Sebagai putra bangsa yang telah lama hidup di Amerika, tepatnya di kota dunia New York, setiap kali ada peluang kembali kampung (mudik) pasti selalu ditanya oleh masyarakat tentang bagaimana Islam dan perkembangannya di negara Paman Sam ini.
Entah kenapa antusias masyarakat untuk mengetahui Islam Amerika begitu tinggi. Barangkali Amerika memang pada dirinya ada paradoks. Banyak yang benci. Tapi banyak pula yang rindu. Bahkan yang biasa mengekspresikan ketidak sukaan itupun rindu untuk minimal tahu tentang negara ini.
Merespon berbagai pertanyaan itu memang saya agak kesulitan menjawab dengan jawaban langsung dan hitam putih. Masalahnya adalah Islam dan umat di Amerika itu berada dalam situasi yang paradoks. Di satu sisi Islamophobia dan kasus-kasus kekerasan kepada komnitas Muslim cukup meninggi. Bahkan sejak terpilihnya Donald Trump sebagai presiden, ragam kasus kekerasan terjadi di sana sini.
Saya akan menuliskan lebih terinci perihal tantangan dan phobia yang sedang meninggi itu. Sekaligus akan saya uraikan langkah-langkah apa saja yang umat telah dan sedang upayakan untuk mengurangi kebencian dan phobia tersebut.
Pada tulisan kali ini saya hanya ingin menyampaikan kenyataan paradoks yang terjadi. Di satu sisi memang sangat tertantang (bukan terhalangi). Tapi di sisi lain mengalami perkembangan yang semakin meninggi bahkan tidak lagi terbendung.
Setiap tahun puluhan ribu warga Amerika memilih Islam sebagai jalan hidupnya. Masyarakat Amerika secara umum juga semakin terbuka untuk mengetahui Islam. Dan simpati kepada umat ini juga semakin meluas, bahkan dari masyarakat yang selama ini dipersepsikan sebagai “musuh” sekalipun, seperti masyarakat Yahudi.
Saya ingin mengingatkan kembali sejarah yang pernah terjadi di bulan Februari lalu. Puluhan ribu warga Amerika non Muslim hadir mendukung kami dalam sebuah demonstrasi besar-besaran di Time Square, jantung kota New York. Demo yang dihadiri oleh Walikota New York dan pembesar lainnya itu mengusung tema: Today I am a Muslim too (hari ini saya juga Muslim).
Sebuah pernyataan tegas bahwa teman-teman non-Muslim di Amerika bersama dan mendukung kami komunitas Muslim menghadapi tendensi phobia yang semakin meninggi di bawah pemerintahan Donald Trump.
Pertanyaannya adalah kenapa terjadi paradoks ini? Kenapa Islam tetap berkembang pesat di tengah Islamophobia yang semakin meninggi? Apa faktor-faktor yang menjadikan Islam sehingga tidak lagi terhalangi?
Faktor Islam
Islam itu adalah kebenaran yang sempurna. Keindahan yang tiada tertandingi. Kekuatan yang tidak terkalahkan. Kekurangan dan keburukan (ugliness) Islam tidak pada nilai dan ajarannya. Tapi lebih pada prilaku pemeluknya melalui misreprsentasi yang terkadang sangat menyedihkan dan mengkhawatirkan.
Islam itu damai, pemeluknya mudah emosi dan marah. Islam itu adil, pemeluknya seringkali melakukan kezholiman dalam berbagai aspek kehidupan. Islam itu maju, pemeluknya mayoritas terbelakang, bodoh dan miskin. Islam itu mengedepankan kerjasama, pemeluknya mudah membenci dan konflik. Demikian realita saat ini.
Maka perkembangan Islam di Amerika tidak terlepas dari kesempurnaan Islam itu. Ketika warga Amerika mampu menembus batas-batas kesalah pahaman itu, galibnya karena propaganda media dan politisi, mereka akan menemukan keindahan agama ini. Keindahan dan kekuatan dalam segala aspeknya.
Saya masih teringat seorang diplomat Amerika yang pernah bertugas di Mesir, Libanon, dan Tunis. Beliau datang ke Islamic Center menyampaikan keinginannya masuk Islam karena keindahan Islam dalam aspek ruhiyahnya. Yang paling membekas dalam batin beliau ketika itu justeru suara azan.
“Suara itu masih terngiang-ngiang di telinga saya” katanya.
Singkat cerita sang diplomat itu mengikrarkan syahadah karena faktor keindahan sentuhan ruhiyah Islam melalui lantunan azan di saat sholat.
Inilah barangkali rahasianya kenapa ada yang merasa terganggu, bahkan tidak menghendaki suara azan menggema. Karena diakui atau tidak kenyataannya memang bisa dianggap ancaman bagi kelompok yang aslinya memang phobia.
Mungkin contoh yang agak ekstrim dalam benak sebagian orang adalah kisah di bawah ini.
Seorang wanita yang masih muda, berkulit putih, bernama biru, berumur sekitar 24 tahun hadir di kelas muallaf saya beberapa tahun lalu. Hadir juga seorang wanita lain, juga berkulit putih, tapi mengaku pembela hak-hak wanita. Bahkan dengan tegas dan bangga menyatakan diri sebagai “The Feminist”.
Di sela-sela dialog antara saya dan peserta diskusi terjadi dialog yang cukup seru tentang kedudukan wanita dalam Islam. Yang menarik adalah dialog kedua wanita yang saya sebutkan di atas.
Sang feminis: “Islam is discriminative to women. Look at how Islam permits men to marry more than one” katanya.
Wanita muda: “Listen, I am a second wife. But I don’t feel at all as having a half husband. My husband is fully responsible and taking care of me”.
Lanjutnya lagi: “I dropped out from my HS because I was pregnant and no one wanted to be responsible for my kid. But my husband married me, and takes my kid as his own kid”.
Itu hanya sebuah contoh yang ingin saya kemukakan di sini. Sebuah kisah nyata beberapa tahun lalu di kota New York. Mungkin contoh agak ekstrim dan berat bagi perasaan wanita khususnya.
Tapi disitulah keindahan Islam dalam membangun dan menjaga masyarakat luas. Bahwa dalam menilai Islam, pertimbangan ego bukan segalanya. Ada faktor-faktor sosial, moral dan kemasyarakatan yang di kedepankan.
Semakin Islam terekspos ke masyarakat Amerika semakin pula ternampakkan keindahan itu. Dan keindahan itulah yang menjadi daya tarik bagi mereka untuk menerima Islam sebagai jalan hidup mereka.
Faktor Amerika
Pertumbuhan Islam juga tentunya sangat ditentukan oleh faktor Amerikanya. Bahwa antara Islam dan Amerika ada kesenyawaan, keselarasan dan komonalitas yang tinggi.
Islam menjunjung tinggi kebebasan. Bahkan sering saya sampaikan bahwa Islam dan kebebasan itu bagaikan ikan dan air. Sebesar apapun ikan jika airnya kering, maka lambat laun ikan itu akan mati.
Amerika pada saat uang sama adalah negara yang menjadikan kebebasan sebagai pilar berbegara dan berbangsa. Amerika di mana-mana mengajarkan freedom (kebebasan) sebagai hak asasi manusia yang paling mendasar (basic human right).
Islam mengedepankan keadilan (justice) untuk semua manusia. Bahkan dalam Islam kriteria kelebihan hanya ada pada kata “takwa”. Dan takwa hanya didefenisikan oleh “iman dan amal”. Bukan ras, etnis, posisi sosial, warna kulit, dan seterusnya.
Demikian juga di Amerika kita kenal “justice for all” sebagai dasar perundang undangan. Dan hukum masih menjadi raja dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Islam berwawasan kebaikan dan kebahagiaan bersama (hasanah fid dunia wa hasanah fil akhirah). Amerika juga mengamanatkan “pursuit of happiness” (mencari kebahagiaan) sebagai pilar kehidupan berbangsa dan bernegara. Walau mungkin ada perbedaan defenisi tentang apa itu “happiness” di antara keduanya.
