Isu kiamat akhir-akhir ini muncul dalam bingkai fenomena post-truth, padahal kita dalam keadaan berpuasa Ramadan. Bagi yang beragama Islam pasti mengetahui, bahwa berpuasa bukan sekedar perkara menahan lapar dan dahaga. Melainkan juga soal kemampuan untuk “menahan diri”.
Jika ada yang berhasil tak makan dan tak minum serta tidak berhubungan seks dari subuh hingga maghrib lalu lidahnya berdusta, maka secara fiqh puasanya sah. Tapi puasanya tak memberikan bekas apa-apa pada ke-diri-annya.
Atau seperti yang diucapkan oleh para alim ulama dalam pengajian-pengajian Ramadan (yang kali ini hampir semuanya dilakukan secara online), banyak orang yang sah puasanya, tapi tidak mendapatkan pahala apa-apa.
Isu Kiamat
Berbicara soal dusta, maka kini perkaranya tidaklah gampang. Bayangkan jika ada figur yang dikenal sebagai ustadz, berjidat hitam lalu memakai simbol-simbol keagamaan (peci, baju koko disertai celana ngatung), mengatakan kepada para jamaah pengajian bahwa UFO adalah mata-mata Dajjal, lalu disiarkan secara luas melalui media sosial.
Figur yang juga kerap melontarkan isu kiamat tersebut tidak pernah menjadi tenaga ahli astronomi pada lembaga astronomi/antariksa di negara apapun (tak usah NASA, minimal di LAPAN lah). Tidak pernah menjadi anggota atau staf di lembaga intelejen terkenal. Juga tidak pernah menjadi pejabat negara yang mempunyai akses ke data-data rahasia lembaga astronomi-antariksa manapun.
Tapi apa boleh buat karena dia oleh sebagian orang dianggap sebagai figur otoritatif. Perkataannya bahwa UFO adalah mata-mata Dajjal pun di percaya oleh sebagian jamaah.
Soal UFO, ini sebenarnya bukanlah barang baru, dan hampir menjadi semacam obsesi beberapa pengikut agama-agama besar. Carl Sagan dalam The Demon-Haunted Worlds (1996) dengan apik menulis tentang fenomena di mana sebahagian penganut agama Kristen (terutama dari kalangan fundamentalis) di Amerika, punya kepercayaan bahwa UFO adalah perwujudan setan. Bahkan kepercayaan ini banyak diulas secara serius terutama yang diterbitkan secara berkala dalam “The Christian News Encyclopedia”.
Dalam sebuah buletin yang bernama “Cosmic Awreness Communication” tahun 1993 dituliskan bahwa UFO menganggap manusia sebagai spesimen laboratorium. Mereka ingin agar kita memuja mereka tapi akan lari jika mendengarkan lantunan “Doa Bapa Kami”.
Empat Jenis Kebohongan
Mungkin ini bisa dikatakan sebagai pseudo-sains, semacam hasil persilangan yang aneh antara pengetahuan sains yang tak tuntas dengan cara beragama yang begitu literal. Atau semacam upaya dari pihak-pihak tertentu untuk memasarkan dirinya sebagai figur atau untuk menarik pengikut-pengikut baru, dengan menggunakan terma-terma yang terdengar saintifik.
Mungkin juga ini adalah upaya untuk memupuk keimanan akan Tuhan dengan cara menampilkan yang menjadi lawan-Nya, dengan berkata, “Lihatlah musuh Tuhan yang keji (dajjal, setan, iblis, ya’juj dan ma’juj) menjadi ancaman kasat mata bagi kalian, itu karena iman kalian kepada-Nya semakin pudar”.
Tapi bukankah ini adalah teror? yang menebar agama dengan ketakutan? Dan yakin saja dalam setiap teror senantiasa ada informasi yang dilebih-lebihkan alias dusta. Bukankah dalam agama (khususnya Islam) prinsip “rahman wa rahim” adalah yang utama, dimana dalam hal memeluk agama ditegakkan prinsip “laa ikraha fiddiin” (tidak ada paksaan dalam agama).
Mc-Intyre pernah menuliskan empat jenis kebohongan (dusta). Pertama, kebohongan yang dilakukan secara terdesak, dalam rangka menutupi kesalahan yang telah dilakukan.
Kedua, “ketidaktahuan yang sengaja disebarkan”. Maksudnya seseorang tahu bahwa dirinya tak begitu tahu dengan persis sebuah persoalan lalu dia tetap menyebar komentarnya/opininya yang beradasrkan ketidaktahuan tadi. Ataupun senagaja tak memberi konfirmasi bahwa komentar/opininya adalah sesuatu yang didasarkan pada referensi/informasi yang sangat minim.
Ketiga berbohong karena ingin menipu. Dengan cara menebar informasi palsu ataupun interpretasi salah atas sebuah kejadian. Keempat, kebohongan yang disertai delusi.
Jenis pertama kebohongan (dusta) dari klasifikasi Mc-Intyre, tak akan menjadi hitungan kita. Tapi yang kita hitung adalah para influencer atau figur dengan followers besar di media mengatakan sesuatu yang dia pun sebenarnya tidak punya pengetahuan memadai tentang hal tersebut. Figur yang saya ceritakan di awal (yang berceramah soal UFO), baru-baru ini kembali viral karena berceramah tentang isu kiamat yang akan datang di tanggal 15 Ramadhan.
Sumber rujukannya sehingga berkesimpulan demikian, adalah sebuah hadis yang dikenal sebagai hadits “ad-dukhan” (yang soal kesahihannya diperdebatkan oleh banyak alim ulama, bahkan tidak sedikit yang mengatakannya hadits palsu). Informasinya pun diklaim berasal dari lembaga astronomi ternama. Sebelum akhirnya LAPAN pun membantah, bahwa objek astronomis yang mendekati bumi di 15 Ramadan tidak akan bertabrakan dengan bumi.
Fenomena Post-Truth dalam Pandemi
Ceramah mengenai isu kiamat itu akan melahirkan problem. Pertama, ceramah tersebut disampaikan oleh orang yang dianggap memiliki otoritas keagamaan (minimal oleh para jamaah pengajiannya) dan memiliki popularitas di media sosial. Sehingga yang mendengarkannya kemungkinan akan sulit (atau tidak ingin) melakukan konfirmasi alias gampang percaya. Apalagi memeriksanya dengan pisau skeptisisme saintifik.
Kedua, ceramahnya disampaikan dalam situasi Post-Truth. Sebagian besar netizen menyukai dan membagikan konten medsos bukan beradasarkan “benar-tidaknya” konten, tetapi beradasarkan “selera dan sensasi”. Jadi bukan soal apakah ceramah tersebut sudah benar dalam menjelaskan objek-objek astronomis. Tetapi sejauh manakah penjelasannya sesuai dengan “apa yang ingin kita dengarkan”.
Ketiga, ceramah tersebut viral di saat dunia sedang mengahadapi pandemi global. Hal tersebut secara psikologis akan menebar rasa pesimis ke publik. Bahkan bisa saja memicu tabrakan antara yang ingin menjalankan ibadah agama seperti dalam situasi normal (terutama yang percaya dengan ceramah tersebut, dan berusaha mempersiapkan diri dengan ibadah-ibadah secara berjamaah di rumah ibadah) dengan protokol kesehatan yang coba diterapkan.
Kepercayaan akan hari kiamat adalah hal pokok dalam agama (terutama Islam), bahkan merupakan salah satu pilar keimanan. Tapi bagi saya kepercayaan akan hari akhir substansinya untuk menumbuhkan kesadaran kaum beragama bahwa “setiap perbuatan akan ada konsekuensinya dan menuntut pertanggungjawaban, sekecil apapun”. Sehingga kita senantiasa “mawas diri” dalam mengambil keputusan atau melakukan sesuatu. Bukan justru untuk memicu rasa panik dan pesimis.
Maka dari itu sungguh bijak jika kita senantiasa menahan diri agar tidak memprovokasi publik, sekaligus menahan diri dari rasa panik dan pesimis.
Editor: Nabhan