Tarikh

Jam’iyyah Nuriyyah di Kauman: Komunitas Islam Tradisional di Jantung Kota Muhammadiyah

3 Mins read

Sekalipun identik dengan Muhammadiyah, ternyata di kampung Kauman, Yogyakarta, terdapat komunitas Islam tradisional yang sudah ada jauh sebelum Kiai Ahmad Dahlan merintis gerakan Islam modernis. Gerakan ini berbasis di kampung Kauman bagian utara (Kauman Lor). Sejak Muhammadiyah berdiri sampai tahun 1925, komunitas ini selalu kontra dengan gerakan reformasi Islam yang berbasis di Langgar Kidul. Meskipun pada tahun 1926 dipengaruhi oleh gerakan Islam modernis, tetapi komunitas ini sampai kini tetap eksis di luar struktur dan kultur Muhammadiyah.    

Jam’iyyah Nuriyyah

Komunitas ini didirikan oleh Kiai Haji Moehammad Noer yang sebenarnya masih kerabat dekat Kiai Ahmad Dahlan. Sampai kini, komunitas tersebut masih eksis sekalipun telah mengalami pergeseran tradisi keislamannya. Ahmad Adaby Darban dalam bukunya, Sejarah Kauman: Menguak Identitas Kampung Muhammadiyah (2010) mengulas kisah awal berdirinya komunitas ini.    

Sebelum tahun 1900, di Kampung Kauman sebelah utara (Kauman Lor) telah berdiri sebuah lembaga pendidikan Islam tradisional bernama Jam’iyyah Nuriyyah (Djam’ijjah Noerijjah). Lembaga pendidikan itu dipimpin oleh ulama kharismatik bernama Kiai Haji Moehammad Noer. Beliau terkenal dengan sebutan Kiai Noer.

Dalam perkembangannya, lembaga pendidikan tradisional ini ternyata tidak hanya mengurus pelajaran mengaji saja. Secara perlahan tumbuh jam‘iyyah (perkumpulan/komunitas) agama yang diasuh oleh Kiai Noer. Sesuai dengan nama Kiai Noer, perkumpulan itu diberi nama dengan menisbatkan nama sang kiai, yaitu Jam’iyyah Nuriyyah. Jam’iyyah tersebut berbentuk semacam pondok pesantren dengan sang kiai sebagai pusat kepemimpinan dari jamaah santrinya. Demikian Adaby Darban ketika menggali informasi dari Ibu Zardjunnah Fahmi, salah seorang pelaku sejarah (wawancara 14 April 1980).  

Pendidikan Islam Tradisional

Pelajaran yang diberikan di lembaga pendidikan Jam’iyyah Nuriyyah meliputi: baca tulis Al-Qur’an, pendidikan akhlak, ibadah, dan keimanan. Pendidikan dalam komunitas ini lebih menekankan pada aspek pendidikan pribadi. Pelajaran yang berkaitan dengan pendidikan sosial dan pendidikan ilmu pengetahuan umum tidak diajarkan di Jam’iyyah Nuriyyah. Tujuan pendidikan di lembaga ini adalah membentuk pribadi yang menjalankan agama dengan baik dan memimpin pribadi yang bertakwa. Demikian Adaby Darban ketika menggali informasi dari Ibu Zainab Humam, pelaku sejarah (wawancara 4 Mei 1980).

Baca Juga  Dinasti Umayyah (3): Kebangkitan Amir Muawiyah I, Merancang Sebuah Wangsa

Sekalipun berbentuk pondok pesantren, tetapi tidak semua santri mondok di Jam’iyyah Nuriyyah. Murid atau santrinya terbagi menjadi dua, yaitu santri yang mondok dan santri yang datang setiap waktu pelajaran. Untuk santri yang mondok kebanyakan berasal dari luar kota dan berdiam di rumah Kiai Noer. Sedangkan untuk santri yang datang setiap pelajaran ialah warga kampung Kauman dan sekitarnya. Konon, para santri Kiai Noer terdiri dari para priyayi, para pedagang, dan kalangan rakyat biasa.

Metode mengajar yang dijalankan adalah sorogan dan wejangan. Dalam metode sorogan, kiai duduk di depan bangku pendek dan santri yang mengaji satu persatu bergantian nyorog (menyodorkan) kitab yang akan dipelajari di depan kiai. Setelah selesai dibaca bersama kiai, kemudian kitab itu ditarik kembali bersama mundurnya santri yang sudah selesai belajar itu. Demikian satu persatu secara bergantian. Santri yang belum mendapat kesempatan dan yang sudah selesai, tetap tinggal di langgar dengan nderes (membaca, mempelajari, dan menghafal) kitab tersebut.

Wejangan ialah nasehat-nasehat atau pendidikan pribadi yang disampaikan dengan ceramah di kalangan para santri. Metode itu lazim dilaksanakan pada zaman sebelum abad 20 dan merupakan metode pendidikan Islam sebelum adanya gerakan reformasi.

KH Humam

Setahun pasca berdirinya Muhammadiyah, yaitu pada tahun 1913, KH Moehammad Noer wafat meninggalkan putra-putri: KH Humam, Nyai H Wachid, dan KH Hanad Noer. Dari ketiga putra-putrinya, yang melanjutkan usaha membina Jam’iyyah Nuriyyah adalah KH Humam.

Kisah KH Humam berbeda pendapat dengan Kiai Ahmad Dahlan yang notabene adalah pamannya sendiri cukup masyhur. Menarik untuk diketahui bahwa sekalipun gerakan reformasi Islam yang berbasis di Langgar Kidul sedang gencar-gencarnya, tetapi tidak semua warga Kauman sejalan dengan Kiai Ahmad Dahlan. Mereka yang tidak sependapat dengan gerakan Muhammadiyah bergabung dengan Jam’iyyah Nuriyyah di bawah pimpinan KH Humam ini.

Baca Juga  Jamaluddin Al-Afghani (13): Akhir Perjuangan Sang Mujaddid Agung

Sejarawan Ahmad Adaby Darban mencatat bahwa antara tahun 1912-1925 Jam’iyyah Nuriyyah berperan sebagai kubu antagonis yang merespon gerakan reformasi Islam di Langgar Kidul. Tetapi sejak 1926, peta rivalitas gerakan berbalik, Muhammadiyah dalam posisi antagonis terhadap Jam’iyyah Nuriyyah yang masih mempraktikkan tradisi keagamaan sinkretik. Dalam perkembangan berikutnya, praktik-praktik keagamaan sinkretik di Jam’iyyah Nuriyyah memang mulai terkikis, tetapi sisa-sisanya masih eksis hingga kini. (Redaksi)

Editor: Arif

1005 posts

About author
IBTimes.ID - Cerdas Berislam. Media Islam Wasathiyah yang mencerahkan
Articles
Related posts
Tarikh

Hijrah Nabi dan Piagam Madinah

3 Mins read
Hijrah Nabi Muhammad Saw dari Makkah ke Madinah pada tahun 622 Masehi merupakan salah satu peristiwa paling bersejarah dalam perkembangan Islam, yang…
Tarikh

Potret Persaudaraan Muhajirin, Anshar, dan Ahlus Shuffah

4 Mins read
Dalam sebuah hadits yang diterima oleh Abu Hurairah dan terdapat dalam Shahih al-Bukhari nomor 1906, dijelaskan terkait keberadaan Abu Hurairah yang sering…
Tarikh

Gagal Menebang Pohon Beringin

5 Mins read
Pohon beringin adalah penggambaran dari pohon yang kuat akarnya, menjulang batang, dahan dan rantingnya sehingga memberi kesejukan pada siapa pun yang berteduh…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds