Tafsir

J.M.S Baljon: Tafsir Al-Qur’an Harus Bisa Digiring ke Corak Epistemologis Zaman

3 Mins read

Mungkin agak asing jika kita mendengar nama J.M.S Baljon dalam studi keislaman. Nama ini tidak terbilang baru, akan tetapi jika dibandingkan dengan tokoh lain seperti Muhammad Arkoun, Muhammad Abduh, dan lainnya, maka J.M.S Baljon tidak lebih masyhur daripada tokoh-tokoh tersebut.

J.M.S Baljon, merupakan seorang islamisis Belanda yang turut memberikan sumbangsihnya terhadap kajian keislaman. Khususnya, dalam ranah metodologis tafsir. selain itu, ia juga memberikan kritiknya terhadap gaya klasik para penafsir dalam menelaah Al-Qur’an. Untuk mengetahu lebih detail mengenai Baljon, kita simak penjelasan di bawah ini.

Biografi J.M.S Baljon

Johannes Marinus Simon adalah putra dari akuntan Simon Albertus Baljon, lahir 13 Januari 1836 di Rotterdam, dan mengakhiri hidupnya pada tanggal 2 April 1889 di tempat kelahirannya. Istrinya bernama Neeltje Dingena de Vries, tinggal di daerah yang sama, lahir pada 5 Juli 1839 di Breda dan meninggal 15 September 1882 di Rotterdam.

Ia memulai pendidikannya sejak kecil di daerahnya. Menginjak usia remaja, Baljon mengambil jurusan teologi di Universitas Utrecht pada 23 September 1879. Pada tanggal 14 Mei 1884, ia menerima gelar doktor di bawah Doedes dengan karya De tekst der brieven van Paulus aan de Romeinen, Corinthiërs en Galaten als voorwerp van de conjecturaalcritiek beschouwd (Teks surat-surat Paulus kepada jemaat di Roma, Korintus dan Galatia, sebagai subjek yang dianggap kritik yang dituduhkan). Karya tulisnya tersebut sekaligus menjadi disertasinya untuk mengambil gelar dokor.

Pada tanggal 3 Agustus 1884, ia menjadi pendeta di Nederhemert, Belanda dan pada tahun 1888 dalam penugasan yang sama, ia ditempatkan di Almelo. Pada tanggal 9 Oktober 1895, ia mengambil alih jabatan guru besar untuk ensiklopedia teologi, sastra Kristen, dan eksegesis. Yaitu suatu usaha untuk membawa keluar apa yang tersirat dalam al-Kitab (James D. Tabror, The Jesus Dinasty, xxv).

Baca Juga  Teori Relativitas Waktu Einstein dalam Kisah Ashabul Kahfi

Baljon juga ikut serta dalam tugas-tugas organisasi Universitas Utrecht dan menjadi rektor almamater pada tahun ajaran 1904. Ia juga diangkat menjadi Ksatria Singa Belanda. Ksatria Singa Belanda sendiri adalah suatu penghargaan bagi orang terkemuka di Belanda, seperti jenderal, menteri, wali kota, professor, dan ilmuwan.

J.M.S Baljon Menyikapi Corak Klasik

Pada abad modern ini, ilmu pengetahuan yang muncul semakin kompleks dan tertata secara sistematis. Arus pengetahuan yang begitu kuat tersebut memberikan dampak tersendiri bagi kepercayaan-kepercayaan transedental. Karena, dewasa ini, corak khas yang mewarnai pergulatan intelektual adalah kritis-rasional. Sehingga, masyarakat akan memberikan kepercayaan kepada sesuatu jika hal itu mampu dilegitimasi oleh akal (Ismail Marzuki, dkk, Filsafat Ilmu Pengetahuan, 79).

Bagi Baljon sendiri, tafsir harus mampu digiring ke dalam corak epistemologis zaman. Upaya menafsirkan secara historisitas waktu, sangatlah penting. Karena berdampak pada keautentikan dan kontekstualitas produk penafsiran. Bahkan, metode penafsiran yang menyesuaikan perkembangan zaman telah menjadi suatu keharusan sejak zaman Nabi Muhammad.

Setelah wafatnya Nabi, dan kekuasan berpindah tangan kepada empat khalifah, maka berubah pula kondisi sosial-budaya yang ada, sehingga butuh diadakannya penafsiran ulang. Tuntutan semacam ini lebih dirasakan, apalagi intensitas peradaban asing makin muncul (Irwanto, Kaidah Tafsir Kontemporer Dalam Studi Al-Qur’an Modern, 35-36)

Lebih spesifiknya, pada abad 18 dan 19, Islam mulai bergesekan dengan Eropa dan pada masa itu pula Islam mengalami kemunduran. Secara politis, umat Islam dijajah oleh Barat. Sedangkan yang tercermin saat itu adalah karakteristik Barat yang progresif dan Islam yang stagnan. Hal itu bagi Baljon merupakan satu hal ketidakwajaran. Seharusnya masyarakat Islam mampu memberikan perubahan signifikasn terhadap peradabannya. Di samping Barat yang semakin berkembang, Islam memilih untuk merepresentasikan nilai-nilai tradisionalnya yang sudah tidak relevan di era ini.

Baca Juga  Corak Tafsir Adabi Ijtima'i Menjawab Tantangan Zaman

Konstruksi Tafsir Modern Perspektif Baljon

Baljon berpendapat bahwa yang pertama kali meletakkan metode penafsiran modern di kalangan umat Islam adalah Shah Wali Allah (1703-1762 M). Karya-karya yang ditulis oleh Shah Wali Allah menunjukkan reaksi positif terhadap panggilan zaman.

Selain Shah Wali Allah, Baljon menyebutkan bahwa Ahmad Khan juga merupakan salah satu pelopor adanya tafsir modern. Ahmad Khan sendiri menurut silsilah berasal dari keturunan Husein, cucu Nabi Muhammad dari pernikahan Fatimah dan Ali (J.M.S Baljon, Modern Muslim Koran Interpretation, 3).

Baljon menukil argumentasi Ahmad Khan di bukunya. Isinya, yaitu bahwa umat Islam di India harus merubah pola kehidupannya yang lamban jika tidak ingin semakin terpuruk. Usaha yang diimpkementasikan Ahmad Khan di India saat itu adalah merombak kehidupan dalam tatanan sosial dan pola pendidikan, sebagaimana yang diterapkan oleh orang Barat.

Karena Ahmad Khan percaya, bahwa jika masyarakat India diperkenalkan dengan norma serta pengetahuan Barat, maka akan membentuk Islam versi baru yang sesuai dengan perkembangan masa kini.

Baljon memberikan sanjungannya terhadap karya Tanthawi Jauhari, dalam karyanya al-Jawahir fi Tafsir al-Qur’an. Baljon berpendapat bahwa tafsir semacam itu merupakan sebuah inovasi penafsiran yang mengaplikasikan pendekatan baru, yaitu tafsir al-‘Ilmi.

Hal itu akan memberi kesan bahwa Al-Qur’an tidak hanya melingkup hal-hal yang bersifat transendental, tapi juga mencakup temuan ilmiah. Serta, ilmu pengetahuan juga memiliki peran untuk mengeksplorasi segala keilmiahan yang terdapat dalam Al-Qur’an (J.M.S Baljon, Modern Muslim Koran Interpretation, 6).

Baljon memberikan konstruksi metodologis dalam menafsirkan Al-Qur’an, antara lain:

  1. Meminimalisir unsur-unsur supranatural dalam memahami teks Al-Qur’an.
  2. Mengosongkan teks dari hal-hal yang bersifat legenda atau yang masih berbau primitive.
  3. Tidak tergantung kepada karya-karya leksikal dalam memahami suatu ayat.
  4. Tidak memahami kosa kata Al-Qir’an secara harfiyah.
  5. Mengaitkan penafsiran dengan fenomena atau gejala yang berkembang pada masa sekarang (up to date).
Baca Juga  Teori Hudud dalam Penafsiran Alquran

Editor: Yahya

Mahfudhin
13 posts

About author
Mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Al-Quran dan Sains Al Ishlah Sendangagung Paciran Lamongan
Articles
Related posts
Tafsir

Tafsir at-Tanwir: Relasi Antar Umat Beragama

4 Mins read
Relasi antar umat beragama merupakan diskursus yang selalu menarik untuk dikaji. Khususnya di negara kita, hubungan antar umat beragama mengalami pasang surut….
Tafsir

Puasa itu Alamiah bagi Manusia: Menilik Kembali Kata Kutiba pada Surah Al-Baqarah 183

3 Mins read
Salah satu ayat yang amat ikonik tatkala Ramadhan tiba adalah Surah Al-Baqarah ayat 183. Kendati pernyataan itu terbilang asumtif, sebab saya pribadi…
Tafsir

Surah Al-Alaq Ayat 1-5: Perintah Tuhan untuk Membaca

2 Mins read
Dewasa ini, masyarakat Indonesia, khususnya umat Islam, tampaknya memiliki minat baca yang sangat rendah. Tidak mengherankan jika banyak orang terpengaruh oleh banyak…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *