Ada suatu istilah yang oleh Ulil Abshar Abdala dinamakan sebagai “Pasar Raya Pemikiran”. Di tempat tersebut seseorang harus mempunyai bekal pengetahuan yang cukup mengenai apa saja pemikiran yang ditawarkan di dalamnya.
Bagi mereka yang cukup ilmu pengetahuannya, keragaman pemikiran yang ada tidak menjadikan orang itu arogan dan angkuh. Sebaliknya, ia akan menyadari bahwa pengetahuan yang dimilikinya bukanlah satu-satunya pengetahuan yang bisa diterima, karena ternyata ada banyak pemikiran dan pengetahuan di luar dirinya yang juga berusaha untuk menemukan kebenaran.
Perbedaan di antara satu pemikiran dengan pemikiran lainnya harus dipandang sebagai sesuatu yang positif dan tidak mesti selamanya disalahkan. Karena perbedaan itu sudah menjadi sunnatullah di alam semesta yang telah dikreasikannya-Nya ini.
Banyak di antara kita yang gagal mengerti soal keragaman baik keragaman dari segi budaya, agama, suku, ras atau golongan. Dari kegagalan itu kemudian tumbuhlah sikap saling menegasikan yang berujung pada perilaku amoral dan jauh dari perbuatan yang ihsan.
Manifestasi Agama Kemajuan
Keragaman pemikiran tersebut menjadi fondasi yang kuat sebagai penopang bangunan islam yang maju. Yaitu bangunan agama islam sebagai agama kemajuan (din al-hadarah). Di awal dakwahnya, Nabi Muhammad Saw menunjukkan betapa terbinanya keragaman dengan menerima siapapun untuk bersyahadat tanpa memandang warna kulit dan kesukuan.
Yang paling familiar di masa awal sejarah islam yaitu keislaman Bilal bin Rabbah. Bilal sekaligus menjadi simbol bahwa Nabi Saw merupakan orang yang terbuka dan menolak paham yang saat ini kian mengemuka yaitu paham rasisme atau rasialisme.
Islam sebagai agama kemajuan sangat menghargai keragaman (diversity). Umat islam harus mampu menangkap pesan itu dalam mengejawantahkannya di kehidupan sehari-hari. Kemajuan yang diraih pada masa kejayaan islam itu termanifestasikan dari banyaknya pemikiran islam yang berkembang.
Seperti pemikiran di bidang teologi, filsafat, sains, hadis, ulumul Qur’an bahkan ilmu sastra. Sebagaimana kejayaan islam dahulu yang berpijak di atas keragaman, maka keragaman pemikiran harus dirawat dan dipersatukan untuk menyambut kejayaan islam yang akan datang di masa depan.
Di negara kita misalnya ada sebuah adagium “Bhineka Tunggal Ika” untuk mempersatukan semua golongan, yang bermakna meskipun berbeda-beda tetapi tetap satu tujuan atau satu jua. Adagium itu yang hingga kini hidup di tengah masyarakat Indonesia dan kemudian membangkitkan kesadaran akan keragaman. Hidupnya istilah itu di benak masyarakat Indonesia akhirnya mengahantarkan Republik Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaannya.
Tradisi Keragaman Pemikiran
Islam yang sejak awal maju dalam pemikiran berhasil membebaskan kehidupan umat manusia dari keterbelengguan dunia hingga kini. Kuntowijoyo, salah satu cendekiawan muslim di Indonesia menyebutkan bahwa islam telah membawa misi liberasi, transedensi dan humanisasi.
Misi-misi tersebut ditangkap dengan baik oleh generasi emas umat islam sebelumnya. Hingga saat inipun, banyak lahir dari rahim agama islam ribuan intelektual yang mumpuni dan memajukan segi-segi kehidupan umat manusia.
Misalnya tradisi saling mengkritisi karya pemikiran islam zaman dulu antara Ibn Rusydi dan Al-Ghazali. Perbedaan pemikiran di antara mereka tertuang dalam kitab-kitab yang mereka tulis. Al-Ghazali mengkritisi sebagian metode filsafat yang menurutnya telah merusak ilmu-ilmu agama dengan menyusun kitab Tahafut al-Falasifah (kerancuan filsafat).
Ia kemudian menyusun kitab ihya ulumuddin (Menghidupkan ilmu-ilmu agama) sebagai solusi dari keringnya keilmuan islam akibat maraknya filsafat. Kritik Al-Ghazali memang amat terasa di tengah umat islam kala itu yang membutuhkan metode segar dalam menginterpretasikan islam.
Di tengah kritikan Al-Ghazali tersebut muncullah Ibn Rusydi yang ingin mengangkat kembali metode filsafat dalam memahami agama. Ibnu Rusydi yang di Barat lebih dikenal dengan nama Averous itu menyusun argumentasinya dalam kitab Tahafut at-Tahafut (Kerancuan dari kerancuan) yang kemungkinan besar ditujukan untuk mengkritisi Tahafut al-Falasifah karya Sang Hujjatul Islam yaitu imam Al-Ghazali.
Karya besar lainnya dari Ibnu Rusydi – yang mendapat julukan “guru kedua” (al-Mu’allimin al-Tsani) setelah Aristoteles – untuk memajukan umat islam yaitu disusunnya kitab Bidayah al-Mujtahid wa an-Nihayah al-Muqtasid, yaitu sebuah kitab dalam bidang keilmuan fikih.
Keragaman Pemikiran yang Memajukan Islam
Terlepas dari siapa yang lebih baik di antara para pemikir islam seperti Al-Ghazali atau Ibnu Rusydi di atas, tapi kini berkah dari pemikiran mereka selalu melimpah dalam dunia pemikiran Islam. Itu yang patut kita syukuri bersama, karena sejatinya peradaban islam adalah peradaban yang maju terutama dalam bidang pemikiran. Tak aneh bila pada masanya islam dikagumi oleh berbagai bangsa dan peradaban yang ada di dunia dari Timur hingga ke Barat.
Akan tetapi, selain menikmati buah karya pemikiran umat islam terdahulu, generasi umat islam saat ini mesti mempunyai sikap kritis terhadap berbagai pemikiran yang ada. Karena suatu pengetahuan di zaman dulu belum tentu dapat diakses dengan metode yang sama di zaman sekarang. Oleh sebab itu Michel Foucalt, seorang filsuf Strukturalisme Prancis menyebut suatu pengetahuan sebagai “arkeologi” yang harus digali.
Dengan banyaknya arkeologi pemikiran islam yang melimpah saat ini, tak salah bila hal itu dinikmati sebagai sebuah berkah dan kenikmatan yang tidak terhitung jumlahnya. Dengan merawat keragaman pemikiran yang ada, artinya peradaban islam sudah siap untuk disambut kembali. Dengan sikap saling menghargai dan iktiar untuk memajukan agama islam, tidak menutup kemungkinan bila kegemilangan peradaban islam suatu saat akan bangkit kembali dalam peta dunia.
Editor: Dhima Wahyu Sejati