Sejak negeri kita ramai oleh kasus penistaan Al-Quran yang dilakukan oleh Ahok (Basuki Tjahja Purnama), serta Pilkada DKI Jakarta pada tahun berikutnya. Ada pertanyaan menarik yang kembali muncul di tengah-tengah umat. Pertanyaan itu adalah Apakah umat Islam harus terjun ke politik? Apakah agama Islam boleh digunakan untuk berpolitik?
Fakta bahwa politisasi agama telah mengantarkan salah satu calon gubernur DKI Jakarta, secara langsung maupun tidak memenangi pilkada pada tahun 2017 lalu. Nampaknya semakin menguatkan argumentasi bahwa isu-isu agama (Islam) harus kembali digunakan untuk merebut kekuasaan. Imbasnya berbagai kelompok yang mengatasnamakan Islam, baik itu partai politik ataupun ormas, makin lantang menaikkan isu-isu agama untuk memenangkan kontestasi politik. Terlihat pada Pilpres 2019 lalu, isu agama bukannya surut tapi makin menguat. Apakah hal itu bisa dikatakan baik bagi sebuah negara demokrasi, terlebih negara demokrasi dengan masyarakat yang heterogen?
Pada tahun 70’an seorang intelektual Muslim asal Indonesia, Nurcholish Madjid mengeluarkan jargon yang menarik yaitu Islam Yes; Partai Islam No. Pandangannya tentang Islam dan politik sangat menarik untuk dikaji lebih dalam. Namun karena sekarang yang bermain politik sudah bukan hanya partai-partai Islam saja, maka saya menemukan jargon baru yang terasa lebih cocok, yaitu Islam Yes; Islam Politik No.
Kelompok Formalis dan Substantif
Secara umum orang-orang yang memperjuangkan gagasan Islam di ranah politik dapat dibedakan menjadi dua kelompok besar, yaitu kelompok formalis dan substantif. Kelompok formalis menghendaki agar Islam diakui secara formal sebagai dasar negara dan undang-undang resmi suatu negara. Sehingga jelas kaum formalis menghendaki lahirnya negara Islam (Islamic State) yang menerapkan syariat Islam. Disebabkan tujuannya itu, kaum formalis terlibat aktif dalam politik praktis. Oleh karena itu, Islam formalis lebih dikenal dengan Islam politik.
Berkebalikan dengan kaum formalis, kelompok substantif ingin memperjuangkan nilai-nilai Islam dalam kehidupan bangsa, tanpa harus secara formal dicantumkan dalam konstitusi atau dalam undang-undang. Kelompok substantif berpendapat bahwa substansi dari nilai-nilai universal dalam ajaran Islam jauh lebih penting daripada formalitas dan simbolisme keberagamaan serta ketaatan yang bersifat literal kepada teks Al-Quran maupun Sunnah. Lebih memilih jalan-jalan kultural dalam memperjuangkan Islam, Islam substantive juga dikenal dengan Islam kultural.
Madinah Bukan Negara Islam (Islamic State)
Hijrah Nabi Saw ke Yatsrib (Madinah) sering kali dijadikan basis rasional bagi kelompok Islam politik bahwa Islam harus digunakan untuk berpolitik atau mencapai kekuasaan. Tapi, Nurcholish Madjid memiliki pemikiran yang berbeda. Baginya hijrah Nabi Saw ke Madinah bukanlah pembentukan masyarakat homogen Muslim dengan hukum Islam yang eksklusif. Tetapi, pembentukan masyarakat yang heterogen dengan tata hukum yang manusiawi, dalam arti tidak sakral.
Menurut Nurcholish, ide pokok eksperimen Madinah oleh Nabi ialah suatu tatanan sosial-politik yang diperintah tidak oleh kemauan pribadi, melainkan secara bersama-sama; tidak oleh prinsip-prinsip ad hoc yang dapat berubah-ubah sejalan dengan kehendak pemimpin, melainkan oleh prinsip-prinsip yang dilembagakan dalam dokumen kesepakatan dasar semua anggota masyarakat, yaitu sebuah konstitusi (Piagam Madinah).
Salah satu sahabat Nabi yang dirujuk Nurcholish adalah Sayyidina Ali ibn Abi Thalib. Ia dirujuk sebagai orang yang mengeluarkan adagium popular di kalangan ulama mengenai asas pemerintahan yang berkeadilan. Adagium Ali tersebut berbunyi:
“Allah menegakkan negara yang adil sekalipun kafir, dan tidak menegakkan negara yang zalim sekalipun Islam, dan Dunia akan bertahan dengan keadilan bersama kekafiran, dan tidak bertahan dengan kezaliman bersama Islam.”
Sehingga yang terpenting adalah lahirnya keadilan yang mampu melahirkan suatu negara yang baik. Bukan simbolisme-simbolisme Islam, atau gestur-gestur Islam. Pun, bukan dengan penonjolan identitas-identitas Islam yang terkesan eksklusif. Bisa jadi negara yang secara kemasan Islami, malah tidak menarapkan nilai-nilai Islam. Sebaliknya, negara yang secara kemasan tidak memakai atribut Islam justru menerapkan nilai-nilai Islam. Tentu saja pilihan kedua lebih banyak maslahatnya dan tentu lebih sesuai dengan nilai-nilai Islam.
Mengapa Islam Politik Kurang Sesuai
Jika melihat karakter bangsa Indonesia yang sejak dahulu sangat heterogen, Islam politik dirasa kurang cocok, dan tidak bijaksana. Penonjolan pada identitas Islam akan membuat seolah-olah Islam dan umat Islam bersifat eksklusif dan hendak mementingkan kelompoknya sendiri. Ditambah lagi meskipun menjadi agama mayoritas, tidak semua umat Islam di Indonesia memiliki komitmen yang tinggi pada jenis Islam yang semacam itu. Dibuktikan oleh banyaknya orang-orang Islam yang lebih memilih partai-partai sekuler, daripada partai-partai Islam.
Memaksakan dominasi Islam di ranah politik praktis terkesan seperti memaksakan kehendak satu golongan, di tengah begitu banyak golongan yang lain yang sama-sama hidup dan tinggal di Indonesia.
Selain itu Islam politik cenderung menjerumuskan umat untuk menyakralkan institusi-institusi tertentu. Entah itu parpol atau ormas, sehingga seolah-olah ketika di Pileg, Pemilu, atau Pilkada tidak memilih calon yang berasal dari partai Islam seolah tidak Islami. Ketaatan yang harusnya pada Allah dan Rasulnya, disederhanakan menjadi ketaatan pada institusi-institusi tertentu yang sejatinya belum tentu menjadi representasi Islam.
Tugas kita sebagai umat mayoritas adalah memberikan keteladanan dalam berpolitik. Sudah bukan saatnya lagi, dengan arogan, meminta pengakuan dan pengistimewaan lebih hanya karena kita memiliki kuantitas yang lebih banyak. Andaikan pun ingin menerapkan ajaran Islam, bisa terlebih dahulu dicari nilai universal, rasion de’etre dari ajaran tersebut untuk diperjuangkan di parlemen atau ruang-ruang politik lainnya. Meminjam dari Kuntowijoyo yaitu objektivikasi ajaran Islam.
Jalan-jalan kultural nampaknya menjadi jalan yang lebih ideal untuk memperjuangkan nilai-nilai Islam di kalangan akar rumput masyarakat Indonesia. Ketimbang para tokoh-tokoh Islam berjuang mati-matian di pucuk kekuasaan, yang belum tentu menghadirkan manfaat bagi umat. Lebih baik menghidupkan perjuangan dakwah di tengah masyarakat secara intensif, entah lewat kesenian, budaya, sosial-kemanusiaan, pendidikan, intelektual dan aspek-aspek kehidupan masyarakat yang lainnya.
Allahu a’lam bi al-shawab