Perspektif

Islam dan Kemiskinan di Yogyakarta

3 Mins read
Oleh: Akmal Ahsan*

Memasuki tahun 2019, isu kemiskinan terus diperbincangkan. Secara umum, provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta masih berada di urutan ke 23 dari 34 provinsi di Indonesia. Paku Alam yang juga merupakan Ketua Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan (TKPD) DIY dalam rapat koordinasi (10/7/2019) menyatakan Gunungkidul dan Kulon Progo berada di tingkat terendah soal pendapatan per kapita masyarakat jika dibandingkan dengan kabupaten/kota lainnya.

Statistik

Data dari BPS untuk maret 2019 menunjukkan ada peningkatan 4,13 persen garis kemiskinan dari data september 2018. Jika pada september 2019, garis kemiskinan dihitung dari besar Rp. 414.899 per kapita perbulan, untuk Maret 2019 garis kemiskinan di DIY meningkat menjadi Rp. 432.026 per kapita per bulan.

Pada Maret 2019, jumlah penduduk miskin di DIY sebanyak 448,470 ribu orang (11,70%) dari jumlah penduduk. Terlihat penurunan sebanyak 1,78 ribu orang jika dibandingkan dengan kondisi kemiskinan pada September 2018 yang jumlahnya sebanyak 450,25 ribu orang. Meski demikian, Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) meningkat jika dibandingkan dengan September 2018. Demikian juga dengan Indeks Keparahan Kemiskinan (P2). Dari semua provinsi yang ada di Jawa, Yogyakarta adalah provinsi termiskin dengan presentase 11,81%. Angka ini melebihi angka nasional.

Sementara itu, penduduk miskin perkotaan mengalami peningkatan menjadi 404.660 orang (6,2%) jika dibandingkan dengan data pada September 2018 yang justru mengalami penurunan sebesar 2,22% atau 298.470 orang. Di Kota Yogyakarta sendiri, jumlah kelompok warga miskin kota mengalami penurunan. Hal ini dapat dilihat dari data Dinas Sosial (Dinsos) Kota Yogyakarta. Kepala Seksi Data dan Informasi Dinsos Kota Yogyakarta mengemukakan data penerima KJSPS 2019 sebanyak 15.282 KK yang terbagi dalam kategori rentan miskin 12.449 KK dan kategori miskin 2.783 KK.  

Baca Juga  Dalam Politik Kekuasaan: Muhammadiyah Belum Berserikat, Tapi Masih Bergerombol

Data BPS menunjukkan adanya penurunan jumlah penduduk kemiskinan menurut kabupaten/kota dari tahun 2018 menuju tahun 2019. Sementara jumlah penduduk miskin paling banyak berada pada tahun 2016 silam.

BPS juga bahwa menerangkan jumlah penduduk miskin di Kota Yogyakarta. Menurut penelitian Badan Pusat Satatistik yang menyimpulkan bahwa tahun 2018 adalah tahun dengan data tertinggi penduduk miskin beradasarkan jiwa, yakni 467.061,00 jiwa. Meski demikian, sesuai proyeksi RPJMD DIY, Kota Yogyakarta ditargetkan mampu menurunkan angka kemiskinan hingga 6,24% pada 2019 dan menjadi 5,45% pada tahun 2022.

Islam dan Kemiskinan

Jamak kita memahami dengan terang, lahirnya Islam sebagai komunitas agama yang memiliki cara pandang tentang dunia dan lingkungan dengan sangat luas. Hanya saja, Islam kerap dilihat dari ajaran yang legal-formalistik dan ritualistik belaka, tidak sebagai petunjuk terang untuk mengarungi proses sosial kemasyarakatan. Maka tulisan ini mengkaji problem kemasyarakatan yang tak kunjung usai: kemiskinan dan hubungannya dengan Islam.

Suatu waktu, dalam kunjungan penelitian ke BPS bersama kawan IMM AR. Fakhrudin Kota Yogyakarta, penulis berbincang dengan pegawai BPS. Setidaknya kami bersepakat, bahwa ada anomali, keanehan dalam memandang kemiskinan yang ada di Yogyakarta. Sifat legowo yang dimiliki oleh banyak warga tidak saja menjadikan mereka selalu bersyukur dengan makan nasi kucing setiap hari, namun juga melanggengkan persepsi bahwa kemiskinan adalah takdir Tuhan.

Maka dalam hal ini terjadilah kemiskinan kultural yang berjangka panjang. Sehubungan dengan itu al-Qur’an mengingatkan dalam QS. Hud ayat 6: “dan tidak ada suatu binatang melatapun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinyta…”.

Maka miskin, sepadan dengan pengertian etimologisnya dalam bahasa Arab adalah ‘diam/tidak bergerak’, tidak ingin berupaya. Dan dalam semua itu, dasar pandangan kebanyakan Warga Kota Yogyakarta adalah penyerahan dirinya kepada Tuhan sepenuhnya tanpa kuasa atas dirinya sendiri.

Baca Juga  Marah yang Egois dan Marah yang Tegas

Padahal, bila Tuhan menjamin rezeki hamba-Nya, manusia dituntut untuk mencari dan menggapai dengan kekuatannya sendiri. Demikianlah Allah SWT menegaskan dalam ayat lain, QS. Al-Ra’d : 11 yang artinya : “Sesungguhnya Allah tidak akan merubah keadaan suatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri”.

Faktor lain yang menyebabkan lahirnya kemiskinan adalah kebijakan pemerintah yang berpihak pada golongan tertentu. Pembangunan mall dan hotel bisa jadi studi kasus lain, bahwa pemerintah dan pemodal seringkali membangun dan memberi izin membangun namun abai dengan konsekuensinya kepada masyarakat miskin sekitar. Inilah yang selanjutnya melahirkan persepsi kemiskinan struktural.

Islam memandang kemiskinan timbul karena kejahatan manusia terhadap alam (QS 30: 41), juga sebab lain bahwa kemiskinan langgeng sebab orang kaya abai dan bakhil (QS 3 :180, QS 70: 18) sehingga orang miskin terjerat lingkarannya sendiri. Selanjutnya, Islam juga memandang bahwa sikap dzalim dan eksploitatif serta menindas menjadi musabab kemiskinan, misalnya memakan harta orang lain (QS 9: 34). Terdapat juga kemiskinan yang timbul karena konsentrasi kekuatan birokrasi dan ekonomi di satu tangan tertentu, demikian tergambarkan dalam kisah Fir’aun, Haman dan Qarun yang menindas (QS 28:1-88)

Memberantas Kemiskinan Yogyakarta

Sebagaimana penulis memberi garis batas faktor kemiskinan dalam dua hal: kultural dan struktural, maka tugas umat Islam dan warga yang berdaya adalah mengadakan pemberdayaan di satu pihak dan di lain hal membaca keadaan ini sebagai struktur yang dikehendaki oleh golongan tertentu. Maka penyadaran, pembelaan dan pemberdayaan adalah mutlak sebagai aktivisme sosial dalam upaya untuk memberantas kemiskinan yang akut.

Islam harus menjadi kekuatan kognitif dan penggerak kesadaran sosial untuk melihat situasi sosial dengan luas dan dalam. Dalam semua itu, Islam melihat kemiskinan kota Yogyakarta sebagai persekongkolan atas matinya kesadaran kritis warga dan kebijakan pemerintah yang timpang pada golongan tertentu.

Baca Juga  Perang Israel-Iran dan Masa Depan Dunia Islam

Maka dibutuhkan rekonstruksi teologis dan gerak pembelaan agar struktur tetap berjalan dengan seimbang, adil dan tidak merugikan banyak orang lalu memberi keuntungan pada golongan kecil tertentu.

*) Kabid RPK PC IMM AR Fakhruddin Yogyakarta

1005 posts

About author
IBTimes.ID - Cerdas Berislam. Media Islam Wasathiyah yang mencerahkan
Articles
Related posts
Perspektif

Tidak Bermadzhab itu Bid’ah, Masa?

3 Mins read
Beberapa waktu lalu, ada seorang ustadz berceramah tentang urgensi bermadzhab. Namun ceramahnya menuai banyak komentar dari berbagai kalangan. Ia mengatakan bahwa kelompok…
Perspektif

Psikologi Sosial dalam Buku "Muslim Tanpa Masjid"

3 Mins read
Dalam buku Muslim Tanpa Masjid, Kuntowijoyo meramalkan pergeseran signifikan dalam cara pandang umat Islam terhadap agama dan keilmuan. Sekarang, ramalan tersebut semakin…
Perspektif

Paradoks Budaya Korupsi Masyarakat Religius

2 Mins read
Korupsi yang tumbuh di masyarakat yang dikenal religius memang menjadi paradoks. Di masyarakat yang memegang teguh nilai-nilai agama, mestinya kejujuran, integritas, dan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds