Falsafah

Tajam Berlogika Apakah Otomatis Tumpul Berempati?

3 Mins read

Sejak era klasik hingga kontemporer, kiranya sudah menjadi fakta umum bahwa salah satu ciri manusia adalah makhluk rasional. Kemampuannya dalam mengatur sikap dan perilaku karena adanya akal budi menjadi suatu ciri khas yang tidak dimiliki oleh makhluk lainnya. Akan tetapi, bukan berarti akal budi itu sendiri yang membuat manusia jadi rasional, melainkan unsur yang ada di dalamnya, yaitu yang disebut dengan kemampuan berlogika.

Meski manusia dianggap sebagai makhluk rasional karena mampu berlogika, tapi tak sedikit juga yang menganggap kemampuan itu justru menjadikannya gagal sebagai manusia. Apa yang dimaksud di sini adalah ketidakmampuan berempati, yang akhirnya melahirkan istilah seperti dehumanisasi atau ketidakmampuan memanusiakan manusia, atau juga bisa diartikan lebih luas lagi, yaitu ketidakmampuan memakhlukkan makhluk yang lain. Seperti misalnya, merebut hak binatang menjalani rantai makanannya, ataupun merebut hak tumbuhan melestarikan ekosistem lingkungannya.

Kemampuan berlogika biasanya juga tidak lepas dari sebutan berpikir kritis, atau bisa dikatakan logika yang tajam dalam penggunaannya. Ketajaman berlogika inilah yang sering dianggap bertolak belakang dengan berempati. Seolah-olah, apa yang disebut berpikir kritis sebagai akibat dari ketajaman berlogika, juga mengakibatkan orang tidak mampu berempati. Namun, ketidakmampuan dalam berempati itu kiranya terlihat paradoks jika anggapan orang-orang adalah disebabkan ketajaman dalam berlogika. Karena bagaimana mungkin, fitrah yang menjadikan diri sebagai manusia justru menjadikannya gagal sebagai manusia?

Menanggapi hal semacam itu, lantas saya pergi pada andaian bahwa, sepertinya ada perbedaan antara rasio, logika, dan empati. Bahkan, tidak hanya berbeda, tetapi antara ketajaman berlogika dengan berempati itu sebenarnya perbedaan yang saling berhubungan. Pada tulisan ini, saya akan membedah persoalan itu dengan beberapa referensi yang pernah saya baca.

Baca Juga  Spat-Kapitalismus: Tertindas, tapi Tak Merasa Tertindas

Akal, Logika, dan Rasio

Sebelum mengarah pada keterkaitan antara logika dan empati, ada baiknya mengenal terlebih dahulu definisi dari unsur-unsur yang meliputinya. Pertama, tentu manusia tidak lepas dari akal sebagai fitrahnya. Pandangan Ibnu Rusyd kiranya cukup universal untuk menghadapi beragamnya definisi tentang akal. Menurutnya, akal ialah suatu alat di dalam diri manusia yang mampu mencari pengetahuan di samping memanfaatkan perasaan dan imajinasinya. Pengertian itu sesederhana mengandaikan akal sebagai ‘alat’ yang dipakai manusia untuk mencari pengetahuan.

Sedangkan logika, Hidanul Ichwan dalam bukunya berujudul “Logika Keilmuan” menjelaskan, bahwa logika adalah sistematika dan struktur yang membuat suatu penalaran atas sesuatu bisa masuk akal. Penjelasan seorang ahli tersebut terlihat jelas menunjukkan kalau akal sebagai alat, itu memproduksi suatu pengetahuan lewat penalaran, dan hasil penalaran yang masuk akal itu disebut dengan logika.

Namun, kadang kala ada kesalahpahaman yang sering terjadi karena menyamakan antara logika dengan rasional. Seakan-akan, kalau berlogika, artinya juga rasional. Padahal, keduanya mempunyai perbedaan yang signifikan. Kalau melihat berbagai aliran dalam filsafat, ada yang namanya rasionalisme, yaitu suatu aliran yang menganggap kebenaran hanya bisa didapat dengan logika dan analisis yang berdasarkan fakta. Artinya, rasional hanya mengandaikan kebenaran yang masuk akal pada objek fisik. Sementara logika sendiri tidak hanya menganggap kebenaran sebatas pada objek fisik. Dengan kata lain, rasional hanyalah salah satu produk dari logika.

Sebagai contoh, misalnya ketika ada orang curhat pada kita perkara diputus oleh pasangannya. Secara rasional, kita bisa menganggap orang yang curhat ini lebay. Sebab, mengapa sampai gelisah, kalau memang diputus, artinya orang itu sudah tidak mencintai, mengapa berusaha mencintai orang yang tidak mencintai balik.  Tapi, secara empati, kita akan menemukan logika yang berbeda; mencoba memahami bagaimana jika posisi kita sama seperti yang sedang dialaminya. Kedua penalaran itu sama-sama masuk akal, hanya saja bedanya kalau rasional berdasarkan realitas apa adanya, sedangkan empati berdasarkan realitas etis.

Baca Juga  Konsep Pengetahuan Universal Akal dalam Islam

Keterkaitan Logika dan Empati

Dalam dunia psikologi, pengertian empati secara terminologis adalah kemampuan menyelaraskan diri terhadap apa, bagaimana, dan latar belakang perasaan dari pikiran individu lain sebagaimana individu itu merasakan dan memikirkannya. Tentu kemampuan menyelaraskan diri itu membutuhkan suatu penalaran yang logis: Bagaimana akal mampu membuat suatu penalaran agar menghasilkan logika yang sama dengan orang yang sedang dipahami. Contoh paling sederhana, adalah aktivitas curhat. Orang ketika curhat, pasti dirinya ingin dipahami oleh yang dicurhati, entah itu dipahami dengan cara diberi solusi ataupun dengan hanya didengarkan saja. Kedua pemahaman itu jelas membutuhkan kemampuan berlogika.

Ada salah satu buku yang mempunyai penjelasan serupa dengan itu. Dalam buku “Seni Memahami” karya F Budi Hardiman, menjelaskan pemikiran hermeneutik dari Schleiermacher, bahwa ketika berbicara dengan seseorang, ada dua sisi yang bisa kita pahami, yaitu apa yang diucapkan dan mengapa orang itu mengucapkannya. Bagi Schleiermacher, memahami bukan sekadar memahami kata-kata, melainkan juga memahami dunia mental yang menghasilkan kata-kata itu sendiri. Oleh karenanya, untuk mendapatkan pemahaman yang utuh atas suatu ucapan/tulisan, haruslah menyatukan keduanya. Di titik ini, bisa disimpulkan bahwa empati pun membutuhkan ketajaman berlogika.

Dari pembahasan awal tadi, saya pikir kita sudah sepakat kalau logika merupakan hasil dari penalaran atas sesuatu yang masuk akal. Demikian juga keterkaitannya dengan empati, secara tidak langsung mengandaikan ada hal-hal yang harus masuk akal antar kedua individu atau lebih. Maka, anggapan bahwa ketajaman berlogika menghasilkan ketumpulan berempati, adalah suatu penalaran yang tidak logis. Justru kemampuan berempati sangat membutuhkan ketajaman berlogika. Hanya saja, mengapa ketajaman berlogika seolah-olah dianggap menghasilkan ketumpulan berempati, adalah karena anggapan itu berangkat dari pemahaman yang menyamakan logika dengan rasionalisasi.

Baca Juga  Bahagia ala Epictetus yang Perlu Kita Pelajari

Editor: Yahya FR

Achmad Fauzan Syaikhoni
14 posts

About author
Mahasiswa IAIN Kediri jurusan komunikasi dan penyiaran islam, tapi sedang bercita-cita menjadi filsuf. Bisa ditemui lewat ig: zann_sy
Articles
Related posts
Falsafah

Jacques Lacan: Identitas, Bahasa, dan Hasrat dalam Cinta

3 Mins read
Psikoanalisis merupakan suatu teori psikologi yang dikembangkan oleh Sigmund Freud pada abad ke-20. Teori ini berfokus untuk memahami dan menganalisis struktur psikis…
Falsafah

Melampaui Batas-batas Konvensional: Kisah Cinta Sartre dan Beauvoir

3 Mins read
Kisah cinta yang tak terlupakan seringkali terjalin di antara tokoh-tokoh yang menginspirasi. Begitu pula dengan kisah cinta yang menggugah antara dua titan…
Falsafah

Ashabiyah: Sistem Etika Politik ala Ibnu Khaldun

3 Mins read
Tema etika adalah salah satu topik filsafat Islam yang belum cukup dipelajari. Kajian etika saat ini hanya berfokus pada etika individu dan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *