Islam menghapuskan penyembahan batu yang telah menjadi bagian dari agama-agama orang Arab pada masa jahiliah. Nabi Muhammad menyerukan untuk memerangi kemusyrikan sejak awal dakwahnya. Meskipun beliau menghadapi perlawanan kerasa dari kaum Quraisy, beliau tidak pernah berkompromi pada hal-hal yang berkaitan dengan berhala mereka. Sebaliknya, beliau mulai mencela kepercayaan dan agama mereka setelah mereka mendustakannya, menyakitinya, dan menuduhnya sebagai sebagai penyair, dukun dan orang gila.
Sebelum Islam: Yahudi & Nasrani
Islam bukanlah agama pertama yang menyerukan penolakan terhadap penyembahan berhala. Di tanah Arab, telah ada orang-orang hanif setelah Nabi Ibrahim berhijrah ke Hijaz, sebagaimana yang diceritakan oleh kitab-kitab suci. Mereka beribadah kepada Tuhan Yang Maha Esa. Selain itu, kita tidak boleh pula melupakan bahwa ajaran Yahudi dan Nasrani, dua agama yang telah ada di tanah Arab sealam berabad-abad sebelum Islam, juga memiliki peran dalam menolak penyembah berhala. Selain itu, ada juga individu yang tidak terkait dengan agama samawi yang secara pribadi mengecilkan pentingnya penyembahan berhala dan menentang ritual serta praktik yang terkait dengannya.
Di antara orang Arab yang tidak menganut agama Ibrahim, ada banyak orang Yahudi dan Nasrani. Namun, mayoritas adalah penyembah berhala dan binatang-binatang. Sulit untuk memastikan secara historis kapan dimulainya keberadaan orang Yahudi di Jazirah Arab. Beberapa orang terpercaya meyakini bahwa mereka telah ada di Yaman sejak zaman Nabi Sulaiman, sementara yang lain percaya bahwa mereka tiba di sana setelah Yerusalem jatuh ke tangan Nebukadzenar. Mungkin saja perpindahan orang Yahudi ke selatan meningkat setelah penghancuran Kuil Suci Kedua. Nicholson percaya bahwa koloni Yahudi tertua di Hijaz berasal dari masa jatuhnya Yerusalem oleh Titus atau Hadrian.
Meskipun demikian, pada abad-abad pertama Masehi, terdapat koloni-koloni Yahudi di Taima, Fadak, Khaibar, Wadi Qura dan Yastrib. Yastrib adalah yang terpenting, dan Yahudi Yastrib terbagi menjadi tiga suku yakni Nadir, Qainuqa’ dan Quraizhah. Penyebaran agama Yahudi di Jazirah Arab sangat pesat, terutama setelah Abu Kuraib, tubba’ (sebutan untuk Raja Yaman) terakhir, masuk agama Yahudi. Hal ini terjadi karena Abu Kuraib ingin menyerang Madinah, tetapi dicegah oleh dua orang rahib dari Madinah. Abu Kuraib terkesan dengan ilmu dan hikmah kedua rahib tersebut, sehingga dia masuk agama Yahudi. Kemudian, dia pergi ke Mekkah untuk dibujuk oleh orang-orang dari Bani Hudzail untuk mengambil harta Baitullah. Lalu, selama berabad-abad, kekuasaan kerajaan Yaman diwariskan dan diperebutkan oleh Bani Himyar hingga masa pemerintahan Raja Dzu Nuwas al-Himyari. Dia adalah seorang yang fanatik terhadap agama Yahudi, yang tidak sepenuhnya menyebar kecuali pada zamannya yaitu di abad ke-6 Masehi.
Kemudian, tidak jauh berbeda dengan Yahudi, nasrani tidak kalah dalam sebarannya. Menurut L. Sheikho dalam an-Nashraniiyah wa Adabuha baina’Arab al-Jazirah, Nasrani telah menyebar di sebagian wilayah Arab termasuk di tepi Suriah, Hijaz, Yaman, Bahrain, Irak dan lainnya. Sejumlah besar suku telah masuk Nasrani. Ibnu Wadhih mengatakan bahwa suku-suku Arab yang masuk Nasrani antara lain Bani Asad bin Abdul Uzza’ dari Quraisy, Bani Imru’ al-Qais dari Tamim, Bani Taghlib dari Rabi’ah dan dari Yaman ada Tayyi’, Madzhij, Bahra’, Sulaih, Tanukh, Ghassan dan Lakhm. Ibnu Qutibah mengatakan, “Nasrani ada di Rabi’ah, Ghassan dan sebagain Qudha’ah”.
Penyebaran Nasrani di Arab telah meluaskan ajarannya di antara orang Arab. Ada berita sastra yang menunjukkan bahwa para pendeta dan biarawan mengunjungi pasar-pasar Arab pada masa jahiliah untuk memberitakan Injil dan mengingatkan Hari Kiamat, siksa neraka dan surga. Contoh terbaik adalah pengkhotbah dari suka A’id dan biarawan Najran, Qus bin Sa’idah. Karena itu, Nasrani pasti telah memperkenalkan kata-kata dan susunan bahasa Arab yang sebelumnya tidak dikenal oleh orang Arab. Selain itu, Nasrani sebelum memasuki Jazirah Arab telah membawa sedikit budaya Yunani, seperti halnya Yahudi.
Dewa Bangsa Arab: Shanam, Watsan, Nashab
Shanam (berhala) adalah segala sesuatu yang dijadikan tuhan selain Allah. Defenisi ini umum digunakan dalam kitab tafsir, kamus dan lain-lain. Kata ini jarang disebutkan dalam syair Arab pra-Islam, dan sulit untuk mengetahui alasannya karena bangsa Arab sangat mengagungkan patung-patung dan menyebarluaskan pemujaannya di antara suku-suku. Diriwayatkan dari al-Hasan, dia berkata, “Tidak ada satu suku pun di antara suku-suku Arab yang tidak memiliki berhala yang mereka sembah”. Meskipun demikian, ada yang berpendapat bahwa jarangnya penyebutan kata tersebut disebabkan oleh sikap bangsa Arab yang memandangnya dengan rendah.
Menurut mereka, patung tidak memiliki arti yang dihormati di mata bangsa Arab. Jika pendapat ini benar, maka ia hanya berlaku untuk syair-syair Arab pra-Islam yang jarang menyebutkan kata “berhala”. Syair-syair tersebut ditulis menggambarkan kondisi yang menyebabkan sebagian dari mereka murtad dari menyembahnya. Namun, dalam syair-syair lainnya, nama at-thagiyah atau ar-rabbah, misalnya, disebutkan dengan rasa hormat, pengagungan dan ketakutan dalam banyak kesempatan.
Kata shanam dalam Al-Quran hanya muncul dalam bentuk jamak (ashnam) dalam lima ayat. Satu ayat membahas tentang kaum Musa yang menemukan kaum penyembah berhala, dan empat ayat lainnya membahas tentang Ibrahim, ayahnya dan kaumnya. Ibnu al-Kalbi mendefenisikan shanam sebagai benda yang dibuat dari kayu, emas atau perak berbentuk manusia. Pendapat lain mengatakan bahwa berhala adalah apapun yang dijadikan sebagai tuhan, dan jika memiliki bentuk, maka itu disebut nashab, dan jika berupa patung, maka disebut shanam atau watsan.
Kata shanam dalam bahasa Arab, menurut kamus bahasa Arab, dikatakan berasal dari kata syaman. Namun, penyusun kamus Taj al-Arus tidak mengetahui dari bahasa apa kata syaman berasal. Beberapa ahli bahasa Eropa berpendapat bahwa kata shanam berasal dari kata Ibrani Selem yang berarti “gambar”, dan “S-l-m” adalah nama dewa yang disebutkan dalam prasasti Aram di Taima. Seringkali orang-orang keliru dalam membedakan antara watsan dan shanam. Ada yang mengatakan bahwa watsan adalah berhala kecil. Dalam kamus Taj al-Arus, berhala disebut watsan karena berdiri tegak dan tetap pada satu keadaan, dari kata watsana yang berarti “berdiri tegak”. Kamus tersebut juga menyebutkan bahwa watsan adalah berhala yang tidak memiliki bentuk.
Ibnu al-Atsir berkata: “Perbedaan antara watsan dan shanam bahwa watsan adalah berhala yang memiliki tubuh yang dibuat dari permata bumi atau dari kayu dan batu, seperti bentuk manusia yang dibuat, dipasang, lalu disembah. Sedangkan shanam adalah gambar tanpa tubuh”. Menurut Kitab al-Ashnam, perbedaan antara shanam dan watsan adalah yang pertama terbuat dari kayu atau logam, sedangkan yang kedua terbuat dari batu. Keduanya memiliki bentuk manusia. As-Suhaili berkata, “Setiap berhala dan batu atau lainnya disebut shanam, dan tidak disebut watsan kecuali yang terbuat dari selain batu, seperti tembaga dan lainnya”. Hal ini berbeda dengan pendapat Noldeke yang menyatakan bahwa watsan tidak berarti apa-apa selain batu.
Dengan demikian, az-Zubaidi sependapat bahwa watsan adalah berhala yang tidak memiliki bentuk, seperti yang telah disebutkan sebelumnya. Krenkow menyimpulkan beberapa pendapat yang saling bertentangan dan mengatakan bahwa shanam adalah sesuatu yang disembah selain Allah, memiliki bentuk, terbuat dari batu, kayu atau logam. Shanam dibedakan dari watsan karena tidak memiliki tubuh, tetapi disebutkan sebagai padanan dari apa yang memiliki gambar atau rupa. Seperti halnya kata shanam, kata watsan dalam Al-Quran hanya muncul dalam bentuk jamak, seperti dalam firman-Nya:
“Maka jauhilah olehmu (penyembahan) berhala-berhala yang najis itu” (QS. al-Hajj [22]: 30).
“Sesungguhnya yang kamu sembah selain Allah hanyalah berhala-berhala” (QS. al’Ankabut [29]: 17).
“Dan dia (Ibrahim) berkata, ‘Sesungguhnya berhala-berhala yang kamu sembah selain Allah…’” (QS. al-‘Ankabut [29]: 25).
Kata watsan tidak disebutkan lagi dalam ayat-ayat Al-Quran selain tiga ayat tersebut. Yang jelas, maknanya dalam ayat-ayat tersebut sama dengan makna yang diberikan oleh kata shanam dalam ayat-ayat lainnya. Adapun al-anshab (berhala) adalah batu-batu yang didirikan di sekitar Kakbah, di mana orang-orang mempersembahkan kurban dan menyembelih hewan untuk selain Allah. Al-Anshab adalah segala sesuatu yang didirikan dan disembah selain Allah. Kata ini disebutkan dalam sebuah bait syair al-A’sya:
“Janganlah kalian berlindung pada berhala yang didirikan itu dari azab Allah. Allah adalah Tuhamu, maka sembahlah Dia.”
Al-Farra’ berkata,”An-Nushb (al-anshab) adalah berhala-berhala yang disembah yang terbuat dari batu.”. Dalam Kitab al-Ashnam, Ibnu al-Kalbi mengatakan bahwa orang Arab yang tidak mampu membuat shanam atau membangun rumah ibadah, akan memasang batu di depan Kakbah atau tempat lain yang disukainya. Kemudian, dia akan mengelilinginya seperti mengelilingi Kakbah. Dia menyebut batu-batu tersebut sebagai al-anshab.
Ibnu al-Kalbi juga mengatakan bahwa orang Arab memiliki batu-batu yang tidak didirikan, yang mereka kelilingi dan jadikan tempat itu untuk menyembelih hewan kurban. Mereka menyebut batu-batu tersebut juga sebagai al-anshab. Ibnu al-Kalbi juga mengatakan bahwa orang Arab ketika berpergian dan singgah di suatu tempat, akan mengambil empat batu. Kemudian, mereka akan memilih batu yang paling bagus dan menjadikannya sebagai tuhan. Tiga batu lainnya dijadikan sebagai tungku untuk membakar kurban. Jika mereka beranjak dari tempat tersebut, mereka akan meninggalkan batu itu. Jika mereka singgah di tempat lain, mereka akan melakukan hal yang sama, itulah ashnab.
Namun, jika berhala tersebut berupa patung, maka mereka menyebutnya sebagai al-ashnam atau al-autsan. Mungkin, perkataan Ibnu Kalbi adalah penjelasan terbaik dari apa yang dilakukan oleh orang-orang terdahulu tentang berhala: al-anshab, al-ashnam dan al-autsan. Kata al-anshab disebutkan dalam Al-Quran:
“Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya minuman keras, berjudi, (berkurban untuk) berhala dan mengundi nasib dengan anak panah, adalah perbuatan keji dan termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah (perbuatan-perbuatan) itu agar kamu beruntung.” (QS. al-Ma’idah [5]: 90).
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi dan (daging) hewan yang disembelih bukan atas (nama) Allah, yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk dan yang diterkam binatang buas, kecuali sempat kamu sembelih. Dan (diharamkan pula) yang disembelih untuk berhala.” (QS. al-Ma’idah [5]: 3).
Editor: Soleh


Apa perbedaan utama antara shanam, watsan, dan anshab menurut sumber-sumber klasik Islam?