Inspiring

Mohammad Roem (4): Mas Ranuwihardjo, Pegawai yang Memilih Aktif di PSII

3 Mins read

Oleh: Mohammad Roem

Sebelum meneruskan cerita ini, saya ingin menyinggung sedikit riwayat hidup Mas Ranuwihardjo, seorang pegawai yang memilih aktif di PSII. Semula ia guru sekolah Desa di Parakan di mana Yu Tik menjadi muridnya. Perkenalan itu membawa mereka itu kawin. Untuk memperbaiki nasib, maka Mas Ranu menjadi pegawai Pegadaian ia dipindah-pindah sampai ke Pekalongan.

Mas Ranuwihardjo

Saya mempunyai wak, saudara tua ayah, yang sangat santri tapi kolot. Ayah sendiri menurut hemat saya tidak kolot, tapi karena wak sering datang, maka untuk tidak mendengar komentar yang dapat menimbulkan percekcokan, ayah lebih baik menghindarinya. Ini tidak berarti ayah setuju dengan wak. Umpamanya, bikin potret menurut wak haram. Karena itu, di rumah ayah tidak ada potret dari ayah dan ibu.

Tentang Mas Ranuwihardjo, wak itu mengatakan, bahwa pegawai Pegadaian makan uang haram, karena Pegadaian menarik uang riba. Mas Ranu tidak setuju dengan penilaian wak itu. Di Pekalongan ia menjadi Serikat Sekerja Pegadaian, yang pusatnya dipimpin oleh orang-orang yang tahu agama, seperti Cokroaminoto, Haji Agus Salim, dan Soeryopranoto. Pemimpin-pemimpin itu tidak memandang bahwa pegawai Pegadaian itu memakan uang haram. Tapi pada suatu saat Mas Ranu mengambil keputusan untuk berhenti menjadi pegawai Pegadaian dan menjadi Sekretaris PSII Cabang Pekalongan, sebagai petugas penuh dan mendapat bayaran.

Saya pernah menanyakan kepada Yu Tik, apakah keputusan itu karena dikatakan makan uang haram atau karena tertarik oleh PSII yang memerlukan tenaganya. Menurut kakak saya karena dua-duanya. Sesudah menjadi anggota Serikat Sekerja Pegadaian, ia tertarik juga oleh PSII serta pemimpinnya, yang kebanyakan hidup bebas tidak sebagai pegawai negeri. Tapi pernyataan wak saya, bahwa pegawai-pegawai pegadaian makan riba, senantiasa menggganggunya. Sebagai petugas penuh dari PSII, pendapatan Mas Ranu tidak lebih dari  pegadaian dan pembayarannya juga sering terlambat. Tapi rasanya lebih bebas tidak menjadi pegawai Pegadaian lagi.

Baca Juga  Empat Karakter Nabi Muhammad yang Harus Diamalkan

Membuka Toko Batik

Karena penghasilan tidak tetap, maka lalu timbul keinginan dan usaha untuk menambah penghasilan. Mula-mula dengan cara kecil-kecilan. Sesudah mendapat kepercayaan orang, Mas Ranu dapat membuka toko batik, yang isinya sebagian besar dari batik yang ia ambil sebagai amanat atau  orang menitipkan barang untuk dijualkan. Maka sering saya membaca iklannya di harian yang terbit di Jakarta.

Di samping itu, Yu Tik juga berusaha membuka pembatikan dengan buruh yang bekerja di rumah atau dengan buruh yang saban hari Kamis datang, dan mengerjakan pekerjaan di rumahnya masing-masing di desa sekitar Pekalongan. Maka dalam waktu beberapa tahun saja Mas Ranu mempunyai toko batik, berkat ketekunannya dan kepercayaan yang ia dapat dan junjung tinggi dari saudagar batik di Pekalongan. Istrinya berhasil juga karena mau belajar dan tekun mempunyai pembatikan di rumah seperti lain pembatikan yang ada di Pekalongan.

Usaha suami-isteri itu tidak termasuk yang besar, tapi memberi tingkat hidup yang baik, di samping gerak di PSII dan Serikat Sekerja Pegadaian yang semakin lama menjadi isi jiwanya. Penghasilan sebagai pengusaha batik itu jauh lebih baik daripada kalau ia tetap menjadi pegawai Pegadaian. Pekerjaan Sekretaris dengan gaji sudah diserahkan kepada orang lain, sedang berbakti kepada partai dan serikat buruh tidak dikuranginya.

Orang Tua Asuh

Begitulah kepada Mas Ranu dan Yu Tik yang menjadi “ orang tua baru saya,” pada saatnya saya pindah ke Pekalongan. Kakak saya, Mas Usman, sudah mendahului saya, dan ia menjadi pegawai negeri di Pekalongan. Hidup kami di kampung Derpowangsan dapat dikatakan baik dan berbahagia. Dari sudut material tidak kekurangan. Malah lebih dari cukup. Sedang hubungan dengan orang kampung cukup akrab, karena kita dapat mengerti dan menghargai. Itulah ciri-ciri golongan khas orang Pekalongan, termasuk golongan hajinya.

Baca Juga  Syekh Yusuf Al-Makassari, Sufi Pejuang Kemerdekaan Indonesia

Di mata orang kampung, sebagai orang pendatang kami termasuk golongan “piyayi.” Mas Ranu tetap memakai blangkon dan kain panjang. Mas Usman pegawai negeri. Tapi kami shalat dan berpuasa di bulan Ramadhan, suatu kesadaran yang sudah tumbuh di Parakan.

Karena itu, kami kerasan di kampung Pekalongan, sedang orang kampung kelihatan dapat menerima kami. Di sebelah rumah kami ada langgar, tempat Mas Ranu dan Mas Usman biasa ikut bershalat jamaah. Semula mereka heran, bahwa Mas Usman pandai azan dengan suara nyaring. Mereka tahu bahwa Mas Usman pandai juga joget dan tembang Jawa, dan pernah ikut kontes di pasar malam. Mereka meskipun bertanya-tanya, tidak mengurangi pengertian dan keakraban dengan kami.

Sumber: “Mengikuti Jejak Kyai Ahmad Dahlan” karya Mohammad Roem (Sm no 2/Januari 1981). Pemuatan kembali di www.ibtimes.id lewat penyuntingan

Editor: Arif

Avatar
1005 posts

About author
IBTimes.ID - Cerdas Berislam. Media Islam Wasathiyah yang mencerahkan
Articles
Related posts
Inspiring

Bintu Syathi’, Pionir Mufassir Perempuan Modern

6 Mins read
Bintu Syathi’ merupakan tokoh mufassir perempuan pertama yang mampu menghilangkan dominasi mufassir laki-laki. Mufassir era klasik hingga abad 19 identik produksi kitab…
Inspiring

Buya Hamka, Penyelamat Tasawuf dari Pemaknaan yang Menyimpang

7 Mins read
Pendahuluan: Tasawuf Kenabian Istilah tasawuf saat ini telah menjadi satu konsep keilmuan tersendiri dalam Islam. Berdasarkan epistemologi filsafat Islam, tasawuf dimasukkan dalam…
Inspiring

Enam Hal yang Dapat Menghancurkan Manusia Menurut Anthony de Mello

4 Mins read
Dalam romantika perjalanan kehidupan, banyak hal yang mungkin tampak menggiurkan tapi sebenarnya berpotensi merusak, bagi kita sebagai umat manusia. Sepintas mungkin tiada…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *