perspektif berkemajuan. Cakupan isunya begitu luas, mulai dari keagamaan, kemanusiaan, hingga sosial dan politik. Cakupan isu yang begitu luas menunjukkan penguasaan penulis terhadap berbagai hal. Sebagai seorang yang gandrung membaca dan sangat produktif menulis, hal itu tentu lumrah.
Di kalangan anak muda Muhammadiyah, ada kegelisahan karena ajaran-ajaran “resmi” Muhammadiyah seringkali ditulis dengan bahasa yang kaku dan sulit dipahami. Teks-teks hasil Muktamar dan permusyawaratan resmi sejenisnya itu sering kali tidak berhasil menjadi sajian yang renyah bagi kawula muda. Barangkali, buku ini ingin menjawab tantangan itu. Penulis menghadirkan perspektif Islam Berkemajuan yang begitu kaya dengan kemasan esai populer dan pilihan bahasa yang ringan. Dengan demikian, buku ini adalah bacaan wajib bagi kader-kader muda Muhammadiyah dan anak muda dari berbagai kelompok yang ingin memahami alam pikir berkemajuan ala Muhammadiyah.
Di tengah perjalanan studi yang tak mudah di Australia, Mas Hasnan masih terus produktif menulis untuk masyarakat Indonesia. Ia telah memutuskan untuk menyerukan seruan-seruan moral, tak hanya pada elit politik, tapi juga pada elit agama. Ia ikut meneruskan estafet menjadi intelektual moralis dan muazin bangsa yang laku hidupnya tak pernah mudah.
Judul : Islam Berkemajuan untuk Generasi Milenial
Penulis : Hasnan Bachtiar
Tahun terbit : 2023
Ketebalan : xlvi + 386
Ukuran : 14 x 21 cm
Penerbit : Xpresi Books, Malang