Oleh: Djarnawi Hadikusuma
Di Istambul, ibukota negara Turki, Jamaluddin mendapat sambutan yang menggembirakan dari ahli-ahli kenegaraan, khususnya Perdana Menteri Ali Pasya dan para terpelajar. Pada waktu itu, awal tahun 1870. Pemerintah Turki yang sadar sepenuhnya akan bahaya imperalisme Inggris itu memerlukan seorang pemimpin rakyat seperti Jamaluddin. Maka kepadanya diberikan kedudukan yang tinggi, yaitu anggota Dewan Pengajaran Kerajaan yang berpusat di Istambul.
Jabatan yang tinggi itu tidak mengendorkan kegiatan Jamaluddin memberi ceramah dan pidato-pidato yang menginsafkan kepada rakyat tentang ajaran Islam yang murni. Tentang jihad dan peningkatan ilmu dan amal untuk pembangunan negara dalam segala bidang. Demikian pula tentang bahaya imperalise Inggris terhadap negara-negara dan umat Islam.
Biasanya, apabila orang telah memperoleh jabatan yang tinggi, maka lupalah ia kepada cita-cita dan perjuangannya. Akan tetapi, tidak demikian halnya Jamaluddin. Ia masih tetap bergaul dan membimbing umat Islam di Istambul.
Namanya harum, disegani dan dicintai oleh rakyat Turki, khususnya di Istambul. Sebagai anggota Dewan, dia banyak merencanakan dan mengusulkan perbaikan serta pembaruan sistem pengajaran. Oleh karena itu, pengaruhnya tidak hanya besar pada kalangan pejabat pemerintah, tetapi juga pada rakyat. Hal ini menyebabkan Mufti Kerajaan Turki yang bernama Hasan Fahmi dan bergelar ”Syaikhul Islam” itu merasa iri hati.
Sebelum kehadiran Jamaluddin, fatwa Mufti ini selalu ditaati rakyat tanpa persoalan apa-apa, seolah-olah dia orang kedua setelah Sultan. Dengan fatwa-fatwa itu, dia menguasai rakyat. Tetapi, setelah datangnya Jamaluddin, maka rakyat mulai terbuka matanya dan lebih tertarik padanya, karena selain keterangannya jelas dan mudah dipahami.
Dia terbuka hatinya untuk menerima pertanyaan-pertanyaan yang dijawabnya dengan memuaskan. Kalau mereka mendengar ceramahnya, mereka merasa melihat sesuatu yang selama ini tersembunyi di balik tabir dan mendengar hal-hal yang baru. Kesemuanya itu memberikan titik terang dan harapan bagi masa depan mereka, bangsa, dan negaranya. Sikapnya yang ramah-tamah dan pandai bergaul serta bahasanya yang indah menyentuh-nyentuh jiwa semakin menambah hati mereka. Maka, berpadulah jiwa solidaritas yang tinggi.
Maka, dicarinya akal untuk memfitnah Jamaluddin antara lain dengan menyebarkan desas-desus bahwa sebenarnya Jamaluddin bukannya alim tetapi hanya sekedar pandai berbicara. Suatu ketika, Jamaluddin memberikan ceramah di mana diterangkannya perbedaan antara Nubuwwah dengan Falsafah di pusat kota Istambul.
Nubuwwah adalah wahyu Allah kepada para Nabi dan tidak mungkin salah, sedang Falsafah adalah ilmu hasil pemikiran manusia yang dapat keliru. Tetapi, oleh Syaikhul Islam itu dilancarkan berita bahwa Jamaluddin menyamakan Nubuwwah dengan Wahyu. Dengan demikian telah menyimpang dari ajaran agama. Mendengar itu, Jamaluddin menantang dia untuk berdebat, tetapi ditolaknya.
Pertikaian semakin berkobar dan Perdana Menteri terpaksa turun tangan. Sebenarnya, dia berada di pihak Jamaluddin. Akan tetapi, untuk menjaga martabat Syaikhul Islam dan demi keutuhan para pejabat, maka Jamaluddin dikalahkan. Dengan terharu dan hormat, dimintanya kepada Jamaluddin untuk meninggalkan Turki dan kelak apabila keadaan sudah berubah akan dipanggilnya kembali. Didorong oleh keikhlasannya, Jamaluddin tanpa ragu-ragu memenuhi permintaan itu dan sedikit pun tidak bertahan.
Demikianlah keadaan Jamaluddin, baru beberapa bulan menetap di Turki telah dicederai orang pula dan diusir dengan halus. Maka berangkatlah dia ke Tanah Suci untuk melaksanakan Haji. Pada waktu itu tahun 1287 H dan tepat akhir tahun 1870 M. Hatinya merasa tenang dan aman dalam beribadah itu, maka terkenanglah kepada muridnya, Muhammad Abduh. (Bersambung)
Sumber: buku Aliran Pembaharuan dalam Islam dari Jamaluddin Al-Afghani sampai KHA Dahlan karya Djarnawi Hadikusuma. Pemuatan kembali di www.ibtimes.id lewat penyuntingan
Editor: Arif