Mengenai ajaran Islam, jika Islam selalu dipahami secara parsial maka akan timbul pertanyaan apakah prinsip dasar ajaran Islam eksklusif atau inklusif? Atau mengapa beberapa ayat Alquran mengisyaratkan umatnya untuk tidak memberi ruang terhadap penganut lain?
Tentu ini akan melahirkan perpisahan antara doktrin suci dengan sikap penganutnya, antara konsep ideal dengan realitas, atau antara pernyataan deduktif dengan induktif, maka Islam akan terkesan benar demikian.
Namun, jika ajaran Islam dipandang secara holistik (satu kesatuan yang utuh) dan didudukkan secara proporsional, maka hal itu tidak akan terjadi. Ini berarti, konsep ajaran yang ideal harus dilanjutkan dengan upaya mewujudkannya secara bertahap, butuh proses, pembinaan, dan lain sebagainya.
Dua Dimensi Ajaran Islam
Ajaran Islam mempunyai dua dimensi, yaitu ketegasan prinsip dan keluwesan di dalam sikap. Dua ajaran ini semestinya dipahami secara proporsional, tegas terhadap apa atau siapa dan luwes terhadap apa atau siapa, serta kapan harus tegas dan kapan pula boleh luwes. Jadi, bukan kapan saja dan kapan pun boleh luwes. Misalnya, ketika kita memahami firman Allah Q.S. al-Fath [48]: 29.
مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ…
“Nabi Muhammad itu utusan Allah dan mereka orang-orang yang bersamanya itu tegas terhadap orang kafir dan berkasih sayang terhadap sesama mereka…”
Ayat di atas tidak boleh dipahami sebagai anjuran terhadap eksklusifisme. Tegas dalam prinsip adalah hak yang diberikan kepada seseorang untuk beragama (Islam). Sedangkan luwes dalam bersikap adalah implementasi atas hak tersebut. Penerapan hak yang telah diberikan tidak boleh mengganggu apalagi menzalimi orang lain. Karena, kezaliman kepada siapa pun merupakan perbuatan dosa. Dari sinilah timbul sikap toleransi terhadap sesama manusia.
Tegas dalam Prinsip
Tegas dalam prinsip itu terkait dengan iman yang kokoh dan tidak ada peluang kompromistik. Tapi, proses manusia beriman tidak boleh dilakukan dengan paksaan. Ketegasan pada pendirian (prinsip) jangan disalahpahami sebagai sesuatu yang identik dengan kekejaman atau identik dengan kezaliman.
Orang-orang Islam dan orang-orang non-Islam dalam konsep teologi Islam sama-sama diperbolehkan Allah untuk menikmati segala karunia-Nya sebagai wujud sifat kasih sayang-Nya. Nikmat di dunia adalah nikmat yang diusahakan. Maksudnya, siapa pun yang giat mencari nikmat maka peluang memperolehnya lebih besar, baik ia seorang mukmin maupun non-mukmin.
Di dunia ini, Allah hadir sebagai Rabbul ‘Alamin, pemelihara, perawat, dan pendidik alam semesta, termasuk manusia. Tapi di akhirat, Allah akan tampil sebagai Maliki Yaumiddin (Penguasa dan Penegak Keadilan di Hari Akhir). Segala bentuk kezaliman tidak bisa tuntas begitu saja terselesaikan di dunia. Allah adalah raja di Hari Kemudian yang akan tuntaskan segala ketidakadilan di dunia. Inilah prinsip-prinsip yang harus diyakini.
Luwes Bersikap
Ajaran Islam selanjutnya adalah luwes dalam bersikap. Luwes dalam bersikap merupakan suatu kewajiban agar konsep saling mengenal tetap terjalin dan terpelihara di antara manusia. Alquran secara rinci telah menjelaskan konsep kewajiban berbuat baik (ihsan) pada hubungan kekerabatan, sebagaimana firman Allah dalam Q.S. an-Nisa’ [04]: 36.
…وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَبِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَالْجَارِ ذِي الْقُرْبَى وَالْجَارِ الْجُنُبِ وَالصَّاحِبِ بِالْجَنْبِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ…
“…dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua, kepada karib kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat, tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil, dan hamba sahayamu…”
Perintah berbuat ihsan pada ayat di atas datang setelah adanya larangan berbuat kemusyrikan. Diwajibkannya berbuat ihsan pada ayat di atas tidak disebutkan secara khusus apakah hanya kepada mukmin saja atau tidak. Ini berarti secara horizontal, hubungan sosial antarsesama Islam bersifat inklusifisme. Oleh karena itu, kita harus mengerti dengan baik dan benar kapan harus bersikap eksklusif dan kapan pula harus bersikap inklusif. Kapan harus tegas pada pendirian dan kapan harus luwes dalam bersikap.
Jangan sampai keindahan, keramahan, dan keluwesan Islam tercoreng oleh kekasaran penganutnya. Apapun argumentasinya, perilaku penganut suatu agama tidak bisa secara otomatis merepresentasikan agamanya. Perilaku penganut agama hanyalah representasi dari sikap pribadi penganut agama itu sendiri.
Kekasaran, baik dari segi ucapan maupun sikap adalah citra arogansi seseorang. Begitu juga dengan kesombongan, dapat menghalangi seseorang masuk wilayah surga-Nya. Islam jika disampaikan dengan cara yang ramah akan menjadi kokoh dan semakin indah, tapi jika Islam disampaikan dengan kekerasan maka keindahannya akan menjadi kehinaan.
Lalu, bagaimana membina umat agar tampil menjadi manusia-manusia yang ramah dan harmoni tetapi kokoh dalam pendirian dan prinsip kebenaran? Ini dapat terjawab melalui pembinaannya, yakni melalui proses pembelajaran yang tuntas dan utuh (komprehensif).
Oleh sebab itulah, dalam agama Islam ada ajaran dan ada sikap penganutnya. Ajaran dan sikap penganutnya tentu saja tidak selalu berbanding lurus dengan ajarannya yang begitu indah. Jika kita melihat ada seorang muslim yang jorok, tidak disiplin, dan malas, itu semata-mata bukan karena Islam mengajarkan berbuat seperti itu, tapi karena ada pengaruh-pengaruh lain yang membentuknya demikian. Wallahu a’lam.
Editor: Dhima Wahyu Sejati