Inspiring

Didi Kempot: Millenial dan Kesedihan yang Abadi

3 Mins read

Tahun 2020 sudah memasuki bulan Mei. Di Jogja, belakangan hujan turun lebih sering. Secara simbolik hujan kerapkali dipasangkan dengan kesedihan, kesepian, kenangan, patah hati, dan segala yang menyakitkan. Kalo sudah terjebak dalam kondisi seperti itu, untuk mendefinisikannya, anak-anak muda generasi millenial punya sebutan sendiri—Ambyar.

Ambyar adalah kondisi di mana suasana batin sangat sentimentil, sebabnya beragam. Tapi dalam konteks ini, kita bisa sepakati ambyar paling berat bagi millenial agaknya adalah ditinggal putus kekasih. Dalam kondisi demikian, musik punya peran penting sebagai media penyalur emosi.

Kalau sudah bicara soal musik dan ambyar, dibenak millenial ada satu nama yang tentu saja mewakili perasaan mereka, siapa lagi kalau bukan Didi Kempot. Hampir semua lagu-lagu yang dibawakan oleh Didi Kempot bernuansa kesedihan dan patah hati. Berkisah tentang orang-orang yang diombang-ambing dan dihempaskan perasaannya sendiri, entah karena kekasih yang ingkar janji atau pernikahan yang kandas.

Didi Kempot mengolah itu semua dalam lirik-lirik lagu nya yang nelangsa. Tak berlebihan rasanya pria kelahiran Surakarta, Jawa Tengah, 31 Desember 1966 ini, menyandang predikat “The Godfather of Broken Heart”.

***

Dan alangkah mengejutkannya, baru-baru ini kita mendapati kabar, sumber dari segala lirik kesedihan yang saban hari menemani patah hati generasi millenial itu telah berpulang. Didi Kempot atau kita bisa memanggilnya dengan sapaan “ Lord Didi” itu, tutup usia di angka 53 tahun. Ia wafat di Rumah Sakit Kasih Ibu, Solo, Jawa Tengah pada sebuah pagi, tanggal (5/5/2020).

Padahal belum sampai satu bulan yang lalu, kita masih bisa menyaksikan sang Maestro Campursari dari layar kaca. Ia sempat menggelar konser penggalangan dana online untuk keperluan masyarakat yang terdampak Covid-19. Konser amal dari rumah itu, per 14 April telah mengumpulkan total donasi 7, 3 Miliar.

Baca Juga  Benarkah Generasi Millenial Sekarang “Gak Ada Akhlak”?

Seluruh Kempoters atau Sad Boys dan Sad Girls, sebutan untuk penggemar Didi Kempot dari kalangan anak muda, pasti merasakan kehilangan yang mendalam dan barangkali inilah patah hati yang sebenarnya.

***

Di linimasa Twitter tagar #SobatAmbyarBerduka, ramai dipercakapkan. Memori tentang Didi Kempot diputar berulang-ulang, do’a-do’a membanjiri kata-kata, semua itu sebagai manifestasi pelepasan untuk beliau, Didi Kempot meninggalkan kita dengan cara yang tak terduga.

Seolah mengingatkan kita yang masih hidup pada seloroh orang-orang tua Kolanus dalam lakon Sokofles Oedipus at Colanus, tentang urut-uratan nasib baik manusia. Mulai dari tidak pernah dilahirkan sama sekali, mati muda, dan hidup sampai tua tapi tak memberi manfaat.

Usia Didi Kempot belumlah terlampau tua, tapi yang perlu diingat adalah betapa besar dan banyaknya sumbangsih beliau dalam menamani dan meredakan sakitnya patah hati, belakangan yang sangat akrab dengan generasi millenial.

Maka sudahlah pasti, Lord Didi masuk dalam barisan orang-orang bernasib baik. Dan catatan pendek ini, dimaksudkan untuk mengenang penerima penghargaan Billboard Indonesia Music Awards (BIMA) 2020, untuk kategori Lifetime Achievement itu.

Didi Kempot dan Patah Hati Millenial

Generasi terus bertumbuh, dan setiap zaman punya tokoh yang mewakili suasana psikologis publik. Jauh sebelum Didi Kempot naik daun, nama-nama seperti Rhoma Irama, Betharia Sonata, Dodi Dores, Chrsye, dan lainnya sudah lebih dulu, dengan cara mereka masing-masing,  menemani kegalauan generasi pada zamannya. Coba tanyakan ke orang tua Anda, barangkali mereka dipertemukan karena punya kesukaan lagu yang sama.

Sederet nama musisi di atas, seakan hilang ditelan zaman, namun tidak bagi seorang Didi Kempot. Ia mampu bertahan bahkan menyebrang sampai lintasan waktu. Lord Didi mulai menapaki belantara musik Indonesia di penghujung tahun 80. Konsisten dengan lagu-lagu berbahasa Jawa, membuatnya mudah diingat. Selain itu, lirik-lirik lagu yang sentimental jadi ciri khas seorang Didi Kempot.

Baca Juga  Kegagalan Generasi Millenial dan Keprihatinan–Keprihatinan Lainnya

Satu tahun terakhir, nama Didi Kempot kembali melambung di kancah permusikan Indonesia. Ia telah mengubah citra musik campursari yang dianggap kampungan, jadi genre musik paling dinikmati, khusunya oleh kalangan anak-anak muda.

Lalu pertanyaannya, mengapa nama Didi Kempot bisa punya tempat spesial di hati generasi millennial?

***

Selama lebih dari 30 tahun berkarya di dunia permusikan, ada puluhan album dan ratusan lagu yang Didi Kempot cipta dan nyanyikan sendiri. Hal tersebut adalah bukti sahih betapa cemerlang dirinya sebagai musisi. Seperti yang penulis singgung di awal catatan ini, lagu-lagu Didi Kempot tak lepas dari tema cinta dan patah hati.

Tetapi pembawaan Didi Kempot jauh dari kesan cengeng. Sebab ia sadar, patah hati tak melulu soal air mata yang tumpah. Dalam setiap lirik lagu, terdapat sebuah pesan yang elegan sekaligus panduan ringkas tentang bagaimana cara bertahan dari sakit hati kemudian bangkit dan merayakannya dengan hal-hal yang menggembirakan. Joget salah satunya.

Dalam setiap konser atau tour musik nya, selalu disesaki oleh anak-anak muda yang ambyar. Mereka berkumpul, menyanyi, dan berjoget bersama. Didi Kempot memfasilitasi kegalauan generasi millenial, walau mungkin terasa getir, tetapi patah hati harus tetap dirayakan dengan kebersamaan. Nyatanya cara-cara seperti itulah yang menguatkan jiwa yang lemah pasca diputus orang terkasih.

Selain itu, lagu-lagu yang dinyanyikan oleh Didi Kempot seakan punya daya magis dan sangat relevan terhadap potret pencitraan yang dialami anak-anak muda generasi millenial masa kini. Dalam dunia yang semakin berantakan, hampir semua millennial pernah merasakan kecewa semacam“ Cidro” atau pengalaman ditinggal kekasih ala lagu “ Banyu Langit”.

Kesedihan  yang terkandung dalam lagu-lagu di atas adalah kesedihan yang pandang zaman tak lekang waktu, dalam arti kata lain kesedihan yang abadi.

Baca Juga  Sudah Saatnya Gus Baha Menyandang Gelar Profesor
***

Didi Kempot telah berpulang sedang kita masih menunggu giliran. Dunia adalah tempat singgah dan kini kita akan melewatkan lebih banyak kesedihan tanpa suara serak dari sang Godfather of Broken Heart.

Bersama atau tanpa Didi Kempot, patah hati dan segala jenis kesedihan lain akan tetap abadi. Namun ada baiknya, sebagai satu bentuk penghormatan lebih, petuah dari lirik-lirik lagu Didi Kempot harus tetap kita lakoni sebisa mungkin: jangan pernah kehilangan kebahagiaan dalam kondisi apapun, termasuk ketika sedang patah hati.

Selamat jalan Didi Kempot.

Editor: Yahya FR
Avatar
4 posts

About author
Pegiat Komunitas New Native. | Kader Muhammadiyah Kultural. | Tertarik pada kajian keislaman, isu-isu gender, sejarah, politik, filsafat, dan sastra.| Mujahid kontemporer, menulis sambil rebahan.
Articles
Related posts
Inspiring

Buya Hamka, Penyelamat Tasawuf dari Pemaknaan yang Menyimpang

7 Mins read
Pendahuluan: Tasawuf Kenabian Istilah tasawuf saat ini telah menjadi satu konsep keilmuan tersendiri dalam Islam. Berdasarkan epistemologi filsafat Islam, tasawuf dimasukkan dalam…
Inspiring

Enam Hal yang Dapat Menghancurkan Manusia Menurut Anthony de Mello

4 Mins read
Dalam romantika perjalanan kehidupan, banyak hal yang mungkin tampak menggiurkan tapi sebenarnya berpotensi merusak, bagi kita sebagai umat manusia. Sepintas mungkin tiada…
Inspiring

Sosialisme Islam Menurut H.O.S. Tjokroaminoto

2 Mins read
H.O.S Tjokroaminoto, seorang tokoh yang dihormati dalam sejarah Indonesia, tidak hanya dikenal sebagai seorang aktivis politik yang gigih, tetapi juga sebagai seorang…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *