Perspektif

Siasat Erdogan di Balik Konversi Hagia Sophia

3 Mins read

Kata kunci Hagia Sophia belakangan ini menjadi populer dalam berbagai media sosial ataupun mesin pencarian di internet. Hal ini tak lepas dari kebijakan pemerintah Turki yang didukung oleh Presiden Recep Tayyip Erdogan untuk mengalihfungsikan atau mengonversi Hagia Sophia. Salah satu Situs Warisan Dunia tersebut, pada Jumat (10/7/2020) lalu resmi berubah status menjadi masjid, yang awalnya difungsikan sebgai museum.

Barang tentu, hal ini menimbulkan reaksi dari berbagai pihak, baik dari internal maupun eksternal Turki. Atas berbagai kecaman tersebut, presiden Erdogan angkat bicara. Ia mengatakan bahwa masalah status Hagia Sophia merupakan hak dan kedaulatan internal Turki, sehingga ia meminta berbagai pihak menghargai keputusan tersebut.

Keputusan pengadilan tinggi administrasi Turki untuk mengonversi Hagia Sophia menjadi masjid secara otomatis menganulir dekrit presiden pertama Turki Modern, Mustafa Kemal Attaturk. Seiring dengan perubahan tersebut, timbul pertanyaan, ada apa dibalik perubahan status Hagia Sophia? Bukankah Erdogan sudah berkuasa kurang lebih 18 tahun dibawah partai AKP-nya?

Cikal Bakal Hagia Sophia

Menurut ensiklopedia Britannica seperti dikutip oleh tirto.id, Hagia Sophia dibangun atas perintah Kaisar Konstantinus I pada tahun 325 M. Kemudian Putranya, Konstantinus II, menjadikan bangunan ini sebagai tempat untuk memahkotai penguasa sejak tahun 360 M. Namun, akibat konflik internal di dalam Kekaisaran pada tahun 404 M, maka Hagia Sophia pun terkena imbasnya, yakni terbakar dan hanya menyisakan reruntuhan.

Atas inisiatif Kaisar Theodosios II, pada tahun 415 dibangunlah sebuah basilika di tanah yang sama seperti sebelumnya. Satu abad kemudian, terjadi kerusuhan Nika atau revolusi Nika pada tahun 532 M. Kerusuhan ini terjadi tatkala Bizantium dipimpin oleh Kaisar Justinian I. Akibat kerusuhan ini, untuk kedua kalinya Hagia Sophia dibumihanguskan.

Baca Juga  Ketimpangan Gender dalam Wayang Jawa dan Tafsir Agama

Dikarenakan kerusakan yang parah itu, Kaisar Justinian I memerintahkan agar Hagia Sophia dibangun kembali dan selesai dengan waktu yang relatif singkat pada tahun 537 M. Konon, pada saat bangunan itu rampung Kaisar Justinian mengatakan “Tuhanku, terima kasih atas kesempatan membangun sebuah tempat ibadah”. Namun, setelah berabad-abad dibawah kekuasaan Romawi Timur, Konstantinopel termasuk Hagia Sophia jatuh ketangan tentara salib pada abad ke-13 M. Hampir lima dasawarsa kemudian, akhirnya Kekaisaran Romawi berhasil menguasai kembali Konstantinopel.

Pada tahun 1453 merupakan perubahan yang paling signifikan bagi Hagia Sophia. Tatkala Bizantium takhluk dibawah pimpinan Fatih Sultan Mehmed atau dikenal juga dengan Mehmed sang penakluk dari Kesultanan Ottoman (Utsmaniyah). Pada masa itu, Hagia Sophia beralih fungsi yang awalnya sebagai gereja menjadi masjid. Tak berhenti sampai disitu, pada masa Turki modern pun juga terjadi perubahan terhadap status Hagia Sophia.

Bapak pendiri Republik Turki, Musatafa Kemal Attaturk, merubah status Hagia Sophia dengan menjadikannya sebagai museum berdasarkan dekrti pada tahun 1934. Hampir sembilan dekade menjadi museum, Hagia Sophia kembali difungsikan sebagai masjid yang diumumkan oleh presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan pada 10 Juli lalu dan rencananya akan menghelat salat Jumat pertama pada 24 Juli mendatang.

Recep Tayyip Erdogan: Si Presiden Pertama

Salah satu artikel dari intelektual Turki yang bertajuk “Dynasty or Collapse? Erdogan’s Choice and What Comes Next for Turkey?”, menyatakan:

“Recep Tayyip Erdogan, presiden kontroversial Turki, terus berlanjut. Berasal dari awal yang sederhana, mantan walikota Istanbul bangkit untuk menonjol dalam politik Turki… Pada tahun 2002, Partai AKP (Adalet ve Kalkinma Partisi/partai Keadilan dan Pembangunan) yang baru dibentuk Erdogan mencetak kemenangan pemilihan yang memukau dan memperoleh mayoritas kursi di parlemen”.

Baca Juga  Mendesain Masjid Ramah Riset di Indonesia

Tulisan tersebut selanjutnya menyatakan, bahwa salah satu proyek Erdogan ialah mengamandemen konstitusi Turki. Hal tersebut terealisasikan pasca pemilu Turki 2018 lalu. Konstitusi baru tersebut diterima melalui referendum dan memberikan kewenangan berkekuatan turbo kepada presiden. Peran parlemen kurang signifikan, presiden berwenang campur tangan dalam sistem hukum, dan perdana menteri dihapuskan.

Perubahan sistem parlementer ke sistem presidensial eksekutif berdasarkan amandemen konstitusi tersebut menjadikan Erdogan sebagai presiden pertama dibawah payung konstitusi baru. Selain itu, hal demikian juga menandakan bahwa Turki telah memasuki era rezim satu orang. Implikasi lainnya ialah Erdogan dimungkinkan bisa mencalonkan diri kembali sebagai presiden hingga 2029.

Erdogan dan Hagia Sophia

Banyak yang beranggapan alih fungsi Hagia Sophia tak lepas dari motif pemilu yang akan diselenggarakan pada 2023 mendatang. Ditambah lagi, partai AKP mengalami kemerosotan pemilih. Selain itu, kondisi ekonomi Turki juga berada di ujung tanduk. Sehingga, isu Hagia Sophia dianggap paling cocok untuk mendulang suara ataupun sebagai pelarian dari masalah-masalah krusial yang terjadi saat ini, termasuk masalah pandemi.

Kekalahan partai AKP dalam pilkada 2019 menjadi alarm bagi Erdogan. Lebih-lebih, kekalahan tersebut terjadi di wilayah basis AKP, seperti Istanbul dan Ankara. Menurut pengamat politik Turki, Ali Bekir, Erdogan dan AKP kini sangat butuh langkah-langkah populis agar tidak menelan pil pahit seperti yang terjadi pada pilkada 2019 yang lalu (Harian Kompas, 14/7/2020). Barangkali, perubahan status Hagia Sophia menjadi masjid dianggap sebagai senjata ampuh untuk mempertahankan atau mendulang konstituen.

Sudah jamak diketahui, mayoritas penduduk Turki merupakan penganut agama Islam. Pilihan menjadikan Hagia Sophia sebagi masjid bukan tanpa risiko. Sebagaimana komentar Guru Bangsa, Buya Syafii Maarif, beliau mengatakan “Erdogan’s big and risky political gambling of a converting Hagia Sophia into a mosque”. Semoga saja isu Hagia Sophia ini tidak menjadikan Erdogan sebagai “penguasa Muslim yang semau gue memainkan simbol-simbol agama untuk mempertahankan kekuasaan duniawi” (Maarif, 2018).

Baca Juga  Mencoba Memahami Konsep Habitus, Kapital, dan Arena Pierre Bourdieu

Editor: Nabhan

Avatar
14 posts

About author
Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Aktif di Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Cabang Ciputat. Tanjung Ampalu, Sijunjung, Sumatera Barat.
Articles
Related posts
Perspektif

Fenomena Over Branding Institusi Pendidikan, Muhammadiyah Perlu Hati-hati!

4 Mins read
Seiring dengan perkembangan zaman, institusi pendidikan di Indonesia terus bertransformasi. Arus globalisasi tentu memainkan peran penting dalam menentukan kebutuhan pendidikan di era…
Perspektif

Hakim, Undang-Undang, dan Hukum Progresif

3 Mins read
Putusan hakim idealnya mengandung aspek kepastian, keadilan, dan kemanfaatan. Dalam implementasinya tidak mudah untuk mensinergikan ketiga aspek tersebut, terutama antara aspek kepastian…
Perspektif

11 Kategori Pengkritik Jurnal Terindeks Scopus, Kamu yang Mana?

2 Mins read
Dalam amatan penulis, ada beberapa kategori pengkritik jurnal terindeks scopus. Dalam tulisan ini, setidaknya ada 11 kategori yang saya temui. Berikut ulasan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *