Saya tertarik saja memberikan tanggapan setelah membaca tulisan mas Bukhari Muslim berjudul Pacaran Boleh, Zina Jangan. Artikel tersebut berisikan kritik yang berkembang di masyarakat dewasa ini. Terutama pada beberapa kalangan yang menyerukan untuk jangan pacaran, menganggap pacaran itu membawa dampak negatif, dan seterusnya dan seterusnya.
Tulisan ini berusaha berusaha memberikan tanggapan dari apa yang saya pikirkan, sehingga esensi pada tulisan mas Buhkhari bisa dipahami dengan tenang dan menyenangkan.
Jangan Pacaran Setelah Menikah
Betul apa yang disampaikan oleh mas Bukhari bahwasanya ada pengertian yang terkesan melompat dari apa yang berkembang selama ini. Menjadi sempit karena pengertiannya hanya berfokus pada dampak berpacaran berdasarkan apa yang disampaikan oleh kalangan tertentu, misalkan saja komunitas Indonesia tanpa Pacaran. Di mana mereka mengartikan pacaran adalah hubungan di luar pernikahan yang menjerumuskan pada perbuatan zina.
Pengertian ini tentu tidak menjelaskan secara substantif. Makna hanya berupa penjelasan di tataran sifat yakni hubungan diluar pernikahan dan salah satu dampak atau konsekuensi berupa zina. Saya sedikit susah menempatkan pengertian pacaran Ketika ada seorang teman atau kerabat yang berkata “Pacarannya nanti saja setelah menikah”. Loh? Gimana sih? Berarti hubungan diluar nikah didalam pernikahan? Nah!
Pengertian pacaran yang amat sempit ini bisa jadi mendangkalkan dan membingungkan pikiran kita. Contoh yang di atas cukup menjelaskan bagaimana membingungkannya, sehingga kita tak pernah tahu apa pengertian kata pacaran.
Tulisan mas Bukhari Muslim memberikan pandangan yang utuh tentang pemaknaan pacaran dengan menghadirkan kata ta’aruf yang biasanya menjadi kontra dari pengertian pacaran itu sendiri. Pacaran dan ta’aruf merupakan satu kata yang sama secara pengertian bahwa itu merupakan tahap saling mengenal satu insan dengan insan yang lain.
Jangan Zina
Tentu kita perlu juga melihat praktik pacaran secara utuh, itu yang tidak saya lihat pada tulisan mas Bukhari, menyeimbangkan teori dengan praktik yang terjadi di lapangan. Karena hanya terbatas pada tataran pengertian tanpa melihat praktik di lapangan tentu tidak menghasilkan keseimbangan berpikir.
Misalkan, bisa saja pengertian yang muncul pada komunitas Indonesia Tanpa Pacaran memang pengertian yang muncul dari hasil observasi dan disimpulkan berdasarkan fakta-fakta di lapangan. Bahwa penyimpangan-penyimpangan dan zina yang hadir dalam bingkai kata pacaran ini teramat banyak dan membuat gelisah.
Sebut saja hamil di luar nikah kemudian melakukan usaha aborsi untuk menutupi kehamilan tersebut. Wah, tapi ini nanti dianggap mempersempit urusan lagi, ya intinya selalu ada kutub positif dan negatif, tinggal cenderung ke mana.
Saya tidak ingin menyangsikan bahwa dalam praktiknya, terdapat hal-hal yang luar biasa positif. Namun, juga kita tidak bisa mengabaikan kemungkinan zina dan dampak-dampak yang tidak kalah luar biasa dari praktik pacaran tersebut.
Di sinilah kemudian hadirnya agama sebagai pengatur, pengaturan ini tentunya terdapat di dalam Al-Quran dan As-Sunnah. Dimulai dari anjuran untuk menundukkan pandangan, tidak bersentuhan bagi yang bukan mahramnya, hingga tidak diperbolehkannya berdua-duaan antar lawan jenis. Meskipun nanti akan ada bahasan lain yang lebih mendalam dan menyeluruh.
Memaknai Pacaran
Memahami setiap batasan yang sudah diatur dalam agama penting untuk dilakukan, sehingga kemudian bagaimana pelaksanaannya akan mengacu pada batasan-batasan tersebut.
Tulisan mas Buhari menyebutkan sebuah hadis yang mengajurkan seseorang yang ingin menikah untuk mengenal siapa calon yang akan dinikahinya. Dapat dipahami bahwa terdapat batasan berupa umur, kesiapan menikah, ditambah dengan adanya kontrol dari masing-masing orang tua. Bukan sembarang urusan jadinya.
Sehingga apa yang dimaksud di atas tidak bisa diterapkan pada berbagai hal. Bagaimana kalau dilakukan tanpa melihat batasan-batasan yang ada? Bocil-bocil SD, SMP, SMA misalnya. Mereka mungkin saja berpacaran, tapi belum ada gambaran untuk melakukan pernikahan. Sehingga tentu saja akan mengarah pada penyimpangan-penyimpangan yang kita bahas sebelumnya.
Memaknai kata pacaran perlu diserasikan dengan praktik nyata dan disesuaikan batasan-batasannya. Yang saya takutkan, jika tidak ada penyelarasan makna kata dengan praktik nyata kemudian tulisan mas Bukhari menjadi dalih untuk membenarkan segala ritual yang dibingkai dengan nama pacaran. Tanpa memperhatikan batasan-batasan yang sudah diatur.
Malah nanti dari fenomena itu kata pacaran selalu terkenang sebagai kata-kata negatif yang seharusnya dimusnahkan di atas bumi. Ya kali, gak sans banget~
Tempatkan pengertian pacaran ini sebgai kata dengan batasan-batasan yang sudah diatur. Sehingga tidak muncul lagi perkataan “pacarannya setelah nikah saja”. Berhubungan di luar nikah didalam ikatan pernikahan dong, selingkuh, kan namanya?
Editor: Nabhan