Perspektif

Berhentilah Menyebut Islam sebagai Solusi!

5 Mins read

Pendahuluan

Islam – Apa yang ingin Anda lihat di dunia ini? Semenjak kita lahir, kita bisa melihat dan merasakan apa pun yang ada di hadapan kita. Kita menyebutnya hidup. Kita merasakan kehidupan.

Setelah dewasa, manusia kemudian berlomba-lomba untuk menciptakan dunia versinya sendiri. Perang sebenarnya adalah konflik yang terjadi akibat kita saling membenturkan diri. Kita merasa dunia versi kita sebagai yang terbaik.

Kembali ke pertanyaan awal; apa sebenarnya yang ingin kita lihat di dunia ini? Anda lebih pintar dari saya, jauh lebih pandai mengaji, dan memiliki ustadz-ustadz kepercayaan.

Menjawab pertanyaan ini, Anda pun mengatakan bahwa dunia yang ingin Anda lihat adalah dunia yang mengikuti Islam secara total. Anda tak akan puas sebelum dunia seluruhnya menjadi Islam. Anda menganggap inilah yang diajarkan oleh akidah.

Ambisi untuk Mengendalikan Dunia

Saya paham bahwa kita dikelilingi konflik tak terbayangkan. Kita masih bisa melihat perang antarmanusia. Jiwa kita pun terpanggil untuk menegakkan keadilan dan kebebasan.

Tapi, biasanya panggilan itu baru berpengaruh apabila yang ditekan adalah kaum seagama, semazhab, atau senegara kita. Jauh di dalam hati sebenarnya kita menginginkan kebinasaan bagi agama, mazhab, dan bangsa lain.

Sebenarnya kita tidak perlu menciptakan dunia, dengan versi-versi egoistik kita sendiri. Dunia dan alam semesta ini jauh lebih tua dari spesies kita. Hanya karena spesies manusia bisa menciptakan beton tertinggi di dunia, tak berarti alam mengaku tunduk dan patuh pada kita. Dan, hanya karena Anda mengira bahwa agama atau mazhab Anda sebagai yang paling benar dan sahih, tak berarti dunia ada di bawah kendali Anda.

Nafsu untuk Mengendalikan yang Lain

Kita amat bernafsu untuk mengendalikan dunia, dan mengendalikan orang lain. Anda tak bisa tidur nyenyak sebelum seluruh manusia di muka bumi menjadi seagama dengan Anda. Bahkan harus sama mazhabnya dengan Anda.

Kita amat bernafsu menciptakan dunia versi kita. Politik Islam, partai Islam, ekonomi Islam, bank Islam, dan seterusnya. Seolah dengan begitu, kita sudah berhasil menjadi pejuang di jalan Tuhan.

Saya paham bahwa kita masih dikelilingi ketidakadilan, kemiskinan, dan tidak meratanya distribusi kekayaan di masyarakat. Namun, kita meremehkan proses panjang kemanusiaan.

Baca Juga  Corona dan Kemenangan Kita yang (Harus) Tertunda

Umat ini selalu mau jalan keluar yang instan. Keadilan dan kemanusiaan akan selalu berada dalam jalan yang panjang dan terjal. Al-Qur’an menyebutnya al-‘aqabah.

Alih-alih memilih jalan rasional dan ilmiah yang seringkali panjang, sulit, dan memakan waktu, kita justru mengira bahwa semua jawaban bagi masalah sudah ada dalam agama dan kitab suci.

Namun, itu pun agama dan kitab suci yang diterjemahkan secara harfiah; bukan agama yang didalami secara rasional dan spiritual. Mendekati agama secara sepantasnya juga sebenarnya perlu waktu lama. Namun, sekali lagi, kita lebih suka yang instan.

Umat ini sangat bersemangat mengubah tatanan dunia. Seperti ada rasa tidak rela melihat umat lain yang berkuasa dan lebih kaya. Ketika diingatkan supaya memperbaiki etos kerja dan belajarnya, kita justru mengecam orang yang mengingatkan itu.

Di Indonesia, umat Islam ramai pergi ke pengajian. Namun, apakah mereka sendiri pandai mengaji? Apakah mereka sendiri serius menelaah khazanah intelektual Islam yang sangat kaya itu? Tidak. Mereka ingin yang cepat saji. Dengan modal dangkal itu mereka mau mengubah dunia.

Benih-Benih Penindasan

Ada satu kisah abadi yang terus berulang sepanjang sejarah. Kisah tentang si penindas dan si tertindas. Bacalah disertasi luar biasa Muhammad Khalafullah yang berjudul al-Fannu al-Qashashiy fi al-Qur’an al-Karim, maka Anda akan lebih paham bahwa Al-Quran menggunakan kisah dan cerita untuk meneguhkan psikologi Muhammad dan kaum beriman. Kisah yang digunakan selalu tentang si penindas dan si tertindas.

Musa menghadapi Fir’aun. Inilah kisah yang paling penuh pelajaran tentang konflik itu. Bukan hanya itu, ada juga kisah Nuh menghadapi umatnya, Ibrahim menghadapi Namrud, dan Yesus menghadapi Romawi. Para Nabi selalu menjadi yang ditindas.

Siapa si penindas? Apakah selalu Iblis dan setan? Bacalah baik-baik; si penindas selalu adalah umat para Nabi itu sendiri; mukhathab atau audiens yang kepadanya Sang Nabi berbicara.

Lalu, apakah setelah munculnya Nabi, kitab suci, dan syariat Tuhan, apakah kita yang jadi pengikutnya berarti sudah menjadi manusia suci dan hebat, yang bisa mendakwa diri sebagai penyelamat dunia? Atau justru bisa saja kita akan menjadi si penindas, meski kita mengaku sebagai Muslim, pengikut Nabi, atau penegak syariat Islam. Memang begitu kenyataannya.

Baca Juga  Jihad Politik versus Jihad Literasi

Keislaman Tidak Selalu Berbanding Lurus dengan Tingkah Laku

Umat Islam sebenarnya sudah lama diajarkan oleh sejarah bahwa keislaman mereka tak selalu menjamin kebenaran tingkah laku, pemikiran, dan jalan hidupnya.

Perang saudara yang terjadi tak lama setelah Muhammad wafat adalah kenyataan telanjang bahwa menjadi Muslim saja tidak cukup. Sejarah Islam awal, yang akhirnya membelah umat ini untuk selamanya, adalah bukti gamblang bahwa yang menggerakkan kita selama ini bukanlah wahyu, melainkan nafsu, sekalipun lidah Anda siang dan malam mengaji.

Yang membuat kita terlambat untuk maju dan lepas dari beban masa lalu adalah karena kita mensucikan dan mensakralkan hampir semua hal yang ada di masa lalu. Sebaliknya, yang membuat kaum rasionalis dan reformis Barat bisa cepat lepas landas adalah karena mereka berani memutuskan bahwa tidak semua perilaku dan pemikiran mereka di zaman dahulu dapat dibenarkan. Mereka berdamai dengan dirinya sendiri, lalu menatap hari depan dengan pemikiran dan perilaku yang lebih baik.

Hari ini, jika Anda mempunyai seorang anak lucu dan menggemaskan yang baru lahir, ketahuilah, bahwa ia lahir dengan membawa beban masa lalu di pundaknya. Kelak ia akan tumbuh dewasa dengan membawa kebencian pada umat beragama lain, pada kaum bermazhab lain, dan pada bangsa yang disebut kafir.

Apakah itu murni realitas objektif yang ia lihat sendiri? Tidak. Sama sekali tidak. Itu adalah warisan Anda sendiri padanya. Bukankah Anda sendiri menganggap hanya Islam solusi final bagi dunia?

Egosentrisme dan Antirasionalisme

Saya paham Anda tidak akan senang dengan kata-kata di paragraf-paragraf di atas. Tapi, percayalah, bahwa kebaikan bagi dunia di masa kini, dan masa yang akan datang, tak akan tercipta dengan jalan ghirah mengunjungi pengajian, halaqah, dan mendengarkan para kaum pendakwah yang mendakwa dirinya sebagai ustadz-ustadz yang sebenarnya. Dengan melakukan itu semua Anda merasa nyaman karena seolah sudah menemukan kebenaran. Sayangnya, itu hanya memberikan Anda efek tenang sesaat.

