Mengenai islamisasi di Nusantara, melahirkan berbagai teori yang dikemukakan para sejarawan. Teori yang sering didengar atau dipahami masyarakat luas tentang islamisasi Nusantara yaitu Islam yang dibawa pedagang dari Gujarat. Apakah memang demikian?
Jika tulisan ini berisi argumen yang menolak hujah bahwa Islam datang ke Nusantara dibawa oleh pedagang dari Gujarat, lalu akan timbul pertanyaan siapa yang membawa Islam ke Nusantara?
Pedagang Menjadi Penyiar Agama?
Memang Nusantara menjadi jalur laut yang penting sebagai stasiun untuk perjalanan dari Timur Tengah ke Cina. Para penduduk pribumi telah bertemu dan berinteraksi dengan para pedagang muslim sejak abad ke-7. Namun tidak terdapat bukti tentang terdapatnya penduduk muslim lokal dalam jumlah besar (Azra 2013,14).
Mungkinkah seorang pedagang yang pada dasarnya berorientasi secara ekonomi lalu menjadi penyiar agama yang secara tidak langsung harus memiliki pengetahuan agama secara mendalam. Tentu hal tersebut sangat kontradiktif.
Kritik kepada Gujarat Sebagai Asal Islam
Di sisi lain, Gujarat yang dianggap sebagai asal Islam di Nusantara pun menuai beberapa kritik. Antara lain, islamisasi Samudera Pasai yang raja pertamanya wafat pada 698/1297, sedangkan masa itu Gujarat masih di bawah Kerajaan Hindu (Azra 2013, 5).
Ditambah bukti bahwa kontak pedagang muslim dengan pribumi tercatat pada abad ke 7. Lalu mungkinkah para pedagang tersebut melakukan secara aktif islamisasi, lalu mengapa Islam kelihatan nyata sebelum abad ke-12 (Azra 2013, 13).
Yang Pertama Kali Menyebarkan Islam
A.H John memberikan pandangan baru mengenai siapa yang membawa Islam ke Nusantara. Dengan mempertimbangkan kecilnya kemungkinan bahwa para pedagang memainkan peran terpenting dalam penyebaran Islam. Ia mengajukan bahwa sufi pengembara lah yang melakukan peyiaran Islam di kawasan ini (Kersten 2013,15).
John mengungkapkan bahwa tidak umum pelaut dan pedagang menjadi penyebar agama. Tapi jika kita menganggap pedagang-pedagang tertentu adalah anggota tarekat, dan ditemani oleh Syekh mereka, maka tampaknya ada dasar lebih kuat untuk penyebaran Islam (Johns 1963:40).
Hal itu memiliki kedekatan periodik antara munculnya tarekat-tarekat sufi di Timur Tengah dengan aktifnya islamisasi di Nusantara dan juga setelah kejatuhan Baghdad di tangan Mongol yang menjadi tantangan bagi kaum sufi untuk berusaha mewarisi dan memelihari dunia Islam.
Pada selanjutnya, tarekat menjadi lentur dengan melakukan afiliasi dengan kelompok-kelompok dagang dan kerajinan tangan, yang turut membentuk masyarakat.
Islam Indonesia Berasal dari Arab
Pernyataan tersebut secara tersirat menyatakan bahwa Islam di Nusantara berasal dari dunia Arab. Hal itu sejalan dengan berbagai pernyataan dalam hikayat raja-raja Pasai yang menyatakan bahwa terdapat Syeikh dari Mekkah yang datang dan melakukan islamisasi di Pasai menggunakan kapal.
Lalu juga dalam sejarah Melayu, penguasa Malaka juga diislamkan oleh Sayid ‘Abd al-Aziz, seorang Arab dari Jeddah (A.H Phill 1979, 136).
Yang menjadi kemudahan diterimanya ajaran Islam di Nusantara pada zaman itu ialah lenturnya ajaran yang dibawa oleh guru sufi yang dapat berakulturasi dengan budaya lokal setempat seperti ajaran Walisongo.
Maskipun terdapat ajaran tasawuf yang tidak mudah dipahami oleh masyarakat awam seperti ajaran Syekh Siti Jenar, Hamzah Fansuri, dll.
Setelah itu, para sufi mengepakkan sayap syiarnya yakni dengan menguatkan pada aspek kemasyarakatan. Dengan mengislamkan para penguasa terlebih dahulu, lalu mengislamkan para warga secara menyeluruh. Pada akhirnya, keraton menjadi pusat keilmuan Islam.
Sufi Penyebar Islam di Nusantara
Terkait argumen islamisasi di Nusantara oleh para sufi didukung dengan bukti bahwa peran besar islamisasi di pulau Jawa pertama kali dimotori oleh Sunan Gresik dan mencapai puncaknya oleh Sunan Ampel. Kedua tokoh tersebut sering dilabeli sebagai sufi Nusantara.
Begitulah argumentasi baru yang menganggap islamisasi di Nusantara dilakukan oleh para sufi yang sebagian besar berasal dari Arab pada kurun waktu pasca keruntuhan Abbasiyah.
Memang pembahasan islamisasi di Nusantara dianggap telah usang. Akan tetapi, perdebatan terkait hal tersebut masih berlangsung hingga hari ini. Berbagai penelitian yang dilakukan oleh para sejarawan belum memiliki titik terang juga.
Suatu teori yang hadir akan sangat mungkin dihantam dengan teori baru yang argumentasinya sama sekali belum terpikirkan oleh para sejarawan atau berlainan dengan sejarah yang telah ditulis di buku-buku sejarah.
Editor: Rozy