Sasak sebagai kelompok etnis penduduk asli Pulau Lombok tentunya memiliki keterkaitan erat dengan Islam, bukan hanya sebatas berjalan pada ritual peribadatan saja. Namun, juga terpatri dalam rentetan sejarah panjang di masa lampau. Terlepas dari perbedaan Waktu Lima ataupun Wetu Telu, Islam adalah identitas tersendiri bagi suku Sasak, sehingga patutlah bila suku Sasak digolongkan sebagai etnoreligius.
Jika didefinisikan secara singkat etnoreligius ialah suatu kelompok etnis yang dipersatukan oleh kesamaan latar belakang agama sehingga membentuk identitas kuat mereka.
Fase Islamisasi Sasak
Untuk mempertinjau keserasian Islam dan Sasak hal tersebut salah satunya dapat ditilik melalui perjalanan tarikh yang ada. Banyak versi yang menjelaskan kapan pertama kali Islam masuk ke Gumi Selaparang. Nampak, tatkala abad 16 para pendakwah dari Jawa dan Makassar tengah berupaya menyiarkan Islam di tanah Lombok dengan strategi matang. Misalnya Sunan Prapen yang masyhur sebagai pendakwah awal di sana.
Ia melakukan pendekatan pengislaman kepada raja-raja Lombok saat itu karena memahami karakteristik loyal rakyat Sasak terhadap pemimpinnya. Gampangnya Islamkan dulu rajanya maka barulah bisa rakyat-rakyatnya terislamkan pula.
Ciri khas pendakwah Jawa yang membawa ajaran Islam sufisme pun berhasil mensukseskan dakwah damai melalui pendekatan budaya. Kentalnya mistikisme rakyat Sasak dapat dirangkul dan lama kelamaan diselaraskan oleh ajaran Tauhid. Tanpa harus meninggalkan kultur asli mereka. Poin tersebut termasuk keberhasilan para mubalig dalam mengislamkan rakyat sekaligus kerajaan-kerajaan Sasak yang eksis pada zaman itu.
Ditambah dalam buku Islam Sasak Wetu Telu Versus Waktu Lima karya Erni Budiwanti dijelaskan pendakwah dari Kesultanan Gowa dalam upayanya lambat laun berhasil mengkonversikan hampir seluruh masyarakat Sasak meski pada praktiknya pun orang Sasak tak sedikit tetap men-sinkretismekan Islam dengan ajaran lokal mereka.
Rentetan Sejarah antara Islam dan Sasak
Bersama Islam, rakyat Sasak dengan gagah berani bersatu memerangi penindasan. Pada tahun 1843 semua kerajaan asli Sasak termasuk Kerajaan Praya telah diduduki oleh Kerajaan Mataram yang dahulunya merupakan koloni Karangasem. Hak tanah dan dagang penduduk asli Lombok dibatasi. Hal tersebutlah yang lama kelamaan menjadi penyebab pemberontakan rakyat Sasak.
Antropolog Martin Van Bruinessen mengemukakan bahwa motif perang yang dilakoni orang-orang Sasak tatkala itu begitu dipengaruhi oleh doktrin ajaran Islam sufi. Sehingga, menurut penulis perihal demikian koheren dengan upaya mengganyang kekuasaan pemimpin yang dianggap zalim.
Selain itu, dalam persabungan dahsyat tersebut terdapat pengkategorian mana pihak Sasak yang memberontak menuntut haknya dengan mana pihak Kerajaan Mataram. Islam menjadi identitas pasukan Sasak, bahkan dalam Babad Praya diterangkan simbol-simbol Islam dikenakan pemimpin Sasak untuk menegaskan secara dikotomi bahwa Islam itu adalah Sasak dan Sasak itu adalah Islam.
Pemberontakan yang Mencerahkan
Mohammad Tanwir (2007) kemudian dalam tesisnya mengatakan tak sedikit pihak yang memberi analisis bahwa pemberontakan rakyat Sasak sejak 1891-1894 adalah buah keresahan mereka yang semakin terusik kebebasannya dalam menjalankan ibadah. Jadi besar upaya orang-orang Sasak dalam bersatu mengangkat senjata untuk membela agama.
Belum sampai di situ. Ketika era kolonial Belanda, perjuangan untuk mencapai kemerdekaan dengan semangat persatuan Islam terus bergema di Gumi Selaparang. Jika sebelumnya pemberontakan melawan Mataram digerakkan oleh Perwansge atau bangsawan Sasak atas landasan leluhur mereka yang menjadi pemilik tanah Lombok, di masa Belanda justru yang menjadi perintis pergerakan kemerdekaan adalah dari kalangan Tuan Guru.
Hal itu terjadi mengingat citra Perwangse di hadapan rakyat semakin buruk karena terlena oleh harmoni hubungan dengan Belanda. Sementara Tuan Guru semakin mendapat simpati elok dari rakyat Sasak lantaran melalui pendekatan agama mereka mampu menghimpun masa untuk melancarkan pemberontakan terhadap penjajah.
Tentu saja berkat perjuangan para Tuan Guru lewat tutur kata dan karya-karya mereka itulah yang mampu menggerakkan semangat nasionalisme orang-orang Sasak. Sehingga mereka rela berkorban demi kemerdekaan dengan dilandasi jihad membela agama. Seruan Tuan Guru adalah titah suci untuk membela tanah air. Tuan Guru menjadi harapan rakyat Sasak untuk memobilisasi massa dalam memerangi penjajah. Terbukti dari kalangan Tuan Guru pada tahun 2017 telah dianugerahi gelar pahlawan atas jasanya. Beliau adalah Muhammad Zainuddin Abdul Madjid atau biasa dikenal Tuan Guru Pancor.
Islam Sebagai Pemersatu Sasak
Dahulu Sasak sulit untuk bersatu lantaran terpisahkan oleh entitas kerajaan walau satu suku. Namun keadaan lah yang membuat mereka harus berjuang dengan semangat agama melawan penindasan sehingga itu menjadi sebab bersatunya mereka. Oleh karena itu, Islam dan Sasak tak bisa dipisahkan begitu saja. Belum lagi kiprah dakwah santun dan merangkul para Tuan Guru di Lombok. Tentu membentuk karakteristik masyarakat Sasak terlebih bagaimana ghirah mereka dalam membela agama terlepas dari taat atau tidaknya mereka dengan syarak. Kendati demikian, hal tersebut juga tidak bisa sepenuhnya digeneralisir.
Demikian penjelasan mengenai Islam dan Sasak dalam tinjauan sejarah yang bisa saya sampaikan. Tanpa niat menyinggung pihak manapun semua tulisan di atas adalah hasil dari bacaan dan opini pribadi saya untuk menerangkan betapa pentingnya mempelajari sejarah masa lampau mengingat bukti tarikh di Lombok cukup minim.
Terima kasih dan semoga bermanfaat.
Editor: RF Wuland