Islam sebagai agama yang menjunjung tinggi ilmu pengetahuan dan peradaban, mengalami pasang surut kejayaan. Islam mengalami kejayaannya pada masa Bani Abbasiyah, khususnya pada masa khalifah al-Ma’mun. Kejayaan itu hanya bertahan sampai abad ke-14 M dan perlahan-lahan mengalami kemunduran di segala aspek kehidupan. Umat Muslim terbuai dengan romantisme masa lalu yang menyebabkan mereka tidak sadar ada peradaban lain yang lebih unggul dan maju.
Parahnya, abad ke-19 menjadi awal mula masa kelam Islam. Ide-ide dan pengaruh Barat kuat mencengkeram dimensi kehidupan umat Muslim. Mulai dari pendidikan, ekonomi, dan religiusitas. Ditambah terdapat kolonialisasi di tanah-tanah Islam seperti Mesir yang jatuh ke tangan Napoleon pada tahun 1789 M. Melihat kesewenang-wenangan Barat terhadap negeri-negeri Islam, para cendekiawan Muslim bangkit melawan dengan ilmu pengetahuan. Sebut saja salah satunya Ismai Raji al-Faruqi.
Mengenal Ismail Raji al-Faruqi
Al-Faruqi dilahirkan sebagai ilmuan Muslim terkemuka yang berkiprah di Barat. Ia juga mendirikan pusat pengkajian Islam di Temple University Philadelphia, AS. Ia lahir di Jaffa, sebuah daerah di Palestina. Ketika waktu itu, Palestina belum direbut oleh Israel. Dia dilahirkan pada tanggal 1 Januari 1921. Sebagai cendekiawan Muslim yang lahir di Palestina, ia salah satu orang yang menentang pendirian negara Zionis Israel. Bahkan hingga wafatnya, dia masih berpendapat negara Israel harus dirobohkan.
Faruqi kecil mendapatkan pendidikan yang berbeda dengan teman-teman sebanyanya. Pendidikan pertama ia dapatkan dari masjid dan kemudian ke sekolah biara. Dari masjid ke biara, perubahannya sangat besar dan jauh berbeda, tetapi hal tersebut yang membuat cara berpikir al-Faruqi terbuka memandang agama dan kebudayaan-kebudayaan yang berbeda. Dia melanjutkan pendidikan di American University sampai memperoleh gelar B.A (Bachelar of Arts) pada tahun 1941. Selanjutnya, dia menjadi pegawai pemerintahan dan diangkat menjadi gubernur di propinsi Gailee (Haris, 1998:2)
Al-Faruqi dikenal seagai intelektual yang produktif. Dia hampir menulis sebanyak seratus artikel. Semua ilmu pengetahuan dilahapnya, dari etika, seni, ekonomi, metafisika, politik, sosiologi, dan lain-lain. Yang kemudian disajikan dalam bentuk yang lebih komprhensif dan saling berhubungan. Pada tahun 1962, dia menerbitkan buku pertmanya On Arabism, Urbah and Religions: An Ananlysis of the Dominant Edeas of Arabism and of Islam as it’s Hight Moment of Conciousness. Dari semua karyanya yang diguratkan, ada gagasan yang khas dalam dirinya berupa integrasi keimuan.
Islamisasi Ilmu pengetahuan
Masuknya peradaban Barat dalam tubuh umat Islam, menyebabkan umat Muslim mengalami krisis mentalitas pada abad dewasa ini, karena mereka telah berkenalan dengan peradaban Barat yang bersifat sekuler. Tanpa mereka sadari, perkenalan mereka dengan peradaban Barat menghilangkan pijakan mereka yang kokoh berupa pedoman hidup yang bersumber dari moral agama. Krisis yang mereka alami akan berlarut-larut dan memperpuruk keadaan ketika itu dibiarkan begitu saja.
Dia melihat ilmu-ilmu sosial Barat masih memilki kelemahan dan metodologi. Maka, sudah seharusnya ilmu-ilmu tersebut diislamisasikan. Artinya, ilmu pengetahuan Barat harus diintegrasikan dengan ajaran-ajaran Islam. Bagi al-Faruqi, islamisasi pengetahuan merupakan langkah strategis dalam mengatasi kebodohan dan kelemahan, bahkan kemunduran umat Islam. Ini adalah solusi yang ditunggu-tunggu oleh umat Islam agar tidak terbuai dengan peradaban yang dibuat oleh Barat.
Bagi al-Faruqi terdapat 12 langkah yang diperlukan untuk mencapai islamisasi pengetahuan. Kedua belas langkah tersebut antara lain: penguasaan disiplin ilmu modern, survei disiplin ilmu, penguasaan khazanah Islam, penguasaan khazanah ilmiah Islam, penentuan relevansi Islam yang khas terhadap disiplin-dispilin ilmu, penilaian kritis terhadap disiplin ilmu modern, penilaian kritis terhadap disiplin ilmu Islam, survei permasalahan umat Islam, survei permaslahan umat manusia, analisa keratif, penuangan kembali disiplin ilmu modern ke dalam kerangka Islam, dan peneyebarluasan ilmu-ilmu (Ismail Raji al-Faruqi, 1984: 118).
***
Islamisasi ilmu ini memang tidak mudah, harus ada kerangka sistematik yang bekerja secara utuh satu kesatuan yang bersifat universal dan holistik. Bagi al-Faruqi ini satu-satunya jalan supaya umat Muslim tidak terbelenggu dalam wacana Barat yang bersifat sekuler, kering dan tidak disertai nilai-nilai religius yang itu bukan karakteristik epistemologi Islam. Gagasan islamisai ilmu ini perlu digalakan dalam dunia Islam melalui konferensi-konferensi, seminar-seminar dan lokakarya.
Al-Faruqi menegaskan, proses islamisasi ilmu pengetahuan harus menggunakan prinsip yang dijadikan pedoman hidup umat Islam. itu semua dibutuhkan dalam menuangkan kembali disiplin keilmuan di bawah kerangka Islam. Berati kerangka, metode, prinsip, dan tujuan-tujuan harus sesuai dengan: prinisp tauhid, keesaan alam semesta, kesatuan kebenaran dan kesatuan pengetahuan, kesatuan hidup, dan kesatuan umat manusia (Ismail Raji al-Faruqi, 1984: 55-97).
Kelima prinsip itu menjadi mutlak dan wajib dilaksanakan supaya islamiasasi ilmu pengetahuan berjalan susai dengan metodologi yang diperlukan umat Islam. Penerapan konsep islamisasi ini tentunya banyak menuai pro dan kontra dikalangan umat Muslim sendiri, terlebih mereka golongan ortodks Islam yang bersifat fatalis dan inkusif tidak mau menerima ilmu pengtetahuan yang bersifat kebaharuan. Namun di sisi yang lain, gagasan ini membawa angin segar bagi golongan cendekiawan Muslim yang sudah haus akan gagasan baru untuk membangunkan umat Islam dari romantisme masa silam.
Gagasan ini dibangun bukan berangkat dari titik nol, namun berangkat dari peradaban yang sudah ada dengan mengadakan inflitrasi nilai-nilai yang bersumber daru tauhid. Tak ayal, ide islamisasi ilmu pengetahuan tampaknya juga berpijak dari paradigma yang didasarkan pada pemahaman terhadap tauhid.
Editor: Yahya FR