Dengan melanjutkan itu semua, justru memperjelas tesis saya bahwa umat ini lebih tenang dan nyaman hidup dalam egosentrisme dan antirasionalisme. Anda merasa bahwa wibawa para pendakwah dan wibawa ajaran agama yang mereka sampaikan di atas mimbar jauh berada di atas Anda.

Baca Juga  Bahaya Memelihara Rasa Dendam bagi Kesehatan

Mereka adalah tuan, dan Anda pelayan. Ke mana mereka pergi, ke sana Anda ikut. Egosentrisme akibat pemahaman keagamaan eksklusivistik, dan antirasionalisme mereka, begitu saja Anda terima, dan kita yakini sebagai kebenaran.

Jika mereka menawarkan solusi bagi ekonomi, politik, dan sosial, Anda pun menerimanya sebagai premis-premis yang tidak bisa ditolak. Sebab ia berlandaskan agama.

Ekonomi Islam dianggap sempurna karena ia menempatkan Al-Quran sebagai landasan. Kita lalu kehilangan rasionalitas untuk mengukur apakah definisi dan aplikasi ekonomi Islam itu sendiri tidak melanggar logika dan nalar ilmiah. Kita mengira, karena landasannya adalah agama, maka ekonomi Islam, partai Islam, dan mini market Islam, pastilah secara otomatis benar dan mulia.

***

Inilah antirasionalisme dan egosentrisme yang saya maksud. Jika dihadapkan pada agama kita kehilangan daya kritis. Kita takut mempertanyakannya. Kita egois mengira bahwa semua yang dari agama kita pasti benar dan tepat.

Kita takut menyatakan bahwa agama punya ranahnya sendiri dan sains punya ranahnya sendiri. Kita takut menjadi kafir jika menolak apa pun yang diembeli Islam. Kita pun mengira bahwa segala sesuatu harus diislamkan.

Kita bertanya soal ekonomi kepada ustadz, bertanya soal politik kepada ustadz, dan soal vaksin pun kepada ustadz. Kita tidak lagi rasional. Para ustadz itu pun merasa bisa menjawab dengan mengutip ayat dan hadits.

Soal vaksin, menurut mereka ada ayat dan haditsnya. Soal ekonomi, mereka kira, harus dilandaskan pada Tuhan, dan harus hanya berekonomi yang sesuai dengan bunyi harfiah ayat. Ekonomi menjadi soal halal dan haram. Padahal, seharusnya ekonomi memperhatikan soal pertumbuhan dan kemajuan.

Akhirulkalam, itulah dunia yang ingin Anda ciptakan. Dunia yang Anda yakini sebagai perjuangan di jalan Allah. Saya tak mau membantah soal keyakinan dan ghirah keislaman Anda itu. Lihat saja kenyatannya, apakah perilaku dan pemikiran seperti itu akan membawa kebaikan universal, atau justru melanggengkan egosentrisme kelompok?

Editor: Rozy

Ibnu Rusyd
49 posts

About author
Mahasiswa Pascasarjana Studi Islam Universitas Paramadina
Articles
Related posts
Perspektif

Tak Ada Pinjol yang Benar-benar Bebas Riba!

3 Mins read
Sepertinya tidak ada orang yang beranggapan bahwa praktik pinjaman online (pinjol), terutama yang ilegal bebas dari riba. Sebenarnya secara objektif, ada beberapa…
Perspektif

Hifdz al-'Aql: Menangkal Brain Rot di Era Digital

4 Mins read
Belum lama ini, Oxford University Press menobatkan kata Brain Rot atau pembusukan otak sebagai Word of the Year 2024. Kata yang mewakili…
Perspektif

Pentingkah Resolusi Tahun Baru?

2 Mins read
Setiap pergantian tahun selalu menjadi momen yang penuh harapan, penuh peluang baru, dan tentu saja, waktu yang tepat untuk merenung dan membuat…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds