Berawal di permulaan Masehi. Kawasan bagian barat Nusantara adalah tempat para penguasa agar budaya istana yang bermadzhab India mendapat timbal balik keuntungan dari pedagang asing. Dikarenakan, Asia Tenggara berada di tengah riuhnya dua zona perdagangan kuno. Pertama meliputi Samudra Hindia. Sisanya, merangkul Laut Tiongkok Selatan.
Aneka ragam laporan berbasis bahasa Arab, juga ikut andil merengut rute pelayaran dari Teluk Persia menuju pelabuhan-pelabuhan di Tiongkok Selatan, yang bertumpu di Selat Malaka. Para pelayar menunggu peralihan angin monsun, yang bertujuan membawa arah kapal agar kembali ke negaranya. Konfrontasi pedagang pasti memasok rempah-rempah, dsb.
Muslim Pertama di Nusantara
Meski terdapat petunjuk perihal kalangan Muslim awal yang sudah menetap di Nusantara, yang jelas berbagai pelabuhan dilingkar Selat Malaka saling bersikukuh dengan membayar upeti pada Kerajaan Sriwijaya. Pusat utama yang berada di sekitar bandar Sumatra Timur, pemuka Sriwijaya mengusung prinsip Buddhisme Mahayana.
Mereka menyampaikan sebuah misi ke Tiongkok lewat Guangzhou dan diteruskan Quanzhou – organisasi yang diciptakan pemerintah Dinasti Tag (618-907). Laporan dari Arab berkata, Quanzhou yang menjadi akhir tujuan Zaytun, ini sekedar menyadari eksistensi Sriwijaya secara transparan dan hanya “Maharaja” yang menangkal pulau di kawasan bernama “Zabaj”.
Sementara hal eksplisit yang tentu misterius adalah background orang muslim pertama yang mapan di Asia Tenggara. Karena, Islamisasi kala itu semakin berangsung-angsur, yang kerap menyesuaikan diri. Marco Polo dalam penelitiannya perihal Sumatra, menyelaraskan komunitas Muslim baru yang didirikan pedagang “Moor” di Perlak.
Batu nisan muslim bersejarah kala itu, dipajang dengan nama “Malik al-Salih”, yang masuk dalam rentetan penguasa sezaman di Samudra Pasai. Tapi, komunitas lain menyodorkan bukti yang lebih awal jauh ke barat di Lamreh – sebuah tempat pemakaman yang telah tenggelam. Yang maknanya, menunjukkan relasi eksistensial antara India dan Tiongkok.
Pengakuan al-Yafi’i
Pada abad ketiga belas, pedagang rempah Aden – di Yaman, akhirnya mengakui keberadaan orang-orang Muslim yang menduduki suatu wilayah yang sekarang disebut “Jawa”. Masuk di abad keempat belas, penguasa Samudra Pasai bersaing dengan penguasa Benggala demi memperebutkan hak nama agar disebut dalam khutbah Jum’at di Calicut.
Kedua belah tersebut kerap kali berjumpa dengan sesama Muslim berkebangsaan India, Persia, dan Arab. Melainkan, refrensi tentang Jawa Islam, muncul dalam berbagai tulisan seorang mistikus kelahiran Aden, ‘Abdallah b. As’ad al-Yafi’i (1298-1367) – yang mengabdikan dirinya untuk menulis apa pun keajaiban ‘Abd al-Qadir al-Jilani (1077-1166).
Dikenal dengan tarekat, di masa al-Yafi’i persaudaraan-persaudaraan – terutama antara Muslim berkebangsaan India, Persia, dan Arab ini telah tumbuh menjadi sebuah kelompok yang langsung dibimbing oleh guru atau syekh. Diinisiasi lebih khusus, dengan mengklaim posisi mengakar pada mata rantai silsilah para guru hingga Nabi.
Menulis dalam abad keempat belas, al-Yafi’i mengenang bahwa sebagai pemuda di Aden, sepeninggalnya ia mengenal seorang laki-laki yang cukup cakap dalam komunikasi mistis – seperti tarekat yang memberi pengajaran teknik mengenal Tuhan. Bahkan, laki-laki tersebut membaiatnya ke lingkup Qadariyyah. Laki-laki tersebut dikenal Mas’ud al-Jawi.
Nampaknya ini relevan perihal hubungan antara perdagangan dan Islamisasi ke bumi Nusantara di tangan para syekh tarekat. Maka dari itu, meski karya al-Yafi’i memainkan peran dalam penyebaran kisah-kisah ‘Abd al-Qadir al-Jilani di Asia Tenggara, tidak ada ingatan lokal tentang proses ini. Jika memang terjadi di Sumatra dengan kasus yang sama seperti di Aden.
Refrensi:
Michael Laffan, Sejarah Islam di Nusantara – Penerjemah: Indi Aunullah dan Rini Nurul Badariah – Diterjemahkan dari The Makings of Indonesian Islam, Terbitan Princeton University Press, 2011, (Yogyakarta: Bentang Pustaka, 2015), 2-5.
Editor: Yeni