Fikih

Pacaran Boleh, Zina Jangan!

4 Mins read

Pandangan-pandangan yang berkembang soal pacaran, terutama dalam kaitannya dengan Islam, banyak memandang pacaran sebagai sesuatu yang buruk, kalau enggan berkata hina. Bahkan dalam konotasinya pacaran kadang sering dianggap setara dengan zina. Dianggap sebagai sesuatu yang menjijikkan dan penuh dosa. Padahal keduanya jelas sangat berbeda. Zina jelas larangannya dan pacaran belum jelas. Makanya sangat aneh jika kemudian ada yang menyamakan.

Pandangan terhadap pacaran yang demikian sampai dengan saat ini masih terus bertahan. Bahkan bisa dikata telah mapan. Hal itu karena keberadaannya ditopang oleh pendapat para da’i yang selalu menyatakan bahwa pacaran adalah sesuatu yang haram dilakukan muda-muda Islam dan pacaran juga adalah bagian dari langkah setan untuk menjerumuskan anak-cucu Adam ke dalam perbuatan yang tercela.

Lewat tulisan ini, saya ingin kembali mempertanyakan apakah benar Islam memandang pacaran demikian? Untuk menjawabnya, perlu kiranya untuk kita ketengahkan terlebih dahulu apa sebenarnya definisi dari pacaran itu sendiri. Karena dari sinilah kita kemudian bisa menghukumi apakah pacaran itu haram dan dilarang oleh Islam atau tidak?

Definisi Pacaran

Pengertian tentang pacaran yang saya dengar dari kawan-kawan cukup beragam. Khususnya dari aktivis-aktivis Islam yang afiliasinya ke ITP (Indonesia Tanpa Pacaran). Di antara pengertian itu ialah, mereka berkata: pacaran adalah hubungan di luar nikah yang bisa menjurus pada zina. Kemudian di lain hal ada yang mengemukakan juga kalau pacaran adalah sesuatu yang diharamkan oleh Allah. Kesemua defini ini adalah keliru. Bahkan tidak pantas disebut sebagai definisi. Karena tidak sebagaimana lazimnya definisi, yaitu berfungsi menjelaskan. Definisi di atas tidak menjelaskan sama sekali tentang apa itu pacaran. Ia langsung lompat kepada konklusi dan sifat.

Baca Juga  Izinkan Aku Berzina, Wahai Rasul!

Dari ketidakjelasan definisi di atas, timbul kemudian pertanyaan, bagaimana seseorang itu bisa menghukumi bahwa pacaran itu haram, sedangkan definisi yang mereka bangun soal pacaran saja sangat jauh dari kata tepat. Ini mungkin ironi kita. Yaitu menghukumi sesuatu tanpa mengetahui secara pasti terlebih dahulu tentang apa yang hendak dihukumi. Misal yang kini banyak berseliweran, orang mengatakan Islam liberal itu haram. Islam nusantara itu sesat. Namun ketika ditanya apa itu Islam liberal dan Islam nusantara, mereka hanya geleng-geleng kepala tidak tahu.

Kembali soal pacaran. Apa itu pacaran? Bagaimana definisinya? Kalau kita merujuk pada yang definisi yang umum disepakati: pacaran merupakan proses perkenalan antara dua insan yang biasanya berada dalam rangkaian tahap pencarian kecocokan menuju kehidupan berkeluarga yang dikenal dengan pernikahan.

Islam Bolehkan Pacaran  

Dari pengertian umum tentang pacarantersebut, kira-kira di mana kita letak keharaman pacaran? Saya kira tidak ada. Sebab mengenal terlebih dulu sebelum akhirnya menikah adalah anjuran Islam juga. Karenanya tidak berlebihan jika dikatakan bahwa Islam membolehkan pacaran.

Tidakkah kita ingat tentang hadis di mana ada seorang sahabat yang memberitahukan kepada Nabi bahwa ia akan segera menikah dengan wanita Ansar, lalu Rasulullah bertanya, “Apakah kamu telah melihatnya?”. Sahabat itu menjawab, “Belum Ya Rasulullah.” Mendengar itu Nabi langsung memerintahkan padanya, “Lihatlah calon istrimu, karena di bagian mata orang Ansar ada sesuatu.” (HR. Muslim 3550)

Ini adalah isyarat dari Nabi bahwa mengenal calon istri terlebih dahulu adalah hal yang sangat dianjurkan Islam. Di zaman sekarang, proses mengenal itu disebut dengan pacaran.   Anjuran Islam untuk mengenal terlebih dahulu itu adalah tawaran yang sangat tepat. Karena menyelamatkan orang-orang yang akan menikah dari mendapatkan sesuatu yang merugikan di hari nanti karena belum mengenal secara utuh orang yang akan dinikahi.

Baca Juga  Hukum Masbuk bagi Jamaah Shalat Jumat
***

Untuk mendapat pengetahuan yang utuh pun, saya kira tidak cukup hanya dengan satu atau dua hari. Butuh waktu yang lama. Makanya suatu tindakan gegabah saya kira jika ada orang-orang yang hanya bermodalkan baik sangka (husnu dzon) langsung segera melangsungkan pernikahan dengan seseorang. Apalagi untuk orang yang sama sekali belum dikenal.

Mengenal karakter, masa lalu, kebiasaan, dan teman bergaul yang akan dinikahi sangatlah penting. Karena jika tidak, nantinya bisa berakibat seperti tragedi ‘layangan putus’ yang sempat viral kemarin. Di mana sang istri baru mengetahui kalau suaminya adalah orang yang kasar dan punya nafsu besar untuk beristri lebih nanti setelah menikah. Semua itu terjadi karena tidak adanya pacaran (dalam artian saling mengenal) yang terlebih dahulu dilakukan.

Di daerah saya ada sebuah tradisi, di mana ketika orang tua didatangi orang yang ingin melamar anaknya, pasti akan ditanya, “Sudah kenal belum dengan anak saya? Sudah berapa lama kenalnya?”. Kalau yang melamar belum kenal lama, pasti akan disuruh jalan sama anaknya terlebih dulu barang dua minggu atau tiga minggu. Seandainya nanti cocok dan sudah menemukan chemistry, yang melamar disuruh datang kembali dengan membawa orang tuanya untuk menentukan kapan waktu lamaran digelar.

Hal ini sesuai dengan semangat Islam yang tidak ingin agar dua insan menyesal di kemudian hari karena mendapati sesuatu yang tidak diinginkan. Selain itu, ia juga adalah pola yang realistis dan moderat. Moderat dari apa? Moderat dari pacaran yang terlalu main-main dan pernikahan yang hanya berdasar tanya-jawab sesaat dan tukaran CV.

Islam setuju dengan pacaran. Selama ia diorientasikan sebagai sarana untuk saling mengenal secara dalam antara antara dua insan. Adapaun jika pacaran dijadikan sebagai alat untuk melampiaskan nafsu predator laki-laki, hal itu saya kira jangankan Islam, akal sehat sudah pasti akan sangat menolak dan mengharamkannya.

Baca Juga  'Dosa Besar' Pembuat Fatwa Haram Rokok
***

Hanya saja masalahnya kita masih gagap dengan kata pacaran. Karena kata itu sudah terlanjur diberi pemaknaan atau definisi yang buruk-buruk (peyoratif). Pacaran yang fungsinya ialah saling mengenal, saya kira sangat berlebihan jika kemudian dilarang dan diharamkan. Karena ketika melarang dan mengharamkannya, sama artinya dengan sudah mengabaikan anjuran Islam.

Adapun jika ada yang ingin membantah, bahwa Islam tidak membolehkan pacaran namun yang dibolehkan Islam adalah ta’aruf, maka orang seperti ini kayaknya tidak paham dan perlu diajari bahasa Arab. Karena ta’aruf  jika diterjemahkan ke bahasa Indonesia, artinya adalah mengenal. Artinya pacaran dan taaruf sama saja. Sama-sama bertujuan untuk mengenal. Jadi, kenapa kita membolehkan ta’aruf sedangkan di lain hal mengharamkan pacaran? Coba dipikir kembali.        

Editor: Yahya FR
Avatar
21 posts

About author
Ketua Bidang Riset dan Pengembangan Keilmuan PC IMM Ciputat
Articles
Related posts
Fikih

Mana yang Lebih Dulu: Puasa Syawal atau Qadha’ Puasa Ramadhan?

3 Mins read
Ramadhan telah usai, hari-hari lebaran juga telah kita lalui dengan bermaaf-maafan satu sama lain. Para pemudik juga sudah mulai berbondong meninggalkan kampung…
Fikih

Apakah Fakir Miskin Tetap Mengeluarkan Zakat Fitrah?

4 Mins read
Sudah mafhum, bahwa zakat fitrah adalah kewajiban yang harus dilaksanakan sebagai puncak dari kewajiban puasa selama sebulan. Meskipun demikian, kaum muslim yang…
Fikih

Bolehkah Mengucapkan Salam kepada Non-Muslim?

3 Mins read
Konflik antar umat beragama yang terus bergelora di Indonesia masih merupakan ancaman serius terhadap kerukunan bangsa. Tragedi semacam ini seringkali meninggalkan luka…

5 Comments

  • Avatar
  • Avatar
  • Avatar
  • Avatar
  • Avatar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *