Tafsir

Jamaluddin Al-Afghani (9): Petualangan Intelektual dan Politik di Iran, Rusia, dan Jerman

5 Mins read

Oleh: Djarnawi Hadikusuma

Petualangan intelektual Jamaluddin Al-Afghani di Iran dimulai ketika Muhammad Syah wafat, pada bulan September 1848, lalu ia digantikan oleh putranya tertua, Nasiruddin. Pada waktu itu usianya masih 16 tahun. Selama pemerintahannya, kerajaan Iran selalu diganggu oleh pemberontakan-pemberontakan yang sangat memerosotkan negeri itu. Antara lain pemberontakan yang dicetuskan di Isfahan pada tahun 1850 oleh Sayid Ali Muhammad dengan satu gerakan yang bersifat mistik.

Kekuasaan Nasiruddin di Iran

Semua kerusuhan itu akhirnya dapat diatasi setelah memakan waktu sepuluh tahun. Di samping itu, gangguan-gangguan di perbatasan pun menelan waktu yang cukup lama untuk menyelesaikannya. Maka, hampir duapuluh tahun lamanya keadaan dalam negeri sangat mundur, terutama dalam bidang ekonomi dan sosial.

Setelah kericuhan-kericuhan itu dapat diatasi, barulah Nasiruddin dapat memusatkan perhatiannya ke arah pembangunan. Dia adalah seorang yang tertarik kepada peradaban Barat, terutama untuk memperkuat kedudukannya dan menambah penghasilan. Pada tahun 1864, diberikannya izin kepada Inggris untuk memasang hubungan kawat dari Baghdad ke kota Busyir. Pada tahun 1870, kepada perusahaan Siemens untuk menyambung hubungan itu dengan kawat yang memanjang dari London ke Alexandrovsk, Odessa, Tiflis, dan Tabris.

Inggris pula yang kemudian meratakan hubungan itu ke seluruh negeri. Lalu, oleh Perdana Menteri Iran, diberikan hak monopoli yang luas kepada Inggris atas beberapa proyek dengan perjanjian bahwa maskapai Inggris yang diwakili oleh Baron Julius de Reuter itu harus membangun jalan kereta api, membuka pertambangan dan bank nasional. Akan tetapi, tahun berikutnya, ketika Syah membuat perjalanan untuk memperluas hubungannya dengan negara-negara lain, di London dan Rusia mendapat kecaman atas rencananya, maka dibatalkannya konsesi tersebut.

Berhenti dari Jabatan Menteri Pertahanan

Kelihatanlah bahwa Nasiruddin Syah, di samping bermaksud untuk memperkokoh kedudukannya, juga memang mempunyai rencana membangun negerinya. Maka, tidak mustahil ia memerlukan Jamaluddin itu adalah untuk memperbaiki Kementerian Pertahanan negaranya dan yang terutama akan digunakannya untuk memikat hati rakyat. Apabila nanti Jamaluddin Al-Afghani berhasil menghimpun rakyat Iran untuk setia kepada rajanya, niscaya kedudukannya selaku Syah bertambah kuat dan kokoh.

Baca Juga  Von Goethe, Sastrawan Jerman Pengagum Nabi Muhammad

Sebagai Menteri Pertahanan, Jamaluddin Al-Afghani bekerja dengan bersungguh-sungguh. Dan sebagai Menteri yang teramat penting, dia tetap berorientasi kepada kepentingan dan kesejahteraan rakyat, dan menentang setiap perlakuan yang tidak adil, dari mana pun datangnya.

Sikapnya yang demikian itu menyebabkan dia lekas termashur dan mendapat simpati dari rakyat. Pengaruhnya semakin besar sehingga Syah sendiri menjadi iri. Berangsur-angsur hubungan keduanya retak dan untuk menghindarkan hal yang kurang enak, Jamaluddin mohon berhenti dari jabatannya sekaligus mengakhiri petualangan intelektual di Iran untuk sementara. Pada tahun 1886, dia berangkat ke Rusia.

Petualangan Intelektual ke Rusia

Usia Jamaluddin telah menginjak 47 tahun, berjuang terus hingga tidak sempat memikirkan untuk beristeri. Beberapa hal menarik minatnya untuk pergi ke Rusia itu. Dia mengetahui bahwa antara Inggris dan Rusia timbul persaingan untuk mempengaruhi negara-negara Islam, khususnya Iran, satu daerah yang sangat kaya akan sumber minyak. Dan rajanya yang bergelar Tsar adalah seorang Katolik yang fanatik, sedang di sana terdapat tidak kurang dari 30 juta umat Islam. Karena itu, sangat ingin hendak melihat sendiri keadaan negara itu.

Nama Jamaluddin telah terdengar oleh Pemerintah Tsar, maka kedatangannya di negeri itu disambut dengan upacara yang meriah di Petersburg. Pemerintah Rusia mengerti bahwa Jamaluddin dapat dipergunakan untuk mempengaruhi rakyat di negara-negara Islam. Maka, Jamaluddin sangat dimuliakan, para pejabat sangat baik kepadanya bahkan Tsar sendiri sangat ramah sikapnya. Petualangan intelektual Jamaluddin di Rusia dimulai.

Kesempatan ini dipergunakan sebaik-baiknya oleh Jamaluddin Al-Afghani. Dimintanya kepada pemerintah untuk memperhatikan nasib dan perbaikan umat Islam dan agar kepada mereka diberikan izin untuk menerbitkan Al-Qur’an serta buku-buku agama lainnya.

Tsar Rusia Sang Diktator

Tsar adalah raja yang absolut, kekuasaanya tanpa batas dan bahkan didukung oleh kepercayaan pada agama Katolik waktu itu bahwa Raja merupakan wakil Tuhan untuk memerintah hamba-Nya. Dalam suatu kesempatan menghadap Tsar, Jamaluddin ditanyai tentang hal-ihwal kerajaan Iran Syah dan rakyatnya. Dengan terus terang dijelaskan bahwa Syah masih ingin berkuasa sendiri atau berdua dengan perdana menterinya. Rakyat tidak pernah mendapat hak bermusyawarah, apalagi Dewan Perwakilan belum ada. Para menteri tidak lebih daripada pegawai yang harus senantiasa tunduk kepada keinginannya.

Baca Juga  Jamaluddin Al-Afghani (8): Dari Paris Menyuarakan Pan-Islamisme Lewat Majalah Al-Urwatul Wutsqa

Di samping itu, Syah sendiri terlalu gemar bermewah-mewah dan mengadakan perjalanan keliling yang kurang perlu serta menghabiskan uang negara. Oleh sebab itu, rakyat tidak puas dan menhendaki perbaikan-perbaikan yang diperlukan. Sangat dikhawatirkan rakyat akan kehilangan sabarnya dan mendaulat rajanya.

Keterangan Jamaluddin semacam itu diterima salah oleh Tsar dan dianggap menyindir dirinya, maka dijawabnya bahwa sikap Syah Iran itu sudah selayaknya karena setiap raja adalah orang yang telah dipilih Tuhan untuk mengatur manusia di dunia ini. Jadi, raja adalah pengemban amanat Tuhan. Oleh sebab itu, hati Jamaluddin berdebar-debar dan merasa tersinggung pula. Maka, berkata lagi bahwa seorang raja semestinya harus mendekat kepada rakyat serta membela kepentingannya. Kalau tidak, apalagi sudah sampai masanya, rakyat tidak akan segan menggulingkan raja manapun yang seperti itu. Tsar teramat murka karena merasa diancam oleh seorang asing.

Di Munchen Bertemu Syah Iran

Pada tahun 1889, diayunkannya langkah manuju Munchen mengawali petualangan intelektual di Jerman. Kebetulan pada tahun itu juga Syah Iran mengadakan perjalanan ke Paris untuk menyaksikan pameran internasional, kemudian menuju ke Jerman. Ketika Syah itu berada di Munchen, bertemulah ia dengan Jamaluddin Al-Afghani. Raja Iran yang sebenarnya masih memerlukan Jamaluddin itu meminta agar dia bersedia kembali ke Iran. Memang dahulu pun dia hanya terpengaruh oleh perdana menterinya, Ali Asghar Khan

Ajakan Syah Iran diterima baik. Ia kembali ke Iran, melanjutkan petualangan intelektual sebelumnya yang sempat kandas. Rakyat Iran sangat bergembira melihat wajah pemimpinnya. Dan mata Jamaluddin gemerlapan berlinang-linang melihat rakyat yang sangat dicintai.

Maka, kembalilah mereka mendengarkan ceramah dan pidato Jamaluddin Al-Afghani yang membina kesadaran kepada ajaran agama. Pidato yang berisi seruan kepada panggilan kewajiban terhadap negara dan bangsanya. Membangkitkan semangat pembangunan dan membela kebenaran dan keadilan. Yang insaf bertambah banyak dan tidak hanya terdiri daripada rakyat biasa tetapi juga ulama, pegawai, dan pejabat.

Baca Juga  Tafsir Al-Jāmi’ Li Ahkām Al-Qur’ān: Penulis, Metode, dan Corak

Jamaluddin Kembali Difitnah

Terdengarlah desas-desus bahwa Syah akan mengangkatnya menjadi Perdana Menteri. Kabar yang belum tentu itu sampai ke telinga Perdana Menteri Ali Asghar Khan yang memang sejak semula sangat tidak menyukai Jamaluddin. Sementara itu, tuntutan rakyat agar dibentuk Dewan Perwakilan dan Undang-undang Dasar Negara semakin santer. Adanya dewan itu membahayakan kekuasaan Perdana Menteri. Segera difitnahnya Jamaluddin kepada Syah. Dikatakan bahwa ia akan menggulingkan Syah atau setidaknya bermaksud mengebiri kekuasaannya melalui dewan yang dituntut rakyat itu.

Sekali lagi, Syah Iran terpengaruh oleh desakan dan fitnahan Perdana Menterinya. Jamaluddin dipanggil menghadap dan dimurkai sejadi-jadinya. Jamaluddin mengerti bahwa kemurkaan itu akan diikuti oleh tindakan kekerasan atas anjuran Perdana Menteri. Maka, sekembalinya dari istana ia berlindung ke tempat yang dianggap suci oleh kerajaan dan tidak boleh diganggu, yaitu Makam Syah Abdul Adhim. Maka, berduyunlah rakyat yang mengunjungi Makam yang dianggap keramat itu, selain untuk berziarah juga yang terutama untuk mendengar suara Jamaluddin. Selama tujuh bulan, Makam itu ramai penuh sesak dan suara Jamaluddin berapi-api.

Nasiruddin Syah mewarisi sifat kewenang-wenangan daripada ayahnya, Sultan Muhammad Syah. Pernah dia pada sekitar tahun 1851 ketika menginjak tiga tahun memerintah, termakan oleh fitnahan orang sehingga dia mengusir Kepala Angkatan Bersenjatanya, Taqi Khan, dan kemudian menghukum mati. Peristiwa di Makam itu menjadikan dia gelap mata. Makam itu dikepung dan diserbu atas perintahnya dan Jamaluddin ditangkap. Setelah disiksa, dengan terbelenggu diantar ke perbatasan dengan negara Turki lalu dilepaskan seorang diri mengarungi lautan salju. Pengikutnya yang ditinggal ditangkap dan disiksa pula, antara lain Syaikh Hadi Najam Abadi dan Nirza Mulkan Khan, pemimpin harian Al-Qanun yang sering mengecam pemerintah.

Dengan tubuh yang lemah menderita sakit, Jamaluddin melangkahkan kaki tersaruk-saruk menuju kota Basrah. (Bersambung)

Sumber: buku Aliran Pembaruan dalam Islam dari Jamaluddin Al-Afghani Sampai KHA Dahlan karya Djarnawi Hadikusuma. Pemuatan kembali di www.ibtimes.id lewat penyuntingan

Editor: Arif

1005 posts

About author
IBTimes.ID - Cerdas Berislam. Media Islam Wasathiyah yang mencerahkan
Articles
Related posts
Tafsir

Apakah Allah Bisa Tertawa?

4 Mins read
Sebagaimana menangis, tawa juga merupakan fitrah bagi manusia. Hal tersebut sesuai dengan firman Allah dalam QS. al-Najm [53]: 43 mengenai kehendak-Nya menjadikan…
Tafsir

Kontroversi Tafsir Ayat Pernikahan Anak dalam Qur’an

4 Mins read
Pernikahan, yang seharusnya menjadi lambang cinta dan komitmen, kerap kali terjebak dalam kontroversi. Salah satu kasus terbaru yang menarik perhatian publik adalah…
Tafsir

Sepintas Sejarah Gagasan Tafsir Modern di Indonesia

4 Mins read
Pada subbab yang ditulis oleh Abdullah Saeed berjudul “The Qur’an, Interpretation, and the Indonesian Context” merupakan bagian dari bukunya Saeed sendiri, yaitu…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds