Podcast Deddy Corbuzier dengan narasumber Mantan Menkes, Siti Fadilah, menarik perhatian semua kalangan masyarakat. Diantara ribuan orang yang tertarik, salah satunya adalah kawan saya, sebut saja beliau si Belalang Tua. Di grup WA, beliau (saya panggil “beliau” karena beliau yang paling sepuh) menanyakan pendapat saya tentang video tersebut. Karena masih kurang dalam menyaring informasi, pendapat yang diberikan pun akhirnya terbantahkan
Saring sebelum Sharing
Seperti kebanyakan yang menonton video itu, saya juga menganggap Bu Siti tidak bersalah. Namun, praduga sepihak dan sok tahu ala saya itu dibantah oleh salah seorang penghuni lain di grup WA tersebut. Sebut saja Kumbang karena, nama Mawar atau Melati sudah sering dipakai oleh bandar sabu atau penjual ayam tiren di acara “Investigasi”. Sambil menyematkan emoticon “ngakak miring”, dia mengetik, “Aku gak setuju sama pendapat kalian karena tau kejadian yang sebenarnya.”
Sebenarnya, kalau si Kumbang ini seorang kuli pabrik kayak saya, bakal saya ajak debat kusir. Lumayan, selain demi membela harga diri lantaran pendapat dipatahkan begitu saja, sudah seminggu saya gak perang bacot. Namun, posisi si Kumbang sangat kredibel untuk berkomentar seperti itu. Karena si Kumbang ini pernah menjadi ajudannya Bu Siti. Jadi sedikit banyaknya dia pasti tahu kejadian itu.
Si Kumbang lantas menceritakan kronologi terciduknya Bu Siti. Cerita tadi pun si Kumbang perkuat dengan referensi berupa artikel dari Thomas Hanzee yang mengulas tentang kontroversi-kontroversi Bu Siti selama menjabat.
Setelah membaca artikel tersebut, seketika saya merasa seperti Naruto saat terkena Sennen Goroshi-nya Kakashi; makjleb sekalee. Sedangkan si Belalang Tua, meskipun tidak berkomentar apa-apa, saya tahu beliau sedang nyengir kuda melihat kedunguan saya.
Meskipun jengah dan agak-agak kesel, saya bersyukur mendapat “hidayah” sebelum mengunggah tanggapan itu ke publik. Sayangnya belum banyak orang yang seberuntung saya. Tanggapan mereka terhadap video tersebut telah menyebar luas dan turut menyesatkan orang lain. Bahkan ada yang menggunakannya sebagai alat untuk menyerang pihak tertentu. Oleh sebab itu, perlulah kiranya kita untuk menyaring informasi yang didapat sebelum dipublikasikan.
Telusuri Fakta sebelum Berkata
Asal jeplak di dunia nyata maupun dunia maya bukanlah aktivitas baru di negara ini. Malah mungkin sudah menjadi semacam budaya kekinian. Hampir semua individu yang di akta kelahirannya bertuliskan “WNI”, pernah melakukannya.
Mungkin kita bisa berdalih itu adalah sebuah bentuk kejujuran dan keberanian. Hanya saja ketika dilakukan tanpa mengetahui fakta lengkapnya, suara-suara kita akan menjadi sebuah fitnah, kemudian menyebabkan kesengsaraan bagi orang lain.
Ini mengingatkan kita pada sebuah peristiwa yang cukup menyita perhatian publik beberapa tahun lalu; kasus “Audrey“. Lupa? Itu lho, seorang remaja putri yang menjadi korban perundungan dan pengeroyokan oleh senior-seniornya.
Nah, kalau masih ingat, berarti masih ingat pula kan betapa mudah dan barbarnya kita dalam menghujat dan mengutuk para pelaku perundungan yang katanya telah “merusak” keperawanan si korban. Padahal saat berita itu booming, kita bereaksi hanya dengan bermodalkan sumber rujukan atau membaca artikel yang juga berdasarkan “katanya”.
Dan setelah fakta sesungguhnya terungkap: bahwa tidak ada adegan rusak-merusak keperawanan dan itu cuma pertengkaran remaja biasa, kita hanya bisa cengangas-cengenges saja, kemudian cuci tangan dan bersikap seolah-olah tidak pernah terjadi apa-apa.
Kasus di atas sih masih mending, korban “salah persepsi” kita cuma mengalami depresi saja. Bagaimana kalau dia mengalami hal yang lebih buruk? Contohnya, peristiwa beberapa tahun lalu: seorang tukang servis diamuk massa karena disangka hendak mencuri pengeras suara di masjid.
Satu orang meneriaki si Tukang Servis, “maling”, massa langsung percaya. Dengan asas “hantam dulu baru tanya” massa langsung meluapkan kemarahan pada si Tukang Servis. Sayangnya kata “tanya” pada asas di atas, massa ganti dengan membakar si Tukang Servis hidup-hidup. Mirisnya lagi, setelah dilakukan penyelidikan, ternya mereka salah, dan akhirnya behadapan dengan hukum. Itulah akibatnya jika kita menyebarkan berita tanpa menyaring informasi terlebih dahulu.
Belajar dari Pengalaman
Tiga peristiwa serupa terjadi, tapi reaksi kita tetap sama. Satu informasi yang masih samar akan diteruskan dan disampaikan tanpa ada proses penyaringan. Malah ada kesan bahwa kita berlomba-lomba untuk menjadi yang terdepan dalam mengabarkannya. Sepertinya kita lupa pada sebuah hadits. “Ketenangan datangnya dari Allah. Sedangkan tergesa-gesa datangnya dari setan.” (HR Al Baihaqi dalam As-Sunan Al Kubra)
Ini juga membuktikan betapa kita kurang pandai belajar dari pengalaman dan masih gampang dihasut. Sadar atau tidak, kita sudah berperan aktif dalam membentuk sebuah jaringan kebodohan yang luas dan masif.
Padahal jika mau, kita bisa meng-cross check-nya terlebih dahulu. Tokh sekarang ada Google. Atau kalau malas searching dan baca-baca, minimal kita bisa tanya dulu ke teman, seperti yang kawan saya, si Belalang Tua, lakukan. Dan itu sesuai dengan perintah Allah dalam surat Al-Hujurat ayat 6.
“Wahai orang-orang yang beriman! Jika seseorang yang fasik datang kepadamu membawa suatu berita, maka telitilah kebenarannya, agar kamu tidak mencelakakan suatu kaum karena kebodohan (kecerobohan) yang akhirnya kamu menyesali perbuatanmu.”
Sayangnya kita tidak mau ribet. Jempol kita sudah “terprogram” untuk otomatis menekan tombol share atau berkomentar. Ini mengingatkan kita pada sepenggal anekdot lawas: smartphone tidak serta merta menjadikan penggunanya smart people.
Tempelengan yang menyakitkan memang, tapi inilah kebenarannya. Sekarang tinggal tersisa satu pertanyaan. Sampai kapan kita akan menganut pola pikir ini? Sekarang, adalah waktu yang tepat untuk mengakhirinya.
Editor: Nirwansyah/Nabhan