Berbicara soal hukum kepemimpinan perempuan, akan berbeda suasananya antara menjelang Pemilu 1999 dan menjelang Pemilu 2024. Seandainya pada tahun 1999 sudah ada media sosial seperti Whatsapp, Facebook, atau Twitter, topik hukum kepemimpinan perempuan pasti menjadi trending topic. Saya juga membayangkan banyak perdebatan yang terjadi di media sosial soal isu ini.
Polemik Kepemimpinan Perempuan Pada Pemilu 1999
Sayangnya pada masa itu, teknologi informasi belum berkembang seperti sekarang. Internet masih menjadi makhluk antah berantah bagi sebagian besar masyarakat Indonesia. Untungnya, saya menemukan beberapa buku dan tulisan di koran yang menggambarkan betapa sengitnya perdebatan hukum kepemimpinan perempuan pada masa itu.
Penyebab utama dari polemik tersebut adalah kuatnya peluang Megawati Soekarnoputri untuk menjadi presiden RI pasca Soeharto lengser. Umat Islam terbagi ke dalam dua pandangan, ada yang mengatakan perempuan jadi presiden itu haram. Namun ada juga yang membolehkan perempuan jadi presiden.
Pada akhirnya Megawati kalah oleh Gus Dur dalam pemilihan presiden yang dilakukan oleh MPR tahun 1999. Namun Megawati tetap terpilih sebagai wakil presiden. Setelah Gus Dur dilengserkan, Megawati pun naik menjadi presiden sampai tahun 2004. Setelah itu, beliau tidak berhasil untuk kembali menjadi presiden melalui pemilihan umum yang demokratis.
Lain dulu lain sekarang. Menjelang pemilu 2024 ini, isu kepemimpinan perempuan relatif tidak terdengar. Masyarakat terlihat sudah menerima kepemimpinan perempuan dalam jabatan-jabatan publik. Tidak terlihat lagi pandangan yang mengharamkan pemimpin perempuan. Bahkan dari kelompok yang dianggap konservatif dan fundamentalis sekalipun.
Meskipun belum ada presiden perempuan lagi setelah Megawati Soekarnoputri, namun pada masa kini banyak perempuan yang menduduki jabatan strategis. Misalnya Puan Maharani sebagai Ketua DPR RI, Sri Mulyani sebagai Menteri Keuangan, Retno Marsudi sebagai Menteri Luar Negeri, Tri Rismaharini sebagai Menteri Sosial dan Khofifah Indar Parawansa sebagai Gubernur Jawa Timur.
Regulasi yang ada juga sudah berpihak pada perempuan. Partai-partai politik diberi kewajiban untuk memenuhi kuota calon legislatif perempuan minimal 30 persen dari seluruh caleg.
Kedudukan Perempuan Pada Era Pra Modern dan Era Modern
Meskipun penolakan terhadap kepemimpinan perempuan tidak lagi banyak terdengar, bukan berarti hal tersebut tidak ada. Bukan berarti juga persoalan hukum kepemimpinan perempuan ini tidak perlu dibahas lagi.
Saya berpandangan bahwa pembahasan hukum kepemimpinan perempuan ini tetap relevan untuk dibahas. Alasannya adalah belum semua masyarakat pernah mengkaji tentang persoalan ini. Bagi yang sudah tahu pun, pembahasan ini berguna untuk semakin menguatkan pemahaman kita terhadap isu tersebut.
Sebelum ke pokok persoalan, saya ingin menekankan bahwa persoalan hukum kepemimpinan perempuan dalam Islam adalah persoalan yang sifatnya zhanniy, bukan qath’iy. Tema kepemimpinan perempuan adalah persoalan fikhiyah yang memungkinkan untuk ijtihad, bukan persoalan ibadah mahdhah yang mutlak tidak diizinkan ijtihad di dalamnya.
Selanjutnya saya juga ingin menekankan bahwa ada perbedaan situasi antara masa pra modern dengan masa modern termasuk di dalamnya soal kedudukan dan peran perempuan di masyarakat.
Pada masa pra modern dominasi laki-laki sangatlah kuat, sementara perempuan dianggap berkedudukan di bawah laki-laki. Namun bukan berarti sama sekali tidak ada perempuan yang menonjol pada masa pra modern. Beberapa tokoh perempuan yang menonjol di antaranya Ratu Balqis dan Sayyidah Khadijah. Sayangnya perempuan yang menonjol di era pra modern bersifat kasuistik dan tidak bersifat umum.
Pendapat Para Ulama Soal Hukum Kepemimpinan Perempuan
Marilah kita mulai membahas persoalan utama, tentang hukum perempuan menjadi pemimpin. Para ulama berbeda pendapat tentang hukum perempuan menjadi pemimpin. Namun mereka sama-sama berdalil dengan sebuah hadis sahih yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Imam Tirmidziy, dan Imam an-Nasa’iy sebagai berikut:
Diriwayatkan dari Abu Bakrah berkata: “Allah menjagaku dengan sesuatu yang aku dengar dari Rasulullah SAW pada perang Jamal yakni tatkala aku hampir bergabung dengan para penunggang kuda guna berperang bersama mereka”. Abu Bakroh meneruskan: Saat Kaisar Persia mati, Rasul bersabda: “Siapa yang menjadi penggantinya?” Mereka menjawab: Putrinya. Lalu Nabi pun bersabda: “Tidak akan beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada seorang perempuan”.
Dilansir dari situs Ma’had ‘Aly Tebuireng Jombang, disebutkan bahwa ada 3 pendapat ulama salaf terkait kepemimpinan perempuan.
Pendapat pertama mengatakan bahwa seorang perempuan tidak berhak untuk menjadi pemimpin atau menjadi seorang hakim. Pendapat ini didasarkan terhadap hadis yang diriwayatkan Imam Bukhori di atas. Ini merupakan pendapat yang diusung oleh mayoritas ulama klasik (Imam Syafi’i, Imam Malik, Imam Ahmad).
Pendapat kedua mengatakan bahwa seorang perempuan boleh secara mutlak untuk menjadi pemimpin atau seorang hakim dalam semua ranah hukum, baik dalam ranah akhwal as-syakhsiyah (hukum keluarga) ataupun hukum jinayat (pidana). Ini merupakan pendapat Ibnu Jarir.
Pendapat ketiga mengatakan bahwa perempuan boleh menjadi pemimpin atau seorang hakim di dalam ranah yang dimana dalam ranah tersebut persaksiannya diterima yaitu pada ranah akhwal as-syakhsiyah (hukum keluarga). Wanita tidak boleh menjadi hakim dalam hal yang berhubungan hukum jinayat (pidana). Ini merupakan pendapat Imam Abu Hanifah.
Diantara tiga pendapat ulama ini, mana yang paling relevan dengan kondisi sekarang? Hemat penulis, pendapat kedua adalah yang paling relevan dan cocok untuk diterapkan pada masa kini.
Pandangan Muhammadiyah tentang Kepemimpinan Perempuan
Dalam kitab Adabul Mar’ah fil Islam yang diterbitkan oleh Majelis Tarjih dan Tajdid PP. Muhammadiyah, secara tegas disebutkan bahwa perempuan diperbolehkan untuk aktif di ruang publik dan menjadi pemimpin bahkan menjadi hakim.
Adapun dalil hadits mengenai suatu kaum tidak akan beruntung jika dipimpin oleh seorang perempuan, menurut Majelis Tarjih tidak boleh dimaknai secara tekstual. Muhammadiyah memaknai bahwa ada illat yang menjadi sebab munculnya hadits tersebut.
‘Illat dari pernyataan Rasulullah SAW itu adalah kondisi wanita pada waktu itu belum memungkinkan mereka untuk menangani urusan kemasyarakatan, karena ketiadaan pengetahuan dan pengalaman, sedangkan pada zaman sekarang sudah banyak wanita yang memiliki pengetahuan dan pengalaman mengenai urusan tersebut.
Dalam kaidah fikih, disebutkan bahwa sebuah hukum bisa berubah manakala illatnya juga berubah. Artinya hukum keharaman perempuan memimpin pada masa lalu bisa berubah menjadi boleh karena illatnya berubah.
Majelis Tarjih juga berdalil dengan QS. At Taubah ayat 71 sebagai berikut:
Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, melaksanakan salat, menunaikan zakat, dan taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka akan diberi rahmat oleh Allah.
Berdasarkan ayat di atas, Syaikh Yusuf al-Qaradhawi berpendapat bahwa setiap perempuan berhak untuk duduk dalam sebuah kepemimpinan di wilayah publik.
Sedangkan Buya Hamka dalam Tafsir Al Azhar memaknai surat at-Taubah ayat 71 bahwa orang mukmin laki-laki maupun perempuan, mereka bersatu dan saling memimpin satu sama lain dalam satu kesatuan i’tiqad, yaitu percaya kepada Allah swt. Dengan kata lain, perempuan ambil bagian dalam menegakkan agama, dan membangun masyarakat beriman, baik laki-laki dan perempuan.
Majelis Tarjih Muhammadiyah tetap memberikan syarat bahwa perempuan yang menjadi pemimpin di ranah publik, tidak boleh sampai membuat urusan rumah tangganya terbengkalai.
Kesimpulan
Dari uraian di atas, bisa dipahami bahwa pada prinsipnya, ajaran Islam memberikan kesempatan yang sama bagi laki-laki dan perempuan untuk beramar makruf nahi munkar di sektor public dan menjadi pemimpin.
Namun pada masa lalu, karena keterbatasan Pendidikan dan kapasitas perempuan, maka kepemimpinan diserahkan kepada laki-laki. Sebaliknya, pada masa kini situasinya sudah berubah. Perempuan sudah banyak yang terdidik dan terampil dalam mengurus urusan public. Maka peluang perempuan jadi pemimpin semakin besar.
Tentu saja tetap ada catatan bagi perempuan yang ingin menjadi pemimpin, yakni bisa berbagi waktu dan peran dengan suaminya dalam urusan domestic rumah tangganya. Jangan sampai hal ini terabaikan.
- Artikel yang ditulis adalah hasil kolaborasi antara IBTimes.ID dengan NUOnline
Editor: Yahya FR