Islam, modernisme, dan akal | Dahulu, dunia berada dalam kekuasaan imperium-imperium Islam. Meski tidak semua sisi dunia dikuasai olehnya, setidaknya kekuatan dan kekuasaan imperium Islam saat itu sangat ditakuti dan dihormati secara global.
Jalur-jalur pertukaran ide, informasi, dan barang-barang dagangan berlalu-lalang melewati sebagian besar dunia Islam dan ibukota-ibukotanya yang sibuk, ramai, dan kosmopolitan.
Tidak hanya sekadar lewat, pasar-pasar besar dan universitas-universitas terkemuka justru berada di dalam benteng-benteng utama Islam, seperti Baghdad, Andalusia, Kairo, Isfahan, Bukhara, dan Istanbul.
Sampai di zaman kita sekarang ini, di sekolah-sekolah, madrasah, pesantren, maupun universitas Islam – yang berada di Indonesia, dan sepertinya di hampir semua negara dengan penduduk Muslim yang mayoritas – anak-anak Muslim kita terus diberitahu tentang kebesaran kerajaan dan kebudayaan Islam dahulu kala tersebut.
Nostalgia Kejayaan Masa Lalu
Jika Anda sempat tak habis pikir mengapa ada saudara atau sahabat Anda sesama Muslim yang terpengaruh cita-cita mendirikan negara Islam, negara khilafah, atau kebangkitan syariah Islam, maka sebaiknya Anda mulai menganggap itu semua biasa saja.
Selama bayang-bayang nostalgia akan kejayaan lama dari imperium Islam itu masih diajarkan, akal siapa pun yang menerimanya akan dengan mudah dibelokkan untuk mempercayai bahwa Islam adalah agama sekaligus negara – dan negara itu pun harus negara berjangkauan global, bukan nasional.
Baiklah, pada kenyataannya, memang begitu besar luas daerah kekuasaan imperium Islam seperti Usmani, Safawi, atau Mughal di zaman dahulu itu.
Dan memang, bisa begitu membanggakan hati bila membaca kisah-kisah kepahlawanan pejuang-pejuang Islam di medan perang demi merebut sebuah negara yang dihuni dan dikuasai oleh orang-orang kafir, dan lalu menjadikannya bagian dari kerajaan Islam yang diridhai Tuhan.
Tanyakan kepada anak-anak Muslim kita hari ini mengenai siapa nama pahlawan-pahlawan Islam yang diajarkan oleh ustadz dan ustadzah mereka di sekolah. Gampang untuk menebak bahwa jawabannya pasti tidak jauh dari nama-nama seperti Khalid bin Walid, Shalahuddin al-Ayyubi, atau Muhammad al-Fatih.
Ke mana nama-nama ilmuwan seperti Abu Bakr al-Razi, Farabi, Biruni, atau Ibn Sina? Yah, sesekali memang disebutkan, tetapi mereka ini kan orang-orang biasa, hanya kalangan sarjana, dan bukan pejuang, mujahid, dan syahid di medan perang – belum lagi jika ustadz dan ustadzah itu berani membuka fakta bahwa kebanyakan falasifah Muslim tersebut ternyata mempunyai akidah yang menyimpang dari ortodoksi Sunni, pelaku bid’ah, atau mungkin sudah dianggap murtad.
Stigma Terhadap Barat
Kekuasaan Islam yang kita sebut tadi bukan hanya begitu besar dan luas, melainkan juga berumur begitu lama dan panjang. Bayangkan saja, sejak abad ke-8 Masehi hingga abad ke-19 Masehi (kira-kira 1100 tahun lamanya), imperium Islam menguasai hampir sebagian besar geografi daratan dunia – tentu saja tanpa mengikutsertakan dunia baru benua Amerika dan Australia.
Di mata orang-orang Muslim saat ini, melihat dunia masa lalu yang dikuasai imperium Islam tersebut, segala sesuatunya tampak begitu indah dan damai – walaupun sebenarnya tidak – hingga akhirnya negara-negara Barat datang “menyerang”.
Kedatangan Barat sering disimplifikasi sebagai sebuah bentuk penjajahan. Yah, bagaimana pun penjajahan Barat tentu saja adalah sebuah cerita yang tidak bisa disembunyikan oleh siapa pun.
Di zaman modern kita ini, diksi-diksi “penjajahan” atau “kolonialisme” Barat masih sering diungkapkan untuk mencela modernisasi yang terjadi di dunia Islam.
Tampaknya sakit hati akibat penjajahan itu terlalu besar dan begitu dalam untuk bisa diobati oleh waktu yang singkat, sehingga sampai sekarang ini apa pun yang tampak sebagai sumbangan modern dari Barat akan dilabeli sebagai bentuk penjajahan baru, biasanya disebut penjajahan kultural – apa pun itu definisinya.
***
Datangnya kekuatan-kekuatan lain non-Islam ke dunia Islam sejak abad ke-19 Masehi ditanggapi pertama-tama dengan sikap penuh permusuhan.
Kekuatan non-Islam yang biasanya datang dari Eropa ini seringkali dipandang oleh dunia Islam sebagai bagian dari konspirasi musuh-musuh Islam untuk menghapuskan ajaran wahyu Tuhan dari muka bumi.
Baik berwujud personal maupun impersonal, penetrasi kekuatan kultural baru ini dipandang sebagai episode selanjutnya dari perang abadi antara tentara Tuhan melawan tentara setan.
Kekuatan non-Islam ini sebenarnya bukanlah sebuah ramuan beracun yang sengaja diciptakan dari resep dan komposisi yang tertulis dalam kitab-kitab Bibel atau dari fatwa-fatwa pendeta Kristen di Eropa.
Kekuatan ini adalah modernisme yang berasal dari akal orang-orang tercerahkan yang seringkali tidak terikat pada agama apa pun, melainkan berkomitmen terutama kepada kebebasan, kesetaraan, kemanusiaan, scientific discovery, dan tidak lupa – keuntungan dan kekayaan.
Islam dan Modernitas
Bagi saya, sangat jauh dari kata membosankan untuk menelaah kembali hubungan antara Islam dan modernisme ini.
Oleh karena itu, dalam serial tulisan kali ini saya akan menyajikan cerita bagaimana Islam, baik sebagai agama maupun sebagai peradaban, berhadapan dengan ide-ide modern. Secara khusus, adalah menarik untuk memeriksa bagaimana Islam merespons ajaran utama modernisme mengenai kekuatan akal manusia.
Lagi pula, sebagai sebuah produk kebudayaan dan sejarah, Islam pun pada dasarnya tidak jauh dari ajaran yang agak mirip dengan rasionalisme modern tersebut.
Dengan begitu, tulisan ini pun harus menjawab bagaimana Islam memandang kemampuan akal manusia dan apa perintah Islam terhadap manusia berkaitan dengan penggunaan akalnya itu.
Yang saat ini cukup jelas untuk disampaikan adalah baik modernisme maupun Islam sama-sama mempunyai keyakinan yang tidak kecil terhadap potensi akal manusia.
Hal ini dengan sangat baik disadari oleh kaum modernis Muslim di abad ke-19 dan 20 Masehi, untuk pada akhirnya mendorong mereka mencapai keberhasilan menciptakan sebuah mazhab pemikiran Islam baru yang dikenal dengan nama modernisme Islam. Tidakkah juga seharusnya tulisan ini menceritakan tentang mereka?
Bersambung.
Editor: Yahya FR