Feature

Islam Kaffah adalah Beragama Secara Terbuka

4 Mins read

Sudah jamak bahwa, apa yang disebut “Islam kaffah” atau “Islam sempurna” adalah justru kemampuannya menampung hal-hal baru, membuka diri terhadap pandangan-pandangan baru, bukan malah menjadi “sistem yang terkunci” atau “ideologi tertutup”. Sempurna dalam hal-hal ibadah, makanan-minuman yang dilarang, dan hukum yang sudah pasti dengan dalil teks yang sudah pasti “oke”,. Artinya, tidak boleh ditambah atau dikurangi.

Keterbukaan Islam terhadap banyak tradisi sudah dimulai di masa Nabi sendiri. Bahwa, Mekkah pada abad 7 menjadi destinasi bisnis dari banyak negeri, termasuk negeri-negeri yang jauh, sehingga interaksi berbagai budaya menjadi tak terhindarkan. Kita sering mendengar, Mekkah abad ke-7 sudah menjadi kota yang kosmopolit.

Akan tetapi, laporan riset Alexander Berzin, The Historical Interaction between the Buddhist and Islamic Cultures before the Mongol Empire (1996), menyuguhkan informasi menarik. Beberapa komunitas India yang berbisnis ke Mekkah akhirnya menetap di sekitar Arab. Mereka punya keahlian mengobati. Aisyah, istri Nabi pernah diobati oleh orang-orang India ini.

Nabi sendiri, kata Berzin, tak diragukan lagi mengenal baik beberapa budaya orang India. Salah satunya adalah pengobatan Bekam. Bekam bukan temuan orang Arab. Pengobatan bekam milik bangsa Mesir kuno, China kuno dan India kuno. Berzin, dengan mengutip laporan al-Tabari (Tarikh al-Tabari) bahwa orang-orang Mekkah pada permulaan Islam, mengenal sekelompok orang India yang “berpakaian merah” (al-Ahmar) “Red-Clad People”. Menurut Berzin, dapat dipastikan mereka adalah para Bikhu Buddha.

Di Madinah, Nabi juga setuju dengan teknologi parit dari Persia yang ditawarkan oleh Salman, seorang Persi. Terbukti, teknologi parit ini berhasil dalam perang Khandaq. Nabi paham betul bahwa urusan politik, ekonomi, pertanian, dan budaya, manusia punya kecerdasan untuk meng-create dan berinovasi.

Baca Juga  Penting

Karena itu, ketika Nabi melihat petani kurma punya inovasi melakukan penyerbukan satu benih dengan benih lain yang berbeda dan hasilnya adalah kualitas kurma yang bagus, Nabi bersabda “Antum a’lamu bi umuri dunyakum” kalian lebih paham soal urusan-urusan duniawi (profan).

Artinya, jangan menggantungkan semua detail-detailnya kepada petunjuk wahyu. Berdasar semangat keterbukaan ini dan watak dasar manusia yang selalu ingin tahu hal-hal baru, maka kaum Muslim dalam perjalanan dakwah mereka kemudian berinteraksi dan menyerap berbagai tradisi dan pengetahuan non-Muslim.

Peristiwa paling monumental adalah masa-masa abad 9 dan 10 ketika filsafat Yunani dan khazanah ilmu pengetahuan diterjemahkan ke dalam bahasa Arab oleh khalifah-khalifah Abbasiyah. Abraham Halkin dalam “The Judeo Islamic Age, The Great Fusion” mencatat bahwa kedokteran, fisika, astronomi, matematika dan filsafat dari Yunani, sastra dari Persia, juga matematika dan astronomi dari Hindu-India, semuanya diterjemahkan ke dalam bahasa Arab.

Dari sini, tak keliru jika dikatakan bahwa pengaruh Yunani, Persia dan India terus merembesi ilmu-ilmu Islam. Ilmu mantiq (logika) dan Ushul Fikih produk Imam Syafi’i yang menggunakan model illat dan qiyas kental sekali dengan premis-premis dalam silogisme logika Aristoteles.

Siapa yang tidak kenal dengan Ibnu Rusyd (Averoes), yang tidak hanya hafal sejarah filsafat Yunani, tapi ia juga dianggap sebagai Filusuf, yang di Barat diakui sebagai “commentator” atau “penafsir” otoritatif dari pikiran-pikiran Aristoteles.

Tetapi jangan lupa, ia juga seorang yang sangat alim dengan hukum Islam, sampai-sampai ia diangkat menjadi Hakim Agung (Qadhi Qudhat) sebuah jabatan politik dan keagamaan yang sangat terhormat di Cordoba (salah satu kota di Spanyol/andalusia) dan menulis satu kitab Fikih yang sangat masyhur, Bidayatul Mujtahid (700 halaman). Artinya, ia seorang religius, seorang ulama yang juga menguasai filsafat Yunani (Aristoteles), yang berbeda dengan sebagian Filusuf Eropa yang menolak agama.

Baca Juga  Perkembangan Mazhab Fikih dalam Lintas Sejarah

Ulama sekaliber al-Ghazali memang menolak filsafat, tapi hanya filsafat metafisikanya saja. Sedangkan, bagian-bagian lain seperti silogisme atau logika Aristoteles bukan saja ia terima bahkan ia ikut mengembangkan. Karya al-Ghazali, Mihakk al-Nadzar, Mi’yar al-Ilm dan al-Qisthas al-Mustaqim itu kental sekali dengan silogisme Aristoteles.

Ada lagi ulama seperti Imam Khalil al-Farahidi, penulis Mu’jamul Ayn atau Qamus alAyn, kamus pertama bahasa Arab. Al-Farahidi itu semacam Kyai kampung (di Basrah, Irak) yang konon hafal al-Qur’an tapi juga menguasai filsafat Yunani. Qamus Ayn yang disusunnya kental sekali dengan banyak terminologi filsafat Yunani.

Tak hanya itu, ada juga menara masjid, menara itu berasal dari bahasa Arab “manaroh” yang berarti “tempat api”. Menara-menara masjid ada yang seperti mangkuk normal (ditengahnya diberi lampu), ada juga seperti mangkuk terbalik (didalamnya dipasang lampu).

Jelas, pada masa Nabi belum ada menara. Dan sepertinya “patut diduga” itu adalah hasil kontak Islam dengan tradisi Zoroaster dan Hindu. Belum lagi banyak masjid di Nusantara yang arsitekturnya dirangkai dengan budaya (tradisi) Hindu, Buddha dan Tionghoa karena dulu dibangun dengan semangat akulturasi dan inkulturasi.

Lalu bagaimana dengan istilah santri, sarung dan baju koko sebagai simbol-simbol kesalehan, apakah term-term itu temuan kaum Muslim? Tentu saja bukan. Menurut satu sumber, santri berasal dari bahasa Pali yang berarti “orang yang suka membaca kitab suci”. Menurut sumber lain, kata itu berasal dari bahasa Sansakerta “sastri” yang bermakna “orang yang melek huruf”.

Ada juga sumber yang lain lagi menyebut kata itu berasal dari “cantrik”: murid yang ikut gurunya kemana saja sang guru pergi. Bukan dari bahasa Arab, kan? Baju koko? Dari namanya saja Cina banget: kokoh/engkoh. Dulu baju itu dinamai dengan Tui Khim, baju sehari-hari orang Tionghoa.

Baca Juga  Asisten Pengajar Prof. Yunahar Ilyas: "Beliau Ulama yang Dekat dengan Umat"

Melalui proses yang panjang, masyarakat Betawi Muslim mengadopsi baju itu menjadi pakaian mereka dengan modifikasi-modifikasi, lalu menjadi pakaian keagamaan. Hingga kini baju itu jadi simbol kesalehan kaum Muslim Indonesia. Jadi, apa yang dimaksud dengan “yang islami”, “Islam kaffah” atau “Islam sempurna” itu?

Kalau Muslim mau rendah hati, secara teo-sosio-antropologis, Islam kaffah itu ya Islam kosmopolitan, Islam hibrid, Islam yang terbuka, Islam yang terus menerus bergumul dengan berbagai tradisi, budaya, dan pengetahuan temuan-temuan umat manusia. Guru-guru kita dulu menyebut model Islam ini sebagai “Islam kosmopolitan” (Gus Dur), “Islam Peradaban” (Nurcholish Madjid), dan “Islam Rasional” (Harun Nasution). Mungkin, ini pula yang dimaksud oleh NU dan Muhammadiyah sebagai “Islam Nusantara” dan “Islam Berkemajuan”.

Syahdan, selama berabad-abad, kaum Muslim di Nusantara, di Asia Tenggara, atau di India berislam dengan keyakinan, beribadah dengan syariah yang telah ditentukan, sambil merayakan banyak tradisi, nilai-nilai dan kebudayaan lokal masing-masing, tidak pernah merasa bahwa Islam mereka adalah “Islam jelek”, “Islam sinkretis” atau “Islam tidak murni”. Kini kewajiban kita adalah merawat dan mengembangkan “Islam kaffah terbuka” ini. Wallahu a’lam bisshawab.

Editor: Soleh

Salman Akif Faylasuf
59 posts

About author
Santri/Mahasiswa Fakultas Hukum Islam, Universitas Nurul Jadid Paiton Probolinggo
Articles
Related posts
Feature

Belajar dari Kosmopolitan Kesultanan Malaka Pertengahan Abad ke15

2 Mins read
Pada pertengahan abad ke-15, Selat Malaka muncul sebagai pusat perdagangan internasional. Malaka terletak di pantai barat Semenanjung Malaysia, dengan luas wilayah 1.657…
Feature

Jembatan Perdamaian Muslim-Yahudi di Era Krisis Timur Tengah

7 Mins read
Dalam pandangan Islam sesungguhnya terdapat jembatan perdamaian, yakni melalui dialog antar pemeluk agama bukan hal baru dan asing. Dialog antar pemeluk agama…
Feature

Kritik Keras Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi atas Tarekat

3 Mins read
Pada akhir abad ke-19 Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, seorang ulama Minangkabau dan pemimpin Muslim terpelajar, Imam Besar di Masjidil Haram, Mekah, meluncurkan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds