Penafsiran merupakan satu instrumen penting yang patut diimplementasikan dengan baik di era sekarang. Kompleksitas ilmu pengetahuan, telah memenuhi peradaban yang semakin maju dengan teknologi-teknologi mutakhirnya.
Edward Said, seorang intelek muslim, memberikan penjelasan bahwa upaya penafsiran harus mampu memenuhi kapasitas intelektual yang berkembang di masa tersebut. Karena hal itu berdampak pada kualitas produk tafsir yang mampu merekonstruksi pemahaman klasik yang sudah mulai sirna di era modern (Edward M. Said, Covering Islam, 83).
Biografi
J.J.G. Jansen, atau yang nama lengkapnya Juliaan Gijsbert Jansen, merupkaan salah seorang tokoh intelektual keturunan Belanda sekaligus sarjana muslim yang bergerak dalam bidang politik dan hermeneutika. Ia lebih terkenal dengan sebutan nama Hans Jansen. Ia lahir pada tanggal 17 November dan merupakan putra dari seorang tokoh gereja ortodoks di Amsterdam Belanda.
Mulanya, ia menempuh pendidikan dalam bidang teologi, sebelum ia mencoba untuk bergabung dalam kajian bahasa Arab dan semiotika. Gelar pertama yang ia dapatkan dari bangku pendidikan adalah doktorandus dalam bidang pendidikan bahasa Arab di Universitas Leiden tahun 1972. Dengan bekal intelektualitas dalam bidang linguistik Arab, ia bekerja di Mesir sebagai Directur Dutch Institute di Kairo, Mesir.
Selanjutnya, ia diangkat menjadi asisten professor di Universitas Leiden dan Groningen. Karirnya semakin melejit setelah ia dilantik sebagai professor pemikiran Islam kontemporer di Uniersitas Utrecht pada tahun 2003-2018. Selain itu, ia merupakan salah satu kritikus yang konsen kepada pemikiran radikalisme Islam.
Tafsir dalam Pandangan Jansen
J.J.G. Jansen, merupakan salah satu tokoh orientalis Barat yang memberikan perhatian khusus kepada perkembangan penafsiran Al-Qur’an, khususnya di Mesir. Karyanya yang berjudul The Interpretation of the Quran in Modern Egypt, mewarnai pergejolakan tafsir di kancah intelektual Islam. Terdapat beberapa aspek yang menarik perhatian Jansen dalam menuliskan karyanya tersebut, antaar lain:
Pertama, Muhammad Abduh, seorang tokoh pembaharu Islam dari Mesir, yang telah melakukan rekonstruksi besar-besaran terhadap kajian Al-Qur’an
Kedua, menyimpan berbagai koleksi buku tafsir yang salah satunya ditulis oleh penafsir wanita, ‘Aisyah Abd al-Rahman dengan bukunya al-Tafsir al-Bayani li Al-Qur’a>n al-Kari>m.
Ketiga, ketertarikan terhadap gurunya, J. Brugman di Leiden, sekaligus menjadi pakar budaya dalam sastra Timur Tengah (Abu Bakar, Pemikiran Tafsir Modern J.J.G. Jansen, 4).
Sejatinya, Hans Jansen ingin menciptakan narasi deskriptif guna memberikan jawaban intelektual atas kekurangan-kekurangan yang terjadi di masa para pendahulunya. Buku yang ditulis Jansen menggambarkan gagasannya tersebut.
Dalam bab 1, Introductions: The Koran and Interpretation, dijelaskan oleh Jansen perihal historisitas tafsir secara komprehensif. Ia juga menjelaskan respon sarjana-sarjana Barat terhadap Islam. Untuk itu, keinginannya menemukan produk-produk baru dalam ranah tafsir sangat tinggi. Khususnya dalam hal-hal yang belum digagas oleh para pendahulunya.
Muhammad Abduh, sebagai peletak awal modernitas tafsir, menjadi perhatian utama Jansen dalam menelaah tafsir-tafsir yang ada. Selain itu, ia juga menggali tokoh-tokoh tafsir lain yang ia anggap memiliki relevansi dan sebanding dengan penafsiran Abduh.
Secara arugmentatif, Jansen memilih Muhammad Abduh sebagai objek kajiannya dengan alasan; Muhammad Abduh menitikberatkan aspek-aspek pragmatis dalam tafsirnya. Dalam artian, tafsir yang baik bagi Abduh adalah yang mampu memberikan bimbingan bagi masyarakat luas.
Jansen menilai, Muhammad Abduh memiliki kredibilitas tinggi dalam meletakkan pondasi-pondasi penafsiran di zaman modern. Abduh merekonsiliasi Al-Qur’an sesuai dengan maksud Tuhan dalam Al-Qur’an, yaitu sebagai “petunjuk.
Dengan demikian, sejatinya Al-Qur’an perlu diinterpretasikan sehingga memiliki nilai-nilai praktis di dalamnya. Hal tersebut dilatarbelakangi oleh perilaku masyarakat Mesir yang jauh dari nilai-nilai luhur.
Kritik Terhadap Tafsir Klasik
Jansen yang memfokuskan kajiannya terhadap tafsir modern ala Abduh, memberikan kritik keras terhadap para penafsir klasik yang mempertahankan corak tradisionalistik dalam prosesnya. Bagi Jansen, penafsir model klasik sudah tidak relevan dengan peradaban yang kompleks akan ilmu pengetahuan. Karena bagi Jansen sendiri, tafsir merupakan suatu usaha untuk mengadaptasikan teks Al-Qur’an dengan situasi yang berada di sekelilingnya (Ma’mun Mu’min, Sejarah Pemikiran Tafsir, 67-68).
Dalam karya tulisnya, Jansen menyebut nama Amin al-Khully sebagai tokoh Islam yang masih mempertahankan corak tradisionalistik. Disebutkan juga bahwa al-Khully menolak keras usaha sarjana muslim yang mencoba untuk memodernisasi ayat-ayat Al-Qur’an.
Sesuai dengan apa yang disampaikan Abduh, Jansen menegaskan bahwa usaha mempertahankan model penafsiran klasik tidak memuat nilai-nilai substansial di masa modern. Kebutuhan intelektual muslim di era modern lebih kompleks dibandingkan dengan era klasik.
Klasifikasi Tafsir Menurut Jansen
Hans Jansen yang konsen ke dalam bidang tafsir modern, memberikan sumbangsihnya terhadap konstruk tafsir secara metodologis dan gradual. Jansen mengklasifikasikan tafsir ke dalam tiga bentuk, antara lain:
Pertama, tafsir al-‘ilmi. Corak tafsir seperti ini mengakumulasi pengetahuan modern sebagai basisnya, selama tidak bertentangan dengan nilai-nilai Al-Qur’an. Sedangkan, dalam Al-Qur’an sendiri telah disampaikan bahwa setiap fenomena yang terjadi dan yang akan terjadi, sejatinya sudah termaktub dalam Al-Qur’an. Pokok pemikiran tafsir al-‘ilmi bisa dilacak pada tokoh seperti Muhammad Abduh, Tanthawi Jauhari, dan Sa’id Hawwa.
Kedua, tafsir filologis. Secara etimologi, filologi berarti the branch of knowledge that deals with the structure, historical development, and relationships of a language or languages. Tafsir model ini berorientasi kepada kemudahan pembaca dalam memahami Al-Qur’an, yaitu dengan penafsiran yang mendalam terhadap gramatikal bahasanya.
Ketiga, tafsir adaby wa ijtima’iy. Secara sederhana tafsir ini disebut juga dengan tafsir praktis. Tafsir ini muncul untuk menggugat pencapaian pemikiran tafsir klasik yang dianggap kurang mengakar pada problematika masyarakat. Corak tafsir ini ingin kembali memaknai makna Al-Qur’am sebagai hudan li al-Nas, yaitu menjadi problem soulver bagi berbagai problematika masyarakat.
Editor: Yahya FR