Sejak kehadirannya Islam di tanah tandus nun jauh di sana, di negeri gurun pasir penuh bebatuan, hingga sampai saat ini, tersebar ke berbagai penjuru dunia, telah mengalami berbagai gejolak, perdebatan, pertentangan, dan pergolakan.
Pada masa di mana Nabi Saw masih ada hadir di dunia, gejolak, dan berbagai perdebatan tentang Islam masih bisa ditangani dengan baik. Karena semuanya dikembalikan kepada Nabi Saw sebagai manusia yang paling otoritatif terhadap segala hal mengenai Islam.
Sebagai contoh misalnya adalah cerita tentang Umar dan Hisyam. Dalam sebuah riwayat diceritakan bahwa Umar Ibnu al-Khattab mendengar Hisyam Ibnu Hakim membaca surat al-Furqan pada masa Nabi Saw.
Ia betul-betul memperhatikan bacaannya, ternyata Hisyam membaca dalam beberapa harf, yang tidak pernah dibacakan oleh Nabi Saw kepadanya (Umar). Dan karenanya, Umar yang terkenal dengan kegarangannya hampir saja menendang Hisyam ketika sedang shalat. Namun kemudian dengan sabar, Umar menunggu hingga selesai.
Setelah selesai Salat, Umar langsung menarik jubah Hisyam dan bertanya, “Siapa yang membacakan kepadamu surat yang aku dengar tadi?” Hisyam menjawab: “Rasulullah yang membacakannya kepadaku”.
***
Karena ia tidak percaya begitu saja, ia kemudian mengajak Hisyam menghadap Nabi Saw. Setelah bertemu Nabi Saw, Umar berkata: “Aku mendengar saudara Hisyam ini membaca surat Al-Furqan dalam beberapa harf (berbeda dengan yang ku ketahui), yang tidak kamu bacakan kepadaku ya Rasulallah”.
Dengan tenang, Nabi kemudian memerintahkan kepada Hisyam: “Coba Bacalah hai Hisyam!”, lalu membacalah Hisyam dengan bacaan yang tadi didengar oleh Umar. Setelah Hisyam membacakannya, kemudian Nabi Saw berkata: “Memang demikianlah surat itu diturunkan”.
Selanjutnya, Nabi Saw memerintahkan Umar untuk membaca bacaannya, “Coba bacalah bacaanmu hai Umar!”, maka Umar pun membaca dengan bacaan yang pernah dibacakan oleh Rasulullah kepadanya.
Setelah Umar selesai membaca, Rasulullah Saw, berkata: “Memang demikian juga surat itu diturunkan”. Nabi Saw kemudian berkata, “Sesungguhnya Al-Qur’an diturunkan dalam 7 dialek bahasa, maka bacalah yang mudah menurutmu”.
Dari cerita tersebut dapatlah kita ketahui bahwa pergolakan yang terjadi pada masa awal Islam masih bisa diredam dan masih memiliki sumber otoritatif-mutlak yaitu Nabi Saw. Pada masa itu Islam masih bisa dilihat sebagai Islam yang satu.
Namun demikian, selepas berpulangnya Nabi Saw keharibaan kasih sayang Allah swt (meninggal), mulailah Islam lepas dari sumber otoritatif yang berwujud subjek/individu (Nabi Saw). Dengan lepasnya Islam dari sumber otoritatif tersebut, maka kemudian Islam hadir dalam beragam bentuk sesuai dengan individu yang melihat, memikirkan dan merenungkannya.
“Islam”: Pergumulan Awal
Gejolak atau pergumulan pertama Islam adalah mengenai regenarasi/estafet kepemimpinan pengganti Nabi Saw. Meskipun tidak berhubungan dengan keseluruhan Islam (Islam bukan hanya berbicara kepemimpinan) itu sendiri, tetapi berbagai kepentingan muncul atas nama Islam.
Di sini terlihat dari perdebatan dan perbedaan pilihan siapa pengganti Nabi Saw. antara Abu Bakar dan Sa’ad bin Ubaidah. Pun demikian seterusnya khalifah Umar, Usman sampai dengan khalifah Ali. Di sana terjadi perbedaan-perbedaan yang menghasilkan beragam Islam dalam manifestasi kelompok yang menghasilkan pemikiran-pemikiran berbeda terhadap Islam.
Sejarah mencatat paling tidak terdapat beberapa kelompok atau aliran teologis-kalam yang mewujud dalam kehidupan masyarakat saat itu. Aliran teologis ini lahir awalnya adalah karena politik, seperti tercatat dalam sejarah, mereka yang dinamai khawarij karena memisahkan dan tidak memercayai Ali lagi, juga Muawiyah setelah tahkim.
Khawarij mengatakan bahwa mereka yang menerima arbitrase adalah menyalahi hukum Allah. Karena mereka beranggapan bahwa la hukma illallah (tidak ada hukum selain dari hukum Allah) dan la hakama illallah (tidak ada pengantara selain dari Allah). Dengan begitu mereka yang setuju untuk arbitrase adalah orang-orang kafir.
Dari sana kemudian muncullah aliran-aliran lain yang berkecimpung dalam perdebatan teologis-kalam. Perdebatan pada awalnya berkaitan dengan identitas kafir, dosa, keimanan dan lainnya. Aliran murjiah, aliran yang muncul setelah khawarij berpendapat bahwa orang yang berdosa besar tidaklah dapat dikategorikan sebagai orang kafir, ia masih mukmin.
Selanjutnya aliran muktazilah berpendapat bahwa orang yang berdosa besar tidak dapat dikategorikan kafir atau mukmin, ia berada manzilah baina manzilatain (posisi di antara surga dan neraka).
Selanjutnya perdebatan tentang konsep iman diantara aliran muktazilah, asyariyah, dan maturidiyah. Muktazilah berpendapat iman harus disertai dengan amalan. Asyariyah berpendapat, tidak, iman tidak harus disertai amal, cukup dengan tasdiq pembenaran adanya Allah yang maha esa.
Adapun maturidiyah bukhara sama dengan Asyariyah tetapi maturidiyah samarkand mengatakan bahwa iman lebih dari tasdiq, harus ma’rifah (mengetahui Tuhan seperti sifat-sifatnya).
Kata Setelah Kata Islam: Cermin Perspektif
Islam saat ini lebih jauh kompleks dan begitu banyak kelompok dan alirannya. Sederhana saja untuk mengetahui begitu banyaknya Islam saat ini, cukup dengan menghitung ada berapa kata yang disematkan setelah Islam, khususnya sebagai identitas atau label.
Sebut saja misalnya jika di Indonesia; Islam Nusantara, Islam Berkemajuan, Islam Liberal, Islam Progresif, Islam Transformatif, Islam Radikal, Islam Konservatif, Islam Moderat, Islam Cinta, Islam Feminis, Islam Politik, Islam Revisionis dan Islam-Islam lainnya.
Dari kata setelah Islam, kita dapat mengetahui berbagai perspektif tentang suatu ide terhadap Islam. Islam Nusantara, Islam yang menjaga dan mengakomodasi nilai-nilai budaya dan lokal. Islam Berkemajuan, Islam yang memiliki spirit untuk maju dan mampu menghadapi modernitas.
Islam Liberal, Islam yang menggaungkan nilai-nilai kebebasan pribadi dan pembebasan dari struktur yang menindas. Islam Progresif, Islam yang berusaha untuk memberikan pembaharuan-pembaharuan terhadap Islam dan berupaya untuk membebaskan dari berbagai penindasan.
Selanjutnya, Islam Transformatif, Islam yang memiliki tujuan untuk transformasi sosial. Islam Radikal, Islam yang memiliki karakter keras dan tertutup terhadap pendapat yang lainnya. Islam Konservatif, Islam yang menolak pembaharuan-pembaharuan terhadap Islam. Islam Moderat, Islam yang bersikap tengah-tengah. Islam Cinta, Islam yang mengkampanyekan nilai-nilai cinta. Islam Feminis, Islam yang konsern terhadap isu-isu perempuan. Islam Politik, Islam yang banyak berbicara tentang politik. Islam Revisionis, Islam yang selalu mempertanyakan kebenaran sejarah Islam secara ilmiah objektif.
***
Dari pemaparan di atas dapat kita lihat betapa beragamnya Islam bahkan sejak saat awal. Islam telah mengalami dialektika dengan pemikiran-pemikiran manusia yang terbatas dan terjerat dalam ruang waktu, sosial budayanya. Islam telah hadir dalam berbagai warna dan corak-coraknya tersendiri.
Tidak sampai di sana, Islam bahkan lebih beragam lagi hingga saat ini seiring berkembangnya kehidupan, pemikiran, dan peradaban manusia. Di sini menegaskan bahwa perbedaan dan keragaman, adalah keniscayaan.
Klaim kebenaran antar satu dengan yang lainnya adalah hal wajar, akan tetapi jika kemudian klaim kebenaran tersebut mengarah pada klaim kesalahan kepada yang lainnya. Bagaimanapun, klaim tersebut akan menciderai hubungan di tengah perbedaan tersebut.
Karena yang pasti, saat ini tidak ada otoritas yang dapat menjadi sumber kebenaran Islam. Dan yang menjadi pertanyaannya adalah bahwa Islam mana yang sebaiknya kita pilih?
Editor: Yahya FR