Perspektif

Islam Rahmatan lil Alamin: Bedanya Misi Nabi dan Misi Kita

3 Mins read

Jika misi Nabi Muhammad SAW adalah sebagai rahmat bagi semesta alam, lantas, apa misi kita sebagai umatnya?

Pertanyaan diatas barangkali sangat relevan dengan konteks keber-Islaman kita yang selama ini masih menyisakan pertanyaan-pertanyaan. Adagium “rahmatan lil alamin” sebagai kontrak suci antara Tuhan dengan Rasul-Nya (QS. al-Anbiya’ Ayat 107), memerlukan perenungan-perenungan (tadabbur) logis dan mendalam. Sehingga “rahmatan lil alamin” dapat didudukkan pada level generiknya. Masalahnya tidak jarang di kalangan umat Islam sekarang yang menginterpretasikan kontrak suci itu secara domestik dan sempit. Akibatnya, doktrin Islam sebagai agama rahmah menjadi bias pemaknaan.

Jika kita perhatikan secara lughawi, diksi yang digunakan dalam ayat diatas adalah ‘al-aalamin’ yang dalam gramatika arab, ia merupakan bentuk jamak dari ‘alam’. Ada resolusi menarik dalam pandangan teologi ahlus sunnah wal jamaah tentang ‘alam’; maa siwaa Allah (segala sesuatu selain Allah). Namun, kebanyakan para ahli ta’wil pecah dalam dua kelompok. Pertama, kelompok yang mengartikan kata ‘alamin’ secara luas (sebagaimana dijelaskan diatas), dan yang kedua, mengartikan bahwa arti kata tersebut hanya untuk orang-orang yang beriman kepada Nabi Muhammad SAW.

Maka ketika kemudian Abu Ja’far Muhammad Ibn Jarir at-Thabari (839-923 M), seorang mufassir terkenal kelahiran Thabaristan dihadapkan dengan dua pendapat ini, ia mengedepankan pendapat yang pertama daripada yang kedua. Dengan demikian tentu saja, kata ‘alamin’ disini mencakup seluruh alam semesta, makhluk ciptaan-Nya dan bukan saja untuk orang-orang yang beriman.

***

Kita sepakat bahwa misi kenabian Muhammad adalah sebagai rahmat bagi semesta alam. Adalah benar jika beliau oleh Allah digambarkan sebagai sosok yang dalam dirinya terdapat “uswatun hasanah” atau suri tauladan yang baik. Muhammad yang sejak muda hingga menjelang wafatnya tidak pernah merusak lingkungan sekitar, selalu bersikap lemah lembut bahkan terhadap mereka yang mencaci, menghardik, dan melemparinya dengan kotoran sekalipun. Dan, sosok Muhammad yang senantiasa bijaksana dalam menyikapi setiap persoalan tanpa sedikitpun sentimen agama. Kita juga dapat melihat begaimana sikap toleransi yang ditunjukkannya terhadap orang-orang kafir Quraisy yang, secara keyakinan sudah pasti berbeda. Dalam situasi dan kondisi apapun (diluar konteks perang), Muhammad tetaplah Muhammad Rasulullah, yang berpegang teguh pada prinsip “rahmah” sebagai mandat suci dari Tuhannya.

Baca Juga  Bagaimana Salat Dapat Menghilangkan Stres?

Begitulah seyogianya bentuk oprasional dari “rahmatan lil alamin”. Rasulullah telah merepresentasikannya secara empiris-baik dalam posisinya sebagai pemimpin agama maupun sebagai kepala Negara Madinah. Jika kita merasa menjadi bagian dari umat Nabi Muhammad yang shaleh, maka sudah saatnya pola-pola ber-Islam yang dicontohkannya menjadi ibrah dan pegangan hidup bagi kita, khususnya Muslim Indonesia.

Dalam konteks nation state Indonesia, spirit keislaman yang berpijak pada nilai-nilai rahmah, cinta dan kasih harus dikampanyekan secara berkelanjutan. Ada banyak cara yang sebenarnya mudah ditempuh oleh Muslim Indonesia untuk mengekspresikan Islam dengan wajah cinta.

Pertama, dalam urusan muamalah, misalnya, diskursus teologis seharusnya tidak menjadi elemen dominan, khususnya terhadap mereka yang berbeda secara keyakinan. Terciptanya sinergitas antar umat beragama adalah tujuan mendasar dari langkah konkrit ini. Dalam konteks hubungan antar umat beragama, ada ruang-ruang tertentu yang ‘mungkin’ dan ‘tidak mungkin’ untuk kita masuki. Yang mungkin silahkan dimasuki, dan yang tidak mungkin tidak perlu memaksakan diri memasukinya, sebab secara diametral pijakan berifikir dan berkeyakinan kita memang sudah berbeda.

***

Tanpa atribut keagamaan, sangat mungkin rakyat Indonesia lintas iman saling bergandengan tangan untuk bersama-sama memperbaiki jalan rusak, memberikan edukasi yang sehat kepada masyarakat, atau melakukan kerja-kerja sosial lainnya yang relevan dengan kepentingan kaum tertindas, misalnya. Berbeda halnya ketika kemudia kita (lintas iman) sudah pada level ibadah (mahdah; ritual), yang hubungannya langsung dengan Tuhan yang kita percayai (lanaa a’maalunaa wa lakum a’maalukum). Inilah ruang teologis yang secara tegas tidak dapat diintervensi dan dimasuki oleh orang/kelompok yang berbeda secara keyakinan. Seorang agamawan yang baik, akan lebih memahami konteks ini.

Kemudian yang kedua, dalam konteks dakwah islamiah, baik hubungannya dengan sesama Muslim sendiri maupun non-Muslim, sejarah peradaban Islam Nusantara yang diprakarsai oleh Wali Songo sebenarnya telah memberikan referensi yang jelas dan terbukti berhasil. Islam masuk ke Nusantara bukan dengan jalan peperangan, perampasan, dan kekerasan yang justru akan berujung kegagalan dalam proses islamisasi itu sendiri. Akan tetapi Islam masuk ke Nusantara dengan personal approach dengan cara memahami terlebih dahulu kondisi psikologis, budaya dan sosio-kultural yang melatari masyarakat Nusantara sebagai obyek dakwah kala itu. Sehingga Islam mudah diterima, dan terjadi proses mutual accommodation antara Islam dan kebudayaan. Inilah bedanya Islam (di) Nusantara dengan Islam di Andalusia dimana jalan perang menjadi instrumen dasarnya.

Baca Juga  Islam Melarang Keras Marital Rape!

Dan puncak keberhasilan itu terjadi pada abad ke-14 dimana, Islam telah tersebar luas dan mampu menggeser dominasi Hindu-Budha yang telah ada jauh sebelum Islam tiba. Mengapa? Adalah karena Islam disampaikan melalui jalan cinta!

Editor: Yahya FR
3 posts

About author
Lahir di ujung Timur pulau Madura, Sumenep. Sedang menempuh Program Magister Hukum Islam di Fakultas Syariah & Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Articles
Related posts
Perspektif

Tidak Bermadzhab itu Bid’ah, Masa?

3 Mins read
Beberapa waktu lalu, ada seorang ustadz berceramah tentang urgensi bermadzhab. Namun ceramahnya menuai banyak komentar dari berbagai kalangan. Ia mengatakan bahwa kelompok…
Perspektif

Psikologi Sosial dalam Buku "Muslim Tanpa Masjid"

3 Mins read
Dalam buku Muslim Tanpa Masjid, Kuntowijoyo meramalkan pergeseran signifikan dalam cara pandang umat Islam terhadap agama dan keilmuan. Sekarang, ramalan tersebut semakin…
Perspektif

Paradoks Budaya Korupsi Masyarakat Religius

2 Mins read
Korupsi yang tumbuh di masyarakat yang dikenal religius memang menjadi paradoks. Di masyarakat yang memegang teguh nilai-nilai agama, mestinya kejujuran, integritas, dan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds