Memang cukup tricky memahami konsep Islamisasi jika sudah melekat di masyarakat. Sebab, muncul beragam definisi Islamisasi yang terkadang mendiskreditkan maknanya. Sebenarnya, proses Islamisasi di Indonesia melalui berbagai cara dan yang paling menonjol akhir-akhir ini yaitu adanya pengaruh terhadap paham konservatif, ajaran Islam hitam dan putih. Dengan adanya ajaran tersebut, muncul kelompok yang memiliki paham ekstremis dan mereka berusaha untuk mengislamkan Indonesia sampai muncul ide untuk mendirikan negara Islam.
Tidak hanya itu, mereka juga membentuk suatu komunitas yang merangkul anak muda sampai membentuk Lembaga Pendidikan untuk memberikan pengajaran yang sesuai dengan Al-Qur’an dan Hadis. Tidak jarang, kelompok tersebut secara tidak langsung memberikan doktrin ajaran Islam yang benar dan salah sehingga pengikutnya juga turut menyebarkan dengan mengacu hadis, ‘sampaikan dariku walau hanya satu ayat’.
Ide Islamisasi Ilmu Pengetahuan
Meskipun begitu, memang tidak ada salahnya jika konsep Islamisasi di masyarakat menganut paham konservatif. Ide soal Islamisasi itu dimulai oleh sarjana Malaysia, Syed Muhammad Naquib al-Attas pada tahun 1978. Pada saat itu, ide Islamisasi digunakan untuk menghapus pengaruh ilmu Barat yang tersebar pasca kolonisasi.
Menurut al-Attas, Islamisasi ilmu pengetahuan yaitu pembebasan manusia dari kepercayaan-kepercayaan yang bersifat magis, mitos, animistic, dan tradisi dan dari control sekuler atas pemikiran dan bahasanya. Ada dua tahapan Islamisasi, yaitu pertama dengan mengisolasi segala unsur dan konsep Barat yang terdapat dalam ilmu pengetahuan, kedua memasukkan unsur dan kunci Islam ke dalam ilmu tersebut. Konsep Islam yang dimaksud meliputi manusia (insan), agama (din), pengetahuan (‘ilm dan ma’rifah), kebijaksanaan (hikmah), keadilan (‘adl), etika (‘amal-adab), dan juga konsep universitas (kulliyah jami’ah).
Selain al-Attas, enam dekade lalu Ismail Raji al-Faruqi juga menggagas konsep Islamisasi Ilmu yang didefinisikan sebagai Islamisasi disiplin ilmu di perguruan tinggi dengan menyusun kembali disiplin ilmu modern dalam wawasan Islam. Hal itu dilakukan setelah melakukan kajian kritis terhadap kedua sistem ilmu pengetahuan, Islam dan Barat. Perlunya Islamisasi Ilmu diperkuat dengan adanya Orientalisme yang gagal menggambarkan realitas kehidupan di Timur, salah satunya adalah kehidupan di negara-negara mayoritas Muslim. Hegemoni Eurosentris dapat dilihat dari bagaimana para orientalis membentuk asumsi kemunduran Islam dengan mengatakan bahwa kemunduran itu disebabkan oleh pengetahuan Islam itu sendiri. Padahal, anggapan tersebut tidak selalu benar karena Islam memiliki pengetahuan yang lengkap tentang kehidupan manusia.
***
Setelah gagasan Islamisasi sains muncul, banyak perdebatan tentang bagaimana penerapannya dalam ranah ilmu sosial akan berdampak pada politik suatu negara. Sebenarnya konsep teori sosial yang digunakan Barat adalah untuk mencapai weltanschauung atau universalitas. Namun, ada sejumlah kritik bahwa teori ini tidak bisa menjawab persoalan di lingkungan Islam. Misalnya, budaya Barat melegalkan seks sementara Islam melarangnya. Jadi, para cendekiawan Muslim berpendapat bahwa Islamisasi diperlukan untuk mengatasi masalah-masalah tersebut.
Abdul Rashid Moten (1996) mengatakan bahwa dasar politik adalah etika dalam membuat peraturan. Ia mengacu pada teori Ibnu Khaldun yang menggunakan contoh dalam ayat Al-Mulk untuk melihat praktik politik di era Khulafaur-Rasyidin. Ilmu politik Islam menggunakan contoh Madinah sebagai contoh kehidupan politik yang baik. Jadi, secara tidak langsung Islamisasi ini menitikberatkan pada pembentukan moral masyarakat yang sesuai dengan ajaran Islam.
Hal ini juga sejalan dengan apa yang dikatakan Syed Farid Alatas (1996) bahwa jika konsep al-Qur’an digunakan dalam ilmu-ilmu sosial, maka konsep tersebut tidak dapat dilihat sebagai konsep abstrak melainkan konsep konkrit yang dapat membentuk sejarah dan masyarakat. Namun, ada dua asumsi besar dalam konsep Islamisasi, yaitu (1) ilmu sosial Islam hanya berlaku untuk masyarakat Muslim dan (2) ilmu sosial Islam menolak pemahaman diri dari peradaban lain. Lantas, sejauh mana negara-negara mayoritas Muslim mengadopsi konsep ini dalam membangun negaranya?
Proses Islamisasi di Indonesia
Dalam konteks Islamisasi di Indonesia, Martin Van Bruinessen (2018) membedakan antara Arabisasi, westernisasi, dan indigenisasi. Arabisasi di Indonesia muncul pasca Orde Baru dengan adanya gerakan-gerakan yang berbasis di Timur Tengah, seperti Ikhwanul Muslimin, Hizbut Tahrir, dan berbagai kelompok Salafi. Anggota komunitas Arab Indonesia telah menjadi tokoh penting di antara para pemimpin organisasi radikal, seperti Laskar Jihad dan Jemaah Islamiyah. Mereka bertugas mengoreksi praktik dan keyakinan umat Islam Indonesia dengan slogan ‘kembali ke Al-Qur’an dan Hadits’. Arabisasi ini sangat mirip dengan apa yang didefinisikan oleh Syed Muhammad Naquib Alatas yaitu membersihkan segala unsur yang tidak ada dalam ajaran Islam.
Selain Islamisasi yang mengadopsi praktik budaya Arab, di Indonesia juga terdapat gerakan Islam yang melakukan westernisasi. Mereka cenderung lebih inklusif terhadap pemikiran Barat dan menentang Islam yang tidak murni oleh mereka yang mempertahankan budaya Arab. Sebagian besar tokoh yang menggagas pemikiran ini bersekolah di Belanda, Amerika Utara, Eropa Barat, atau Australia. Mereka menyerukan sekularisme, liberalisme, dan pluralisme untuk mengembangkan wacana Muslim yang kompatibel dengan modernitas, demokrasi liberal, kesetaraan gender, hubungan antar-agama yang harmonis, dan rasionalisme.
Berbeda dengan Arabisasi dan Westernisasi, gerakan indigenisasi Islam yang digagas oleh Abdurrahman Wahid lebih melekat pada aspek lokal dimana proses Islamisasi tidak menghapus budaya yang ada, tetapi menghubungkannya. Pribumisasi ini menurut saya bisa membawa isu Islamisasi ke hal yang positif. Sebab, Islam bukanlah agama pertama di Indonesia, melainkan Hindu dan Budha. Pemuka agama pada waktu itu tidak memaksa orang untuk pindah agama. Mereka menyerukan Islam dengan menggunakan budaya lokal, seperti wayang. Salah satu tokoh agama yang terkenal pada masa itu adalah Wali Songo. Islamisasi yang kental ini berujung pada perkawinan budaya antara Islam dan Hindu.
***
Dalam pemahaman saya, apa yang dibahas oleh Syed Husein Alatas (2006) tentang otonomi ilmu juga sejalan dengan teori pribumisasi Islam. Menurutnya, konsep universal sosiologi dapat menjadi landasan dasar disiplin ilmu yang terdapat di semua masyarakat. Yang kurang dalam teori Barat adalah tradisi ilmu sosial yang otonom yang dikembangkan oleh para sarjana lokal dengan pilihan masalah di masyarakat. Misalnya, bagaimana kretek yang merupakan budaya Indonesia dapat dijadikan otonomi keilmuan yang menggunakan konsep universal dan dapat disamakan dengan rokok pada umumnya? Jadi, meskipun pribumisasi Islam menggunakan budaya lokal, namun esensi Islam tidak hilang dan tetap sesuai dengan ajarannya.
Mengambil saran dari dosen saya, Sharifah Munirah Alatas bahwa sebenarnya kita tidak harus menolak konsep Barat secara mentah-mentah, karena bagaimana pun masih ada hal baik yang bisa kita pelajari. Bahkan, jika dipelajari secara mendalam banyak konsep Islam yang sesuai dengan ilmu Barat. Salah satunya yaitu konsep demokrasi yang selama ini banyak ditentang oleh kelompok konservatif. Maka, bukan konsep Barat yang salah, tetapi bagaimana cara kita memandangnya dari sudut yang humanis.
Editor: Soleh