Demikian seterusnya. Nilai-nilai yang dikandung Islam dan Amerika sejalan. Saya tidak mengatakan sejajar. Karena Islam itu adalah ajaran langit (firman Tuhan). Dan Amerika adalah kreasi bumi yang tidak suci. Langit dan bumi itu tidak akan pernah sejajar. Tapi dalam realita pada tataran praktis kehidupan manusia keduanya senyawa.
Maka dengan nilai-nilai yang diajarkan Islam itu menjadikannya sangat mudah diterima oleh warga Amerika. Karena sekali lagi, mereka telah memiliki filsafat hidup yang demikian. Tidaklah salah ketika orang mengatakan yang diperlukan orang-orang Amerika itu hanya “syahadat” saja. Secara karakter sosial, bahkan prilaku hidup sudah banyak yang sejalan dengan ajaran Islam.
Nilai dan semangat atau komonalitas keduanya (Islam dan Amerika) di atas itu menjadi faktor penting bagi perkembangan Islam yang tinggi di Amerika.
Ini yang sering saya sampaikan bahwa bahwa menghalagi Islam sejatinya seolah penghalangan nyata ke nilai-nilai yang sesungguhnya dibanggakan oleh orang-orang Amerika. Kebencian kepada Islam tanpa disadari boleh jadi juga kebencian kepada “American values” (nilai-nilai Amerika).
Faktor Manusia Amerika
Tentu faktor lain yang penting juga adalah faktor karakter orang-orang Amerika. Karakter orang-orang Amerika sesungguhnya secara alami, atau juga karena bentukan lingkungan, menjadikan dakwah Islam mudah diterima.
Dalam beberapa penyampaian saya katakan bahwa karakter orang-orang Amerika secara umum, tentu ada pengecualian-pengecualian, dapat ditandai oleh tiga kecedenderungan.
Pertama, karakter yang terbuka. Karakter seperti ini menjadikan warga Amerika begitu terbuka dengan hal-hal yang datang dari luar. Termasuk tentunya dari media. Tidak mengherankan jika media kerap kali menentukan warna persepsi dan juga prilaku orang-orang Amerika.
Kedua, mengedepankan rasionalitas. Amerika dikenal sebagai bangsa yang liberal. Liberalisme itu salah satunya adalah kebebasan berpikir, yang terkadang tanpa batas-batas. Sehingga semua cenderung dipahami dengan pandangan nasionalitas.
Ketiga, bersahabat dan ramah. Tentu ini karakter umum. Walau ada juga di sana sini yang judes. Tapi secara umum mereka ramah dan cepat bersahabat.
Keempat, memiliki rasa ingin tahu yang tinggi. Ketika ada sesuatu yang sampai ke merek maka mereka akan cari tahu.
Semua karakter di atas menjadi pendukung besar bagi penerimaan Islam di kalangan warga Amerika. Insya Allah ketika Islam sampai ke mereka, baik dengan wajah buruk (mispersepsi) apalagi memang dengan wajah indah, mereka dengan mudah menerimanya.
Ini yang menjadikan saya pribadi sangat otimis bahwa apapun rintangannya Islam di Amerika akan tetap berkembang dan jaya. Bahkan hadirnya phobia sebagai akibat dari kebijakan pemerintahan DT tidak menjadi halangan. Mungkin dalam bahasa yang sering saya sampaikan: “itu hanya gangguan dalam perjalanan”.
Maka seperti yang sering saya sampaikan, saya justeru melihat tantangan-tantangan itu dihadirkan sebagai pemacu bagi kemajuannya. Dengan kata lain, tantangan sesungguhnya dapat dibalik menjadi peluang bagi kemajuan Islam di bumi Amerika. Insya Allah!