Sebagai perempuan, saya sangat mengagumi laki-laki. Terlepas dari pro-kontra dan berbagai catatan kaki untuk deretan jurnal ilmiah yang menyatakan kecenderungan perempuan dalam merasa dan laki-laki dalam menalar, secara subjektif saya mengamini betul pernyataan tersebut. Saya merasakan sendiri, betapa laki-laki di sekeliling saya dengan logisnya begitu piawai meluruskan masalah yang sering kali timbul lantaran kekeliruan saya dalam menuruti perasaan.
Laki-laki, dengan berbagai latar belakang mereka. Seakan dikaruniai bakat untuk dapat mempelajari segala sesuatu dengan cepat, termasuk urusan memahami lawan jenisnya. Semakin banyak pengalaman seiring membengkaknya usia. Semakin luas pula cakrawala pengetahuannya dalam menghubungkan satu masalah dengan masalah lain secara objektif.
Mungkin benar, laki-laki memang cenderung bodoh dalam berperasaan. Namun, justru kekurangan itulah yang kemudian menjadi katalisator mereka dalam menjalankan nalar lebih dari perempuan paling nalar mana pun.
Pemahaman Luas Laki-laki
Mulailah akal saya usil menerka, tempat-tempat mana saja yang sekiranya sering mereka sambangi namun tidak dengan perempuan. Sebagai salah satu pemeluk agama mayoritas, yang pertama terlintas dalam benak saya adalah masjid. Semakin hari, semakin marak anak muda yang meramaikan masjid. Meski banyak pula aktivitas masjid yang dapat diikuti perempuan (akhwat), intensitasnya tidak sampai melebihi kaum laki-laki (ikhwan) yang memang diwajibkan beribadah setidaknya lima kali dalam sehari di tempat itu.
Sebagai orang yang senang berdiskusi dan bertukar pikiran, jujur saya iri. Bagaimana bisa mereka seberuntung itu. Memiliki kesempatan lima kali dalam sehari untuk bertemu orang-orang baru yang sepemikiran? Dari yang muda sampai yang tua, kaya sampai yang miskin, berpendidikan atau pun yang tidak, jomlo, menikah, cerai hidup, cerai mati, semua bisa berkumpul dalam waktu bersamaan di tempat yang sama.
Prosesi ibadah yang normalnya tidak akan memakan waktu lebih dari sepuluh menit menyisakan waktu-waktu istirahat untuk mereka duduk bersisian dan membicarakan banyak hal.
Atau mungkin, di tongkrongan? Saat ini, dengan semakin menjamurnya warung kopi, tongkrongan dengan rentang budget yang kian melebar turut memberi andil dalam menjangkau pelanggan dari lebih banyak latar belakang. Berbeda dengan mereka, hampir tidak ada perempuan yang sanggup nongkrong berjam-jam hingga larut malam hanya untuk menghabiskan sebungkus rokok atau sekadar mencari pelarian demi melepas penat.
Bahkan, salah satu teman laki-laki saya yang terlihat begitu menggilai kopi, mengakui sendiri betapa esensi sebenarnya dari aktivitas “ngopi” tidak terletak pada cangkir-cangkir kopi yang dihidangkan. Tetapi pada kesempatan yang muncul untuk dapat duduk menjadi satu frekuensi ketika sama-sama menghabiskan isi cangkir tersebut.
Keselarasan Hidup agar Stabil
Apakah mereka memupuk nalar di saat-saat seperti itu? Bukankah orang-orang yang mampu berkelompok menandakan bahwa mereka mampu mengesampingkan ego dan perasaan pribadi? Namun, semakin berumur, saya juga menemukan tipikal laki-laki yang enggan berada dalam keramaian, tetapi tetap memiliki nalar yang sama kuatnya.
Akhirnya, saya menyerah. Barangkali, hal ini memang menjadi satu dari banyak rahasia semesta dalam menjaga keselarasan hidup antarmanusia agar tetap stabil.
Uniknya, semakin saya perhatikan malah semakin saya dibuat terpesona. Bagaimana mungkin, bahkan mereka yang perawakannya tidak lebih jangkung dari saya mampu mengangkat beban berkali-kali lebih berat. Terbuat dari apa lengan dan dua kaki mereka?
Abi, adik laki-laki, hingga teman laki-laki saya bahkan terlihat tidak mungkin sakit meski kehujanan. Mereka juga tidak terganggu meski tersengat panas matahari. Umumnya, mereka akan menuruti semua yang diinginkan orang-orang terkasihnya meski pada akhirnya merugikan diri sendiri. Hingga ketika saya semakin beranjak dewasa, Ummi memberi saya sedikit bocoran atas keajaiban ini:
Apa yang menurut kamu berat, bagi mereka juga sama beratnya. Hujan juga mampu menurunkan imunitas mereka sebagaimana manusia pada umumnya. Panas matahari yang membuatmu tidak nyaman juga sama mereka rasakan demikian. Demi mewujudkan keinginanmu, banyak yang harus mereka korbankan. Namun, sampai kapan pun mereka tidak akan mengeluhkan hal tersebut, setidaknya di hadapanmu. Kalau sudah begitu, kamu yang harus pintar-pintar menyadarinya. Terkadang, mereka bahkan sanggup melupakan diri sendiri.
Saya tergugu. Jika memang demikian, tidak salah jika suatu hari nanti saya akan jatuh hati setengah mati pada salah satu dari mereka.
Ketika menikah, mereka mengambil alih satu tanggung jawab mahabesar dari laki-laki sebelumnya, tanggung jawab seorang ayah atas putrinya. Mereka bekerja mempertaruhkan segala yang ada demi penghuni istana kecilnya. Tidak hanya di dunia saja mereka akan diadili ketika anak-istrinya kelaparan, luntang-lantung tanpa memiliki tempat berteduh, atau sakit lantaran pakaian yang tidak cukup tebal menghalau dingin.
Amanah yang Dipikul Laki-laki
Sampai akhirat pun, mereka akan dimintai pertanggungjawaban atas salat anak-istrinya, makanan haram yang tumbuh menjadi daging dalam tubuh keluarganya, hingga setiap helai rambut yang mencuat dari balik hijab perempuannya.
Beban yang demikian berat harus sanggup mereka tanggung sendiri ketika istri yang dahulu ia pilih dengan penuh pertimbangan menolak menjaga rumahnya. Selama ia bekerja untuk satu alasan egosentris: aku berhak memilih, aku cerdas dan ingin berdaya. Pekerjaan ini memerlukan orang sepertiku.
Padahal, mereka sendiri jauh lebih memerlukan rekan yang cerdas untuk mendampingi tumbuh-kembang keturunannya, memfilter harta yang diperolehnya agar tidak secuil pun daging haram tumbuh di rumahnya. Memastikan keluarganya selamat dari api neraka sebab dirinyalah yang akan pertama kali terpanggang jika sampai hal buruk itu terjadi. Miris, setelah semua yang mereka lakukan, rekan sehidup-sematinya bahkan lebih memilih orang asing yang berperan sebagai atasan dibanding dirinya.
Sebagaimana perempuan dengan “bawaan pabrik” berupa siklus bulanan yang cukup merepotkan, laki-laki juga mendapat bagiannya sendiri. Psikiater dari RS Jiwa Dharmawangsa dr Agnes Tineke, SpJK mengatakan, secara biologis laki-laki lebih mudah terangsang daripada perempuan. Terdapat struktur area otak tertentu pada laki-laki di hipotalamus berupa Nukleus suprakiasmatikus yang mampu menghasilkan testosteron lebih tinggi sehingga mengakibatkan dorongan seksual yang lebih tinggi pula.
Mempersoalkan Bawaan Lahir
Sebagaimana “bawaan pabrik” yang menyebabkan setiap perempuan mengalami siklus menstruasi, maka “bawaan pabrik”. Ini juga dimiliki oleh setiap laki-laki, sebaik apa pun adab dan kemampuan mereka dalam mengontrol diri. Tidak peduli apakah mereka menginginkannya atau tidak.
Saya tidak tahu seberapa besar upaya mereka selama ini dalam mengontrol diri di antara lawan jenisnya yang selalu terlihat menarik bahkan dalam busana tertutup rapat sekali pun. Saya juga tidak tahu rumitnya kecamuk batin mereka melawan diri sendiri dari segala pikiran negatif.
Seumur-umur, saya lahir dan tumbuh sebagai perempuan. Saya tidak pernah merasakan apa yang mereka rasakan. Saya juga bukan seorang yang ahli di bidang ini. Namun, menilik penggalan pernyataan ilmiah di atas, agaknya dugaan saya tidak sepenuhnya salah.
Tidak cukup dengan hal-hal bersifat materiel, bahkan untuk urusan yang secara alamiah terjadi di luar kehendak pun mereka tetap diminta untuk mengalah.
Dengan ini, atas nama pribadi saya menyampaikan keprihatinan atas bertambahnya satu lagi beban yang harus mereka tanggung seiring dengan kian maraknya kampanye My Body is Mine di antara kaum “open minded” antikritik di luar sana. Tidak lama lagi, akan semakin banyak lawan jenisnya berseliweran dengan pakaian minim yang mengundang. Semakin banyak pula lawan jenisnya yang keluyuran di tempat-tempat umum seorang diri tanpa penjagaan laki-laki, dan lain sebagai. Setidaknya, pagar kawat bagi mereka sebelum merealisasikan pikiran-pikiran negatif yang entah sejak kapan bercokol di kepala.
Betapa kelak akan kita temukan sejarah yang mencatat lucunya tingkah sekumpulan manusia. Parau suara mengoreksi Tuhan atas “bawaan pabrik” yang tidak sesuai dengan keinginan. Bukankah semesta ini tidak tercipta berlandaskan asas demokrasi? Mengapa selain dipusingkan dengan tingkah laku makhluk-Nya yang bahkan tidak lebih besar dari noktah ini.
***
Tuhan masih harus menerima aspirasi dungu manusia dalam penciptaan semesta? Sudah baik Tuhan tidak tersinggung ketika ciptaan-Nya diklaim sepihak, betapa sejatinya setiap tubuh manusia adalah milik-Nya yang disewakan untuk sementara waktu.
Pada akhirnya, bukankah sejak awal tulisan ini dibuat, telah berderet saya uraikan sebagian kecil dari kehebatan mereka? Sebagaimana semesta yang selama ini menitipkan kekuatan untuk menanggungkan beban di antara dua bahu kokoh mereka. Setidaknya satu kali ini saja mari kita sama-sama berharap agar mereka kembali diberi kekuatan untuk melewati cobaan yang jauh di luar kuasa mereka, bahkan nalar manusia sehat mana pun.
Tolong bawa pesan ini pada setiap perempuan di perkumpulanmu: jangan mau jadi laki-laki, berat, kita tidak akan sanggup. Biar mereka saja.
Editor: Wulan