Falsafah

Jacques Lacan: Identitas, Bahasa, dan Hasrat dalam Cinta

3 Mins read

Psikoanalisis merupakan suatu teori psikologi yang dikembangkan oleh Sigmund Freud pada abad ke-20. Teori ini berfokus untuk memahami dan menganalisis struktur psikis manusia yang terdiri dari Id (nafsu), Ego (akal sehat), dan Superego (norma moral). Di samping itu, teori ini menganalisis tentang hal-hal yang berhubungan dengan psikis manusia seperti konflik dan pertahanan, pengembangan psikoseksual, pikiran bawah sadar, transference, dan lain sebagainya.

Teori psikoanalisis Freud mulai dikembangkan oleh tokoh-tokoh selanjutnya, seperti oleh Carl Gustav Jung, Alfred Adler, Jacques Lacan dan lain-lain. Terlebih lagi dalam era kontemporer, teori psikoanalisis menjadi lebih menarik lagi ketika digagas oleh pakar psikiatri asal Prancis, yaitu Jacques Lacan. Beranjak dari pemikiran Hegel, Heidegger, Marx, dan Karl Jaspers, ia berhasil memformulasi gagasan psikoanalisisnya. Dengan pendekatan psikoanalisisnya, ia memiliki definisi tentang cinta yang terbilang sangat unik dan khas.

Sekilas Tentang Dasar Pemikiran Jacques Lacan

Jacques Lacan merupakan psikoanalis Prancis yang memberikan kontribusi yang signifikan dalam disiplin keilmuan filsafat dan psikologi. Ia menggabungkan gagasan dari Sigmund Freud dengan unsur-unsur strukturalisme, linguistik, dan filsafat. Dengan pendekatan tersebut, ia berhasil mengembangkan konsep psikoanalisisnya sendiri yang mencakup tiga tahapan perkembangan, yaitu realitas, simbolik, dan imajiner.

Selain tahapan perkembangan diri, ia juga mendefinisikan ulang subjek yang terdapat pada gagasanya tentang teori cermin. Mengikuti cara kerja cermin, ia menggambarkan bahwa diri sendiri adalah pantulan dari cahaya. Hal ini meniscayakan bahwa kita tidak bisa melihat diri kita sendiri tanpa adanya instrumen lainnya. Diri sendiri tidak pernah terbentuk secara natural dari dalam, melainkan terbentuk dari penunjukan orang lain.

Bagi Lacan, pernyataan bahwa “aku itu ada” adalah sebatas perasaan menjadi aku dan bersifat ilusif. Hal ini disebut oleh Lacan sebagai problem homunculus, suatu problem  yang merujuk pada kondisi seolah-olah terdapat manusia kecil dalam diri yang mengendalikan manusia. Oleh karena itu, sangat sulit bagi Lacan untuk menganggap bahwa diri sendiri adalah ada.

Baca Juga  Cinta Lebih Penting daripada Tahta

Ia mendefinisikan psikoanalisis sebagai “sains bicara” atau ilmu pengetahuan yang memungkinkan individu untuk menjelajahi dan memahami alam bawah sadar mereka melalui bahasa dan komunikasi. Dalam kerangka psikoanalisis, ia menekankan pentingnya bahasa dan simbol dalam membentuk pemahaman diri dan interaksi sosial. Dengan landasan tersebut, ia menyelidiki berbagai aspek cinta dalam kaitannya dengan identitas, bahasa, dan hasrat.

Cinta adalah Narsisme

Salah satu konsep kunci dalam pemikiran Lacan tentang cinta adalah narsisme. Narsisme adalah kecenderungan individu untuk mencintai dan mencari pemahaman tentang diri mereka sendiri. Dalam konteks cinta, Lacan menganggap bahwa cinta adalah bentuk narsisme yang lebih kompleks. Dengan kata lain, individu sering kali merefleksikan dan memvalidasi diri mereka dalam pasangan mereka.

Narsisme dalam cinta ini mencakup pandangan individu tentang diri mereka sendiri yang sering kali diperluas dan tercermin dalam hubungan mereka. Hal ini meniscayakan bahwa dalam hubungan cinta, individu sering mencari pasangan yang mencerminkan gambaran diri mereka, atau yang memvalidasi dan memenuhi kebutuhan narsistik mereka.

Dalam pandangan Lacan, cinta juga sering melibatkan perasaan ketidaklengkapan dalam diri individu. Ia berpendapat bahwa kita mencari dalam pasangan kita apa yang kita rasakan hilang dalam diri kita sendiri. Lacan menyebut ini sebagai “objet petit a” atau “objek yang hilang”. Dalam konteks cinta, objek ini adalah sesuatu yang kita percayai akan melengkapi kita dan memberikan rasa kesempurnaan.

Namun objek ini selalu berada di luar jangkauan kita dan tidak pernah sepenuhnya dapat ditemukan. Oleh karena itu, individu cenderung merasa tidak puas dan terus mencari “objek yang hilang” ini melalui hubungan cinta. Cinta menjadi sarana untuk memperbaiki atau mengisi perasaan ketidaklengkapan ini, meskipun sejatinya objek yang dicari tidak pernah dapat ditemukan.

Baca Juga  Maqashid Syariah dari Al-Ghazali ke Syamsul Anwar

Dalam konteks ini, cinta sering kali menciptakan hubungan ketergantungan di mana individu merasa bahwa pasangan mereka adalah “lainnya yang diperlukan” yang dapat melengkapi mereka. Hal ini juga menggambarkan bagaimana cinta sering berhubungan dengan rasa ketidaklengkapan dalam diri individu, yang menjadi salah satu dorongan utama dalam hubungan cinta.

Bahasa dan Hasrat dalam Cinta

Selain definisi bahwa cinta bersifat narsistik, ia juga membahas tentang peran bahasa dalam hubungan cinta. Lacan menganggap bahasa sebagai alat penting dalam menjalani hidup dan berkomunikasi dengan orang lain. Ia berpendapat bahwa cinta melibatkan penggunaan bahasa untuk menyampaikan hasrat dan keinginan. Pasangan berkomunikasi melalui bahasa untuk menyatakan cinta, merayu, atau berbicara tentang hubungan mereka.

Namun, Lacan juga mengingatkan bahwa bahasa memiliki sifat yang kompleks dan sering kali terdapat perbedaan antara apa yang ingin kita katakan dan apa yang kita sebenarnya sampaikan. Bahasa juga dapat menciptakan misinterpretasi yang dapat memengaruhi hubungan cinta. Dalam hal ini, Lacan ingin menunjukkan bahwa bahasa terkadang memiliki penting sekaligus menjadi sumber konflik dalam cinta.

Lebih jauh, Lacan juga membahas tentang hasrat sebagai konsep sentral dalam pemahaman cinta. Ia berpendapat bahwa hasrat adalah suatu dorongan yang tak pernah terpuaskan sepenuhnya dan merupakan inti dari pengalaman manusia. Hasrat dalam konteks cinta merujuk pada keinginan untuk mendapatkan kepuasan melalui hubungan cinta.

Namun, menurut Lacan, hasrat cinta selalu bersifat sementara dan tidak pernah benar-benar terpuaskan. Hal ini menciptakan dinamika ketegangan dalam hubungan cinta, karena pemuasan hasrat selalu diikuti oleh ketidakpuasan. Kondisi ketidakpuasan ini kemudian memicu siklus hasrat yang terus berlanjut.

Hasrat juga terkait dengan narsisme dan objek yang hilang. Individu akan mencari kepuasan dalam cinta untuk merasa lebih lengkap dan valid sebagai individu. Hasrat dalam cinta mencakup keinginan untuk menyatukan diri dengan objek yang dicintai sebagai cara untuk memperoleh kepuasan dan merasa lengkap.

Baca Juga  Homi K. Bhabha: Hibriditas, Mimikri, dan Ruang Ketiga

Penutup

Cinta dalam perspektif Jacques Lacan adalah fenomena yang kompleks yang melibatkan beberapa pemahaman seperti narsisme, ketidaklengkapan, bahasa, dan hasrat. Pemikiran Jacques Lacan membawa pemahaman baru tentang psikologi manusia dalam konteks hubungan cinta. Hasrat cinta, yang tidak pernah sepenuhnya terpuaskan, menjadi salah satu elemen penting dalam pandangan Lacan tentang cinta.

Editor: Soleh

Naufal Robbiqis Dwi Asta
13 posts

About author
Mahasiswa S1 Aqidah dan Filsafat Islam UIN Sunan Ampel Surabaya
Articles
Related posts
Falsafah

Tawaran Al-Jabiri Atas Pembacaan Turats

4 Mins read
Abed al-Jabiri adalah salah satu pemikir Islam yang paling dikenal di era modern. “Naqd al-Aql al-Arabi” atau proyek pemikiran “Kritik Nalar Arab”…
Falsafah

Deep Ecology: Gagasan Filsafat Ekologi Arne Naess

4 Mins read
Arne Naess adalah seorang filsuf Norwegia yang dikenal luas sebagai pencetus konsep “ekologi dalam” (deep ecology), sebuah pendekatan yang menggali akar permasalahan…
Falsafah

Sokrates: Guru Sejati adalah Diri Sendiri

3 Mins read
Dalam lanskap pendidikan filsafat, gagasan bahwa guru sejati adalah diri sendiri sangat sesuai dengan metode penyelidikan Sokrates, filsuf paling berpengaruh di zaman…